Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua ITAGI Sri Rezeki Hadinegoro mengatakan tujuan utama vaksinasi Covid-19 adalah mengurangi angka kematian pasien.
Tingginya angka kematian pasien Covid-19 yang disumbang oleh kelompok orang lanjut usia membuat pemerintah mendahulukan mereka untuk divaksin pada tahap kedua.
Sri mengatakan ITAGI terlibat sejak awal dalam menyusun roadmap vaksinasi Covid-19 dan memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan.
ANGKA kematian penduduk lanjut usia yang tinggi karena Covid-19 membuat pemerintah banting setir mengubah kebijakan vaksinasi. Atas rekomendasi Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Kementerian Kesehatan memutuskan lansia menjadi kelompok penerima vaksin tahap kedua. Warga berusia 60 tahun ke atas yang sebelumnya masuk kelompok prioritas keempat itu disuntik vaksin bersama pelayan publik mulai 17 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain tenaga kesehatan, lansia yang berjumlah sekitar 21,5 juta jiwa menjadi kelompok paling rentan terhadap Covid-19. Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Februari lalu, mencatat 47,3 persen pasien Covid-19 yang meninggal berusia di atas 60 tahun. “Maka itu lansia harus didahulukan untuk divaksinasi,” kata Ketua ITAGI Sri Rezeki Hadinegoro, 74 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Senin, 28 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri sejak 2007, ITAGI berperan memberikan saran kepada Kementerian Kesehatan seputar program imunisasi. Dalam penanganan pandemi Covid-19, misalnya, lembaga independen yang beranggotakan para pakar ini terlibat dalam menyusun peta jalan vaksinasi sejak pertengahan 2020. Selain mendorong warga lansia supaya divaksin lebih dulu, ITAGI mengkaji jenis vaksin untuk lansia. Ketika vaksin AstraZeneca memicu kontroversi, ITAGI menjalin komunikasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Majelis Ulama Indonesia.
Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Dody Hidayat, dan Nur Alfiyah, Sri Rezeki mengatakan tujuan utama vaksinasi Covid-19 seharusnya untuk menurunkan angka kematian. Menurut dia, kekebalan massal (herd immunity) yang selama ini digembar-gemborkan tak dapat dicapai dalam waktu singkat. Dokter spesialis anak ini juga menyoroti stok vaksin yang tersendat, penyuntikan pada anak-anak, efek samping vaksin AstraZeneca, potensi penggunaan vaksin Merah Putih, hingga vaksin Nusantara.
Lebih dari 10,4 juta orang telah divaksin Covid-19 sejak pertengahan Januari lalu. Bagaimana ITAGI menilai pelaksanaannya?
Lumayan lancar meskipun ada kekurangan. Itu wajar. Memberikan imunisasi terhadap banyak orang mungkin pengalaman pertama untuk Indonesia. Umumnya kita mengimunisasi anak-anak, bayi. Sekarang harus mengimunisasi orang dewasa dengan problematika berbeda. Bukan hanya komorbid, tapi juga masalah sosial. Memobilisasi lansia tidak mudah. Kita tidak tahu mereka ada di mana saja. Tapi pemerintah menyediakan tempat-tempat yang bisa didatangi masyarakat selain puskesmas, rumah sakit, dan klinik. Misalnya Gelora Bung Karno atau pasar. Petugas vaksinasi datang ke sana. Ada pula drive-thru. Itu inovasi yang bagus supaya akses untuk masyarakat dibuka lebar.
Indonesia semula mengutamakan tenaga kesehatan dan warga usia produktif sebagai penerima vaksin tahap awal. Padahal kebanyakan negara lain mendahulukan warga berusia lanjut. Apa pertimbangannya?
Kami awalnya membagi prioritas menjadi empat tahap. Pertama, tenaga kesehatan; kedua, pelayan publik; ketiga, kelompok masyarakat lain; keempat, warga lansia. Di negara-negara maju, lansia yang pertama mendapatkan vaksin. Kondisinya berbeda dengan Indonesia. Mereka betul-betul diayomi pemerintah. Mereka banyak tinggal di panti-panti (jompo), ada jaminan sosialnya, kesehatannya terpantau baik. Semua tertata. Sedangkan di sini tidak seperti itu. Lansia tersebar di mana-mana. Jumlah lansia yang sudah divaksinasi lima persen. Padahal jumlah warga lansia sekitar 21 juta jiwa. Kalau tidak ada komorbid, mungkin tidak jadi masalah. Tapi, misalnya, kita suntik dan besoknya terkena stroke, yang disalahkan pasti suntikannya. Kita harus hati-hati.
(Kementerian Kesehatan pada 1 April lalu melaporkan suntikan vaksinasi Covid-19 untuk lansia baru mencapai 7,71 persen dosis pertama atau 1.661.036 orang. Adapun lansia yang mendapatkan dosis kedua sebanyak 208.446 orang.)
Bagaimana ITAGI meyakinkan pemerintah agar memasukkan lansia sebagai penerima vaksin tahap kedua?
Kami berdiskusi dengan Perhimpunan Dokter Geriatri Indonesia tentang bagaimana menyeleksi lansia, mana yang bisa divaksinasi. Memang vaksin tidak menyebabkan tensi naik atau menimbulkan stroke, tapi secara tidak langsung lansia bisa terkena komplikasi dari penyakitnya. Ini yang semula jadi perhatian. Tapi setelah kami pelajari kembali, kami konsultasikan dengan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam dan Ikatan Dokter Indonesia, akhirnya kami mengambil kesimpulan lansia bisa divaksinasi tapi dengan rambu-rambu list screening lebih ketat. Itu yang kami sampaikan kepada Kementerian Kesehatan, pada November 2020, mengingat angka kematian lansia tinggi.
Seperti apa pembahasan untuk mengubah urutan kelompok warga lansia saat itu?
Kami berdiskusi panjang-lebar dengan Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam. Mereka isinya macam-macam. Ada yang khusus untuk hipertensi, ginjal, hingga penyakit jantung orang tua. Memang agak ruwet waktu itu diskusinya.
Pembahasan apa yang alot?
Mereka memberikan daftar pertanyaan yang panjang sekali untuk screening. Kasihan nanti petugas vaksinasinya tak kunjung selesai. Masak, pertanyaannya bisa sampai tiga halaman. Misalnya ditanyakan apakah Bapak menderita tekanan darah tinggi, berapa kadarnya, sudah berobat belum. Ditanyakan detail sekali. Memang bagus, tapi tidak semua lansia tahu soal itu. Akhirnya kami tawar-menawar karena ini untuk masa pandemi. Sekarang, alhamdulillah, untuk lansia sudah cukup lancar.
ITAGI terlibat merancang peta jalan vaksinasi Covid-19. Apakah pelaksanaan vaksinasi sejauh ini sudah berjalan di jalur yang benar?
Kami ikut menyusun tahapannya, siapa prioritas, vaksinnya apa, berapa dosisnya, bagaimana penyimpanannya. Kami juga ikut membantu dan memberikan asupan kepada BPOM serta berdiskusi dengan KPC-PEN. Vaksinasi pada masa pandemi tentu ada tujuannya. Selama ini yang kerap digembar-gemborkan adalah herd immunity. Padahal sebetulnya herd immunity bukan tujuan utama dari vaksinasi ini.
Lalu apa tujuan vaksinasi Covid-19 jika bukan untuk mencapai kekebalan massal?
Tujuan utamanya untuk menurunkan angka kematian karena tingkat kematian di Indonesia masih tinggi sekali. Suatu penyakit masih menjadi masalah kalau angka kematiannya tinggi. Kalau kematian ini berhubungan dengan kesakitan, transmisi, dari situ baru kita menjurus pada herd immunity. Kalau kita lihat nanti jumlah orang yang meninggal sudah menurun, berarti itu pencapaian. Bukan kemudian herd immunity telah tercapai. Herd immunity masih akan lama. Tidak bisa dalam waktu satu-dua bulan. Ini perlu digarisbawahi.
Apa saja rekomendasi ITAGI kepada pemerintah?
Ada dua hal penting yang kami sampaikan kepada pemerintah sebelum vaksinasi Covid-19 dimulai. Pertama, vaksinasi dalam keadaan pandemi harus bersifat public good. Artinya, pemerintah bertanggung jawab keseluruhannya. Vaksin tidak boleh diperjualbelikan. Kedua, lebih dari 40 persen pasien Covid-19 yang meninggal adalah lansia. Maka itu lansia harus didahulukan untuk divaksinasi supaya angka kematian turun. Tadinya lansia berada di tahap akhir, lalu kami naikkan ke tahap kedua bersama dengan pelayan publik.
Anda pernah mengatakan ITAGI mendapati sejumlah masalah dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Apa saja yang patut mendapat perhatian serius?
Memang ada keterbatasan dalam pengadaan vaksin. Katakanlah kita butuh 181 juta dikalikan dua, berarti 300 juta lebih dosis. Vaksin datang secara bertahap. Kita mesti mengatur siapa yang diprioritaskan. Kita mungkin baru bisa memperoleh vaksin dalam jumlah lumayan pada Juni mendatang. Jadi April-Mei harus diatur supaya tidak kekurangan. Jangan sampai ada orang datang untuk vaksinasi lalu ditolak karena vaksinnya tidak ada.
Bagaimana dengan kesiapan sumber daya manusia untuk pelaksanaan vaksinasi?
Kami telah melatih 31 ribu orang tenaga kesehatan yang bisa memberikan vaksinasi. Misalnya seorang vaksinator bisa memvaksin 40 orang per hari, hitungannya dalam 12 bulan seharusnya tercapai targetnya. Awalnya kami menghitung vaksinasi selesai dalam 15 bulan, tapi Pak Presiden minta 12 bulan. Jumlah vaksinator mencukupi baik di puskesmas, rumah sakit, termasuk klinik-klinik swasta. Sarananya juga mencukupi. Tapi itu hitungan di atas kertas. Kita tidak tahu kondisi di daerah.
Selain soal stok vaksin, apakah ITAGI melihat ada kendala lain?
Dalam imunisasi selalu ada titik-titik lemah. Dari survei kami juga masih ada yang menolak vaksinasi. Itu jamak. Di negara mana pun ada yang menolak.
Berapa banyak yang menolak?
Dari survei kami ada sekitar 7,6 persen menolak vaksinasi Covid-19. Itu tersebar di berbagai daerah. Alasannya bermacam-macam. Itu yang mungkin perlu pendekatan khusus. September tahun lalu, kami mengadakan survei bersama WHO Indonesia, UNICEF, dan Kementerian Kesehatan menggunakan WhatsApp blast. Kami mendapatkan 155 ribu responden di seluruh wilayah Indonesia.
Seperti apa hasilnya?
Hampir 80 persen responden pernah mendengar mengenai vaksinasi Covid-19. Tapi, ketika kami tanyakan soal kesediaan divaksinasi, responden yang menerima sekitar 64 persen. Sebanyak 7,6 persen menolak, sisanya masih ragu. Kami tanyakan lagi, apa yang menjadi kendala. Mereka menyoroti keamanan dan kehalalan vaksin. Itu dua hal yang menonjol dari responden.
Apakah profil responden yang menolak vaksinasi tergambar dari survei?
Yang menolak vaksinasi justru anak-anak muda. Yang tua-tua menerima luar biasa, lebih bersemangat daripada yang muda.
Mengapa anak muda lebih banyak yang menolak vaksinasi?
Informasinya tidak sampai ke mereka. Kalau kita lihat sekarang, informasi untuk Covid-19 kebanyakan ada di televisi, koran, majalah. Itu tidak dibaca oleh anak muda. Mereka tidak pernah nonton televisi. Mereka lebih senang YouTube, Instagram, Facebook. Informasi harus masuk ke sana dan dengan gaya anak muda. Kalau semacam instruksi, informasi yang kering, mereka enggak akan membacanya.
Apa saran ITAGI kepada pemerintah untuk mengatasi persoalan ini?
Saya kira Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah mengetahuinya. Saya dengar ada survei terakhir yang menyatakan tingkat penerimaan terhadap vaksinasi sudah naik jadi 80 persen.
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Prof. Dr. Sri Rezeki Hadinegoro, dr., SP.A(K) saat beraktivitas di ruang kerja yang berada di rumahnya, Jakarta, Rabu, 31 Maret 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Penyuntikan vaksin AstraZeneca di Sulawesi Utara sempat dihentikan karena terjadi efek samping yang jumlahnya cukup tinggi. Bagaimana hasil penelusuran ITAGI?
Kalau dilihat, sebetulnya ringan. Dalam satu hari sudah membaik. Cuma terjadi bersama-sama sehingga membuat panik. Kok, semuanya sakit kepala, mual. Tapi ini ranahnya Komnas KIPI.
(Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi [Komnas KIPI] Hindra Irawan Satari pada Selasa, 30 Maret lalu, menyatakan kejadian ikutan pasca-imunisasi di Sulawesi Utara tergolong ringan dan merekomendasikan vaksinasi dengan produk buatan AstraZeneca dilanjutkan. Selain digunakan di Sulawesi Utara, vaksin AstraZeneca digunakan di Jakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, dan Maluku.)
Selain faktor keamanan yang berhubungan dengan kasus penggumpalan darah di Eropa, vaksin AstraZeneca sempat memicu kontroversi di Indonesia karena dibuat dengan enzim tripsin dari babi. Tanggapan Anda?
Kalau soal halal-haram itu ranahnya MUI. Secara saintifik, tripsin diperlukan untuk persemaian virus. Sebelum dijadikan vaksin, virus harus diperbanyak. Dulu pernah dipakai enzim dari sapi, ternyata mengandung zat yang menimbulkan kerusakan otak. Dicarilah penggantinya, yaitu tripsin. Setelah berkembang biak, virus dicuci. Istilahnya dipurifikasi, dimurnikan ratusan kali dengan teknik tertentu. Purifikasinya dengan teknologi modern. Virus murni lagi setelah dicuci, karena kalau masih ada sisa enzim tripsin, si virus tidak bisa bereaksi dengan zat lain. Kita tahu di dalam vaksin ada virus, pelarut, pengawet, adjuvan, dan macam-macam. Maka virus harus dicuci bersih sehingga produk akhirnya tidak ada DNA babi. Secara ilmiahnya begitu. Tapi, bagi umat Islam, sekali dibilang haram ya seumur hidup haram. Tidak bisa haram jadi halal. Itu di luar kekuasaan saya.
Sinovac telah mengumumkan vaksin buatannya aman dan efektif untuk anak-anak berusia 3-17 tahun. Apakah ITAGI mengkaji soal ini?
Kami masih menunggu hasil uji klinisnya.
Seberapa penting vaksinasi Covid-19 untuk anak-anak?
Sebetulnya penting, terutama anak-anak usia sekolah. Apalagi sekolah tatap muka akan dibuka Juli mendatang. Anak-anak juga banyak yang menderita Covid-19, tapi tidak semuanya terdeteksi karena tidak bergejala. Masalahnya, anak-anak sering dicium dan digendong keluarganya. Kalau di luar negeri, anak-anak disebut sebagai superspreader, bisa menularkan ke banyak orang.
Bagaimana vaksinasi Covid-19 pada anak seharusnya dilakukan?
Vaksinasi pada anak-anak yang paling penting adalah keamanannya. Apakah dosisnya sama dengan orang dewasa atau harus dikurangi. Lalu intervalnya. Pada anak-anak, makin muda usianya makin belum matang sistem imunnya, sehingga antibodinya tidak maksimal. Kalau dosisnya terlalu kecil, mungkin antibodinya kurang tinggi. Kalau dosisnya dinaikkan, antibodinya tinggi tapi efek sampingnya juga bisa tinggi. Kita mesti hati-hati.
Apakah Anda menilai vaksin buatan dalam negeri, seperti vaksin Merah Putih, berpotensi memenuhi ketersediaan vaksin?
Sepertinya baru bisa diproduksi pertengahan tahun depan. Pembuatan bibit vaksinnya lama, lalu percobaan pada binatang. Betul-betul harus aman, imunogenik, baru bisa diuji pada manusia. Vaksin Merah Putih mungkin untuk maintenance rutin ke depan, bukan untuk kondisi darurat saat ini.
Bagaimana dengan vaksin Nusantara yang telah menjalani uji klinis?
Vaksin Nusantara dikaji oleh BPOM dan ada beberapa hal yang harus diperbaiki karena menggunakan teknologi yang sama sekali berbeda. Sebetulnya teknologinya untuk terapi kanker, kemudian dijadikan untuk vaksinasi. Darah diambil sebanyak 40 cc, diolah dan didiamkan lima hari, disuntikkan kembali. Proses ini memerlukan skill dan peralatan khusus yang harus steril. Tidak bisa sembarangan, nanti infeksi. Ini hal-hal yang harus dipersiapkan untuk maju ke uji klinis fase kedua.
Apakah secara teknis vaksin Nusantara memungkinkan untuk digunakan?
Memungkinkan, tapi untuk siapa? Vaksinnya personalized, individualized. Sedangkan untuk vaksinasi harus massal. Untuk keadaan darurat belum tepat. Apalagi peralatan yang diperlukan juga khusus. Semuanya didatangkan dari Amerika Serikat, di sini tinggal nyampur saja. Mestinya ya mahal.
SRI REZEKI SYARASWATI HADINEGORO | Tempat dan tanggal lahir: Solo, 3 Mei 1946 | Pendidikan: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (1972); Spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1983); Dokter Spesialis Anak Konsultan Bidang Infeksi dan Penyakit Tropis (1993); Doktor Ilmu Kesehatan Anak Universitas Indonesia (1996); Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000) | Karier: Staf Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1983-2019); Kepala Subbagian Infeksi dan Penyakit Tropis, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (1993-2004) | Organisasi: Anggota Asia Strategy Alliance of Pneumococcal Disease Prevention (sejak 2007), Steering Committee of Asia Dengue Voice and Action (sejak 2011), Presiden Masyarakat Internasional Pediatri Tropis (sejak 2017), Ketua Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi/Komnas PP KIPI (1999-2012), Anggota Komnas PP KIPI (sejak 2013), Anggota Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (1999-2014), Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (sejak 2008) | Penghargaan: Outstanding Asian Pediatrician Award dari Asia Pacific Pediatric Association (2012), FKUI Lifetime Achievement Award (2014), Penghargaan Khusus IDAI untuk Publikasi Internasional (2017)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo