Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komnas Perempuan melobi politikus Senayan untuk mempercepat pembahasan RUU PKS.
Partai Keadilan Sejahtera melobi partai lain agar RUU PKS bisa tetap berlandaskan norma agama.
Partai Islam mempertimbangkan dukungan konstituen dalam pembahasan RUU PKS.
MARIANA Amiruddin dan Maria Ulfah Anshor langsung menghampiri anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Bukhori Yusuf, begitu rapat ditutup pada Senin, 29 Maret lalu. Dua komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan itu bersama jajaran pengurus lain diundang dalam rapat dengar pendapat oleh Dewan Perwakilan Rakyat guna mendengar masukan soal Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Kepada Bukhori, politikus Partai Keadilan Sejahtera, Mariana menyampaikan pentingnya rancangan aturan tersebut segera dibahas dan disahkan. “Kami mencoba merangkul dan mendekati mereka yang mungkin masih belum satu frekuensi,” ujar Mariana kepada Tempo, Kamis, 1 April lalu.
Menurut Mariana, Bukhori menyampaikan bahwa nilai agama perlu menjadi landasan dalam menyusun rancangan tersebut. Bukhori pun menilai masukan draf dan naskah akademik dari Komnas Perempuan belum mengakomodasi norma itu. Mariana lalu menjelaskan bahwa nilai agama sudah tertuang dalam sila pertama Pancasila, yang menjadi landasan aturan tersebut. Kepada Bukhori, Mariana menawarkan untuk berdialog dengan partainya. Bukhori lalu memberikan nomor kontak untuk menghubungi pimpinan fraksi.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera sejak awal disebut-sebut gencar menolak RUU PKS. Pada Februari 2019, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini menuding ada potensi pertentangan materi rancangan aturan tersebut dengan Pancasila dan agama. Dia menganggap definisi hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual berperspektif liberal. "Untuk itu, Fraksi PKS menyatakan dengan tegas menolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," ucap Jazuli, 6 Februari 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya (kanan) dalam diskusi Urgensi Pengesahan RUU PKS di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 16 Maret 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengesahan RUU PKS tak kunjung terealisasi sejak diusulkan pertama kali oleh Komnas Perempuan pada 2012. Rancangan aturan ini bolak-balik masuk dalam Program Legislasi Nasional sejak 2014 hingga 2019. Ketua Komnas Perempuan periode 2015-2019, Azriana R. Manalu, mengatakan lembaganya telah melobi sejumlah petinggi partai. Namun kebuntuan berlanjut hingga akhir masa jabatan DPR periode lalu. Pada pertengahan 2020, RUU PKS bahkan terpental dari Program Legislasi Prioritas. Pada Selasa, 23 Maret lalu, rancangan tersebut kembali masuk daftar Prolegnas bersama 32 calon undang-undang lain.
Tak mau RUU PKS terganjal lagi, Komnas Perempuan membentuk tim khusus untuk mengegolkan rancangan tersebut hingga disahkan. Tim ini bertugas merumuskan narasi untuk melawan kabar-kabar bohong soal substansi draf itu. Misalnya rancangan itu dituding melegalkan perkawinan sesama jenis serta menghalalkan zina dan prostitusi. Tim itu gencar berkampanye di media sosial dan mengadakan sejumlah diskusi.
Tim tersebut juga melobi para politikus Senayan agar pembahasan RUU PKS tak tertunda lagi. Beberapa hari sebelum rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat digelar, Mariana Amiruddin mengontak Wakil Ketua Badan Legislasi Willy Aditya, yang juga Ketua Panitia Kerja pembahas rancangan tersebut. Kepada politikus Partai NasDem itu, Mariana berpesan agar draf aturan tersebut bisa diselesaikan tahun ini.
Willy mengklaim partainya termasuk salah satu pengusul RUU PKS. Meski begitu, dia mengatakan DPR akan menampung masukan dari berbagai kalangan. “Kami mencoba mencari titik temu supaya rancangan ini bisa segera dibahas dan disahkan,” tutur Willy. Dia mencontohkan, Partai Keadilan Sejahtera telah meminta agar Badan Legislasi DPR mengadakan rapat dengar pendapat dengan kelompok yang pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 284, 285, dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Pada 2017, kelompok itu meminta Mahkamah Konstitusi memperluas makna zina, yakni hubungan badan yang dilakukan oleh pasangan yang tak terikat pernikahan. Pasal 284 mengatur ancaman hukuman bagi seseorang yang berhubungan seksual dengan individu lain yang terikat perkawinan. Namun MK menolak uji materi tersebut. Kelompok ini kerap disebut menolak pembahasan RUU PKS.
Komnas Perempuan juga menggandeng Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendukung pengesahan segera RUU PKS. Anggota staf khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan, I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, mengatakan lembaganya telah menggelar diskusi dengan berbagai pihak, termasuk Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dan sejumlah organisasi kemasyarakatan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia soal aspek hukum RUU tersebut. “Sekarang ini sepertinya semua pihak sudah mulai terbuka bahwa aturan ini penting untuk korban,” katanya.
Di sisi lain, Partai Keadilan Sejahtera juga melobi fraksi lain untuk menyamakan persepsi mengenai nilai agama. Anggota Badan Legislasi dari PKS, Bukhori Yusuf, mengaku partainya berkomunikasi dengan partai Islam lain terkait dengan pandangan agama yang perlu menjadi dasar penyusunan aturan tersebut.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, Ibnu Multazam, juga membenarkan adanya komunikasi itu. Mengklaim partainya mendukung RUU PKS, Ibnu menyatakan substansi aturan itu tetap tak boleh bertentangan dengan nilai agama. “Jangan sampai melegalkan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) serta zina,” ujarnya.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Illiza Sa'aduddin Djamal, juga membenarkan adanya komunikasi dengan Partai Keadilan Sejahtera. Dia tak menampik dugaan bahwa partainya berupaya menjaga dukungan konstituen dalam membahas draf tersebut. “Kami mendukung RUU ini, tapi tidak boleh keluar dari norma agama. Apalagi kami ini kan partai Islam,” ucap Illiza.
Di grup WhatsApp Maju Perempuan Indonesia, politikus perempuan dari Partai Keadilan Sejahtera juga menyampaikan sikap partainya. Grup ini berisi perempuan dari berbagai kalangan, seperti anggota legislatif, pemerintah, serta lembaga swadaya masyarakat. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari mengatakan anggota grup dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta agar judul rancangan menggunakan kata “kejahatan”, bukan “kekerasan”.
Merespons politikus tersebut, Dian menjawab bahwa tak semua tindakan masuk ranah kejahatan. Dia mencontohkan tindakan pelecehan, seperti bersiul atau menggoda perempuan, tak masuk dalam ranah kejahatan. Tapi tindakan itu merupakan bentuk kekerasan seksual. “Jadi semakin cepat RUU itu disahkan, semakin cepat kita melindungi para korban kekerasan seksual,” ujar Dian.
DEVY ERNIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo