Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Empat tangki kilang Balongan terbakar ketika proyek peremajaan unit pengolahan fase pertama .
Pertamina masih kesulitan mencari mitra dan pendanaan megaproyek kilang senilai ratusan miliar dolar.
TERAKHIR kali Kardaya Warnika berkunjung ke kompleks Refinery Unit (RU) VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat, adalah pada akhir November 2020. Kala itu, tepat empat bulan sebelum empat tangki bahan bakar minyak di kompleks kilang milik PT Pertamina (Persero) tersebut terbakar pada Senin dinihari, 29 Maret lalu, Kardaya dan delapan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat lain datang untuk meninjau perkembangan proyek peremajaan kilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunjungan anggota komisi bidang energi DPR itu buntut dari kesepakatan pokok antara Pertamina dan China Petroleum Corporation (CPC) asal Taiwan yang diteken pada Juni 2020. Kedua perusahaan akan bekerja sama mengembangkan pengolahan petrokimia di Balongan. Rencana kerja ini adalah bagian dari tiga fase megaproyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balongan yang masuk daftar proyek strategis nasional. “RDMP Balongan itu dikatakan jalan, ya enggak jalan-jalan amat, tapi dikatakan tidak jalan, kok, ada yang jalan,” kata Kardaya, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Kamis, 1 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekerjaan lapangan RDMP Balongan memang belum ada yang dimulai ketika Komisi VII berkunjung ke Indramayu, akhir tahun lalu. Pertamina baru menggelar seremoni pencanangan proyek pada 22 Februari 2021, tanda dimulainya RDMP RU VI Balongan Phase-1 CDU Light Distillate Section Upgrading Project. Pelaksana proyek adalah konsorsium PT Rekayasa Industri, PT Rekayasa Engineering, dan PT Enviromate Technology International.
Proyek tahap pertama ini bakal meningkatkan kapasitas seksi distilasi ringan RU VI Balongan dari 125 metric barrel per stream day (MBSD) menjadi 150 MBSD. Revitalisasi fase perdana di Balongan ini juga akan meningkatkan kelenturan unit distilasi minyak mentah (CDU) agar bisa memproses minyak mentah campuran berat (heavy mix crude) atau minyak mentah ringan (lighter crude oil). Dalam catatan Pertamina dan Komisi VII DPR, fase pertama bakal menelan biaya hingga US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun, termurah dibanding dua fase proyek RDMP Balongan lain.
Pemancangan perdana Refinery Development Master Plan Refinery Unit VI Balongan fase pertama di Indramayu, Jawa Barat, Februari 2021. Foto: bumn.go.id
Ketika empat tangki bahan bakar minyak di kilang Balongan membara sejak Senin, 29 Maret lalu, muncul kekhawatiran mengenai kelanjutan proyek ini. Untungnya, lokasi proyek peremajaan berjarak hampir 1 kilometer dari posisi empat tangki tersebut. “Proyek CDU revamp lokasinya jauh dari tempat kebakaran,” tutur Alex Dharma Balen, Direktur Utama PT Rekayasa Industri, saat dihubungi pada Jumat, 2 April lalu.
Walau begitu, menurut Alex, proyek yang sedang dikerjakan timnya bisa saja terkena dampak pembatasan akses keluar-masuk kilang selama berlangsungnya investigasi penyebab kebakaran. “Kemungkinan dalam waktu dekat sudah bisa langsung jalan.”
•••
REFINERY Development Master Plan Balongan merupakan bagian dari megaproyek kilang Pertamina. Proyek pengembangan serupa disiapkan di Refinery Unit II Dumai, Riau; RU IV Cilacap, Jawa Tengah; dan RU V Balikpapan, Kalimantan Timur. Selain proyek pengembangan, ada rencana pembangunan kilang baru (grass root refinery) di Tuban, Jawa Timur, dan Bontang, Kalimantan Timur. Semua proyek yang ditargetkan rampung pada 2027 itu diperkirakan membutuhkan investasi senilai US$ 60 miliar—sekitar Rp 840 triliun.
Proyek strategis nasional ini digadang-gadang bisa menambal besarnya selisih antara kemampuan kilang Pertamina mengolah minyak mentah dan kebutuhan BBM di dalam negeri. Selama ini, enam kilang milik Pertamina hanya sanggup mengolah 1 juta barel minyak mentah per hari. Sebanyak 705 ribu barel di antaranya berasal dari dalam negeri, sisanya dari minyak mentah impor. Hasil pengolahan kilang-kilang itu pun tak mampu menutup kebutuhan domestik, yang mencapai 1,8 juta barel per hari.
Angka-angka tersebut belum mencakup jumlah impor petrokimia yang juga tinggi. Walhasil, impor di sektor minyak dan gas menjadi biang kerok terus melebarnya defisit perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Pekerja di area pembangunan Refinery Development Master Plan Pertamina di Balikpapan, Kalimantan Timur, 11 Maret 2021. Dok. Pertamina
Pertamina memperkirakan peremajaan dan pembangunan kilang baru akan mengerek kapasitas semua kilang perseroan hingga mencapai 2 juta barel per hari pada 2025. Selain menekan laju impor BBM dan petrokimia, proyek-proyek ini diharapkan bisa meningkatkan standar produk BBM Pertamina dari Euro 2 ke Euro 5, yang lebih ramah lingkungan.
Namun proyek ambisius itu rupanya terhambat masalah pendanaan. Dalam perkiraan Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini, proyek kilang dan petrokimia yang telah ditugaskan pemerintah kepada Pertamina untuk periode 2020-2024 membutuhkan biaya modal hingga US$ 18,02 miliar. Pada periode yang sama, Pertamina juga kudu mengerjakan sekitar 300 proyek strategis dengan kebutuhan investasi senilai US$ 92 miliar. Sebagian besar modal, senilai US$ 64 miliar, akan digelontorkan ke sektor hulu (upstream).
Makanya Pertamina kini terus menimbang semua skema pendanaan yang paling efisien. “Kami mengharapkan capital financing, dari bank komersial, multilateral, sovereign wealth fund, atau pemodal lain,” ujar Emma dalam webinar Direktorat Kerjasama Universitas Indonesia dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, 4 Maret lalu.
Hari itu, Emma sekaligus menawarkan sejumlah proyek Pertamina kepada Lembaga Pengelola Investasi, pengelola dana kekayaan negara yang baru saja terbentuk dengan nama beken Indonesia Investment Authority (INA). Pertamina sudah mencanangkan, kata Emma, dari kebutuhan investasi sebesar US$ 92 miliar sepanjang 2020-2024, hanya 38 persen yang berasal dari kantong perusahaan.
Pertamina juga menyiapkan sejumlah sumber dana dari pembiayaan proyek dan peningkatan nilai perusahaan—antara lain dengan menawarkan anak usaha ke bursa saham. Adapun sebanyak 35 persen diharapkan datang dari pendanaan luar. Dalam kategori terakhir inilah Pertamina mengincar pundi-pundi dana yang dikelola INA. “Equity-based ini nanti akan sangat besar. Ini tentunya bisa datang lewat partneran dengan INA dan lain-lain,” ucap Emma.
Menurut Emma, selama ini pendanaan Pertamina banyak bertopang pada pinjaman bank komersial dan surat utang global. Ke depan, dia menjelaskan, perusahaan akan menggalakkan pendanaan ekuitas dan privat.
Di Balongan, RDMP fase kedua diperkirakan membutuhkan investasi US$ 1,5-2 miliar. Adapun fase ketiga memerlukan US$ 8 miliar untuk membangun kilang produksi petrokimia. Pada fase inilah Pertamina berharap bisa mengawinkan CPC (Taiwan) dengan Abu Dhabi National Oil Company atau ADNOC (Uni Emirat Arab), yang didekati lebih dulu sebagai investor strategis.
Namun, belum juga perkawinan itu terjadi, empat tangki Balongan terbakar. Semoga tragedi ini tidak membuat calon investor hengkang. Sebelumnya, Saudi Aramco mundur dari proyek RDMP Cilacap. Overseas Oil and Gas LLC asal Oman juga sudah balik kanan dari proyek kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur.
Pertamina belum menjawab pertanyaan tentang nasib peremajaan kilang Balongan setelah empat tangki di unit pengolahan itu terbakar. Dihubungi sejak Kamis, 1 April lalu, Corporate Secretary Subholding Refining dan Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya belum merespons sejumlah pertanyaan Tempo.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo