Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Hadiah untuk Sang Jurnalis

Komite Nobel memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov. Wakil para jurnalis yang kritis terhadap kekuasaan.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hadiah Nobel Perdamaian 2021 diberikan kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov.

  • Keduanya memimpin media yang kritis terhadap kekuasaan.

  • Kebebasan berekspresi sekarang berhadapan dengan algoritma media sosial.

DISKUSI virtual "Press in Distress: Will Independent Journalism Survive in South East Asia" pada Jumat, 8 Oktober lalu, itu membahas berbagai tekanan yang dihadapi media massa di Asia Tenggara saat ini. Acara yang digelar sejumlah organisasi, seperti Freedom Film Fest dan Centre for Independent Journalism, itu juga menampilkan trailer A Thousand Cuts, film dokumenter PBS mengenai "perang" antara Maria Ressa bersama Rappler dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diskusi yang dipimpin Ian Yee, pendiri The Fourth dari Malaysia, ini menampilkan Direktur Utama Rappler Maria Ressa, Direktur Utama Tempo Inti Media Arif Zulkifli, dan pendiri Malaysiakini, Steven Gan. Diskusi sempat terhenti sejenak ketika Ressa menerima panggilan telepon dari Norwegia. Seorang wakil dari Nobel Institute mengabari dia terpilih sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian. "Ya, Tuhan. Saya tak bisa berkata-kata," Ressa berseru. Layarnya pun padam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keterkejutan, ucapan selamat, dan keributan kecil mewarnai kabar itu. Sesaat kemudian, Ressa muncul lagi. "Ini pengakuan atas betapa sukar kerja jurnalis saat ini, betapa sukar apa yang kita lakukan," katanya.

Komite Nobel Norwegia memberikan Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov, pemimpin redaksi surat kabar Rusia, Novaja Gazeta. Dalam pernyataannya, Komite menyatakan penghargaan ini diberikan atas usaha mereka menjaga kebebasan berekspresi, yang menjadi syarat bagi demokrasi dan perdamaian abadi. "Mereka adalah wakil dari semua jurnalis yang berdiri tegak dengan idealisme mereka di sebuah dunia tempat demokrasi dan kebebasan pers menghadapi kondisi-kondisi bermusuhan yang terus meningkat," ucap Komite.

Komite menyebut jurnalisme yang bebas, independen, dan berdasarkan fakta berfungsi melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan, dan perang propaganda. Komite menilai hak-hak itu merupakan prasyarat penting bagi demokrasi dan perlindungan dari perang dan konflik. "Pemberian Hadiah Nobel Perdamaian kepada Maria Ressa dan Dmitry Muratov dimaksudkan untuk menggarisbawahi pentingnya melindungi dan membela hak-hak dasar ini."

CEO Rappler dan Editor Eksekutif Maria Ressa di Pengadilan Pengadilan Regional Pasig, Pasig, Filipina, Maret 2019. REUTERS/Eloisa Lopez//File Foto

Dalam wawancara dengan Tempo pada Kamis, 14 Oktober lalu. Maria Ressa menyatakan Ketua Komite Nobel Berit Reiss-Andersen mengaku telah lama menimbang rencana memberikan penghargaan terhadap kebebasan berekspresi. Komite melihat pentingnya jurnalis dan peran jurnalis, terutama di daerah konflik, yang membutuhkan kesaksian jurnalis. Komite akhirnya memutuskan menganugerahkan Hadiah Nobel bagi jurnalis pada tahun ini.

Maria Angelita Ressa lahir di Manila, Filipina, pada 1963. Ibunya memboyongnya ke Amerika Serikat saat ia berusia 10 tahun. Dia kemudian mengambil kuliah biologi dan teater di Princeton University. Dengan beasiswa Fulbright, dia mengambil gelar master di bidang teater politik di University of Philippines Diliman pada 1986.

Ressa mudik ke Manila di tengah gerakan rakyat melawan Presiden Ferdinand Marcos. Dia bergabung dengan CNN ketika stasiun televisi itu baru berupa saluran kabel Amerika kecil. CNN menekankan pentingnya wajah reporter di kamera dalam mewartakan peristiwa. Ressa pun menjadi wajah CNN di Asia Tenggara pada 1990-an. Setelah memimpin biro media itu di Manila hingga 1995, dia memimpin biro di Jakarta selama sepuluh tahun.

Pada 2005, Ressa memimpin divisi berita ABS-CBN, jaringan media terbesar Filipina. Saat itu dia memilih menjadi jurnalis investigatif dan menyoroti isu terorisme. Pengalamannya meliput jaringan Al-Qaidah terbit sebagai buku bertajuk Seeds of Terror: An Eyewitness Account of Al-Qaeda’s Newest Center of Operations in Southeast Asia.

Di suatu pagi pada Juni 2008, Ressa bangun lebih awal karena ditelepon reporternya, Ces Drilon. Meski dilarang Ressa, Drilon dan dua juru kamera berusaha mewawancarai Radullan Sahiron, pemimpin Abu Sayyaf, kelompok teroris di Filipina selatan yang berafiliasi dengan Al-Qaidah. Mereka malah ditangkap dan kelompok itu menuntut uang tebusan sebesar 20 juta peso atau sekitar Rp 5,5 miliar. Selama sepuluh hari, Ressa dan rekannya di ABS-CBN mengupayakan keselamatan mereka. Krisis berakhir setelah keluarga Drilon dapat mengumpulkan cukup dana untuk memuaskan tuntutan penculik.

Ressa dan sejumlah rekannya kemudian mendirikan Rappler, situs berita pertama Filipina. Proyek ini mula-mula muncul sebagai laman di Facebook. Media ini tak sekadar melansir berita, tapi juga terlibat dalam komunitas online yang lebih besar yang, antara lain, menggalang dana dan informasi untuk hal-hal penting, seperti banjir. Rappler juga merekrut lebih banyak anak muda berusia 20-an tahun, yang dinilai lebih memahami media sosial.

Rappler dengan cepat menjadi media yang populer. Pada 2016, media itu mulai mengkritik keras pemerintah Rodrigo Duterte, yang baru saja terpilih sebagai presiden, dan kampanye "perang melawan narkotik"-nya, yang diperkirakan telah membunuh 12 ribu orang. Hal ini terjadi ketika Rappler menemukan banyak hoaks yang berhubungan dengan Duterte di media pemerintah dan swasta yang disebar secara masif di Facebook.

Hoaks itu berhulu pada Internet Research Agency, pusat troll paling terkenal di dunia yang berbasis di St. Petersburg, Rusia. Reputasi organisasi itu mencuat setelah campur tangannya dalam pemenangan Donald Trump pada pemilihan Presiden Amerika 2016 terungkap. Ketika Rappler menulis tentang salah satu troll yang menggarap isu politik Filipina, akun troll tersebut menghilang.

Dalam berbagai diskusi dan wawancara setelah pengumuman Komite Nobel, Maria Ressa berulang kali menekankan masa depan kebebasan berekspresi di tengah kepungan media sosial. Algoritma media sosial, menurut dia, telah mempengaruhi orang banyak dan menjadi penyebar hoaks paling dominan.

"Dalam hal kebebasan berbicara dan apa artinya ketika Anda berbicara tentang algoritma dan platform media sosial, perusahaan Amerika yang akan menentukan apa yang akan mendapat amplifikasi, apa yang akan dikirimkan kepada Anda. Saya khawatir tentang hal ini karena jika platform media sosial tidak ada pagar pembatas pada saat kita mengadakan pemilihan umum, misalnya, kita tidak mungkin memiliki pemilihan umum yang berintegritas jika tidak memiliki fakta yang berintegritas," katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus