Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Boneka yang Tak Suka pada Tubuhnya

Untuk pertama kalinya kelompok teater boneka Papermoon berpentas dengan medium keramik. Medium unik dari tanah liat itu menyimbolkan kerapuhan sekaligus keliatan, tepat untuk menyampaikan kisah kelompok marjinal seperti transpuan.

20 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertunjukan online teater boneka berjudul 1200° dari kelompok Papermoon Puppet Theatre. Dok. Papermoon Puppet Theatre

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klang… klang… ser…. Sepasang tangan kecil dari keramik menjangkau tepi rak. Klang tang srek…. Kepala kecil menyusul naik. Kepala plontos itu juga terbuat dari tembikar putih bernoda, hidungnya lancip, sudut-sudut luar matanya yang hitam menurun seperti melamun. Ting ting kretek kretek…. Di bawahnya, dua boneka gerabah lain berdiri gemetar, yang satu menginjak kepala yang lain, membentuk tangga agar boneka pertama dapat mengangkat dirinya ke atas rak. Ketika dia berhasil naik, sang kawan melambaikan tangan seolah-olah mendoakan keberuntungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba datang seseorang—kali ini manusia. Bercelemek dan bersarung tangan. Dengan cepat manusia itu mengayunkan sebuah pintu berat untuk menutup rak, lalu menguncinya erat. Rak itu ternyata tungku pembakaran keramik. Boneka kita terkurung di dalamnya. Lalu merah, segalanya memerah. Si hidung lancip menyaksikan potongan-potongan keramik di sekitarnya menggeletar. Cairan pekat meletup-letup. Dia luluh di dalamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan online teater boneka berjudul 1200° pada awal Februari lalu ini adalah pertama kalinya kelompok Papermoon Puppet Theatre bermain-main dengan medium keramik. Semua boneka dan sebagian besar properti yang muncul dalam pertunjukan terbuat dari tembikar, alih-alih kayu, kertas, atau rotan yang biasa mereka gunakan. Namun ekspresi dan gerak tiap boneka keramik tetaplah karakter kelompok teater boneka berusia 14 tahun itu. Wajah-wajah boneka dibentuk tanpa emosi mencolok, tapi pada saat bersamaan dapat membiaskan ragam emosi yang pas dalam adegan demi adegan. Begitu pula pola gerak kepala, tangan, dan kaki yang teramat halus dan rinci, yang mampu melantunkan cerita sekalipun sama sekali tak ada dialog yang terlontar.

Pertunjukan online teater boneka berjudul 1200° dari kelompok Papermoon Puppet Theatre. Dok. Papermoon Puppet Theatre

Pencetus ide eksplorasi dengan keramik itu tak lain pendiri dan sutradara Papermoon, Maria Tri Sulistyani. Mereka memulai eksperimen pada pertengahan tahun lalu, yang kemudian makin ditekuni saat datang undangan membuat pertunjukan penutup untuk Program Peduli dari The Asia Foundation dan Komunitas Salihara. Program ini menyuarakan inklusivitas manusia dan kesetaraan hak bagi kelompok marjinal, seperti difabel, penganut agama minoritas, dan transpuan. “Saat menyusun cerita, kami menemukan bahwa medium keramik yang rapuh ini rasanya tepat untuk menceritakan kisah kelompok minoritas yang juga selalu dalam posisi rapuh,” kata Maria lewat wawancara telepon pada Rabu, 17 Februari lalu.

Ria—begitu dia biasa disapa—pernah menjadi desainer dan manajer untuk seorang seniman keramik sebelum mendirikan Papermoon. Dia kembali teringat pada medium yang sudah lama ia tinggalkan itu saat situasi pandemi memaksanya mencari-cari kegiatan belajar di rumah bersama anaknya. Dari aksi iseng itulah Ria sadar bahwa keramik bisa menjadi eksperimen artistik baru dalam pentas Papermoon.

Sempat muncul banyak kekhawatiran saat mereka mulai membentuk boneka dari tanah liat. Tiga puppeteer Papermoon lain, yakni Beni Sanjaya, Anton Fajri, dan Pambo Priyojati Ranu Handoko, masih asing dengan medium itu. Banyak bentuk yang tak sesuai dengan perkiraan atau keramik pecah di tengah jalan. Proses memainkan boneka keramik pun membuat deg-degan karena kerapuhannya. “Biasanya boneka Papermoon bisa dibetulkan kalau rusak. Keramik kalau pecah ya sudah,” ujar Ria.

Pertunjukan online teater boneka berjudul 1200° dari kelompok Papermoon Puppet Theatre. Dok. Papermoon Puppet Theatre

Pada akhirnya, kerapuhan itu justru mereka manfaatkan dengan penuh makna. Muncul adegan-adegan ketika boneka porselen sengaja dipecahkan. Misalnya saat potongan-potongan keramik tak sempurna dikumpulkan oleh keramikus, lalu dihantam dengan palu hingga menjadi serpihan. Si boneka hidung lancip—dengan wajah kosongnya yang tiba-tiba dapat dibaca sebagai kesedihan—mengais-ngais serpihan itu, mencari tangan dan kaki yang sempat ia idam-idamkan. Ada kepahitan tentang bagaimana yang dipandang tak utuh atau tak memenuhi standar umum kerap dipinggirkan, bahkan sengaja dilindas dan dihancurkan.

Pertunjukan ini juga mengemukakan pesan tentang keuletan. Seperti tanah liat yang dapat dibentuk menjadi apa saja, tokoh utama dalam kisah ini bisa terus menemukan dirinya sekalipun telah hancur berkali-kali. Si tokoh utama adalah sebuah boneka yang tak begitu senang pada tubuh ciptaan manusia keramikusnya.

Latar belakang pentas adalah sebuah studio keramik bernuansa cokelat dengan rak-rak kayu yang dipenuhi macam-macam potongan keramik. Kita melihat si keramikus duduk untuk membuat sebuah boneka, lalu menggeletakkannya di atas meja. Boneka itu mulai bergerak saat pembuatnya pergi menjauh. Kepalanya bergeleng-geleng saat mengamati tangan dan kaki yang dipasangkan si pencipta padanya. Dia mendorong bagian-bagian tubuh itu ke bawah meja hingga pecah berkeping-keping. Hanya kepala yang tersisa. Si kepala lantas mencari-cari pasangan lengan, kaki, dan tubuh yang sesuai dengan keinginannya di antara tumpukan tembikar di studio keramik itu.

1200° adalah metafora indah tentang pencarian, penerimaan diri, dan kesediaan dukungan dari orang-orang terdekat. Tatkala si hidung lancip kesulitan menempah dirinya yang baru, kawan-kawan lempungnya datang dan membantu, termasuk dengan mengantarnya ke tungku pembakaran agar dia dapat tersambung dengan potongan tubuh pilihannya. Tubuh baru itu memiliki buah dada dan roda sebagai kakinya. Dia meluncur mulus di dalam tubuh itu dan disambut dengan hangat oleh para sahabat.

Ria mengembangkan cerita ini seusai kegiatan lokakarya di studio Papermoon dengan kelompok transpuan Yogyakarta. Dalam lokakarya yang berlangsung dengan protokol kesehatan ketat itu, para transpuan berkesempatan belajar tentang produksi teater boneka. Sebaliknya, tim Papermoon banyak mendengar cerita dan mengenal lebih dekat perjuangan kelompok ini. Dari proses itulah pentas 1200° dengan medium keramik diwujudkan. “Semoga kelak medium ini juga bisa menjadi medium aman untuk mereka menceritakan kisah mereka sendiri,” tutur Ria.

Pergerakan boneka keramik ini ternyata memunculkan suara-suara khas yang menjadi elemen unik dalam pertunjukan. Bunyi denting porselen bertemu dengan porselen, gesekan porselen menyentuh meja, hingga porselen yang jatuh ambyar terdengar tajam dan dekat. Suara-suara itu terkadang memicu tubuh menggelenyar.

Tak seperti pentas Papermoon biasanya, pertunjukan ini minim musik. Hampir semua suara datang dari apa yang terlihat di layar dan lingkungan di sekitarnya. Pada satu bagian, kita bahkan dapat mendengar suara mengaji dari pengeras suara masjid yang sengaja tak dihilangkan dalam pertunjukan itu.

Pertunjukan online teater boneka berjudul 1200° dari kelompok Papermoon Puppet Theatre. Dok. Papermoon Puppet Theatre

Untuk merekam bebunyian itu, Papermoon menggunakan perekam binaural yang juga mereka pakai saat memproduksi pertunjukan I Know Something that You Don’t Know dalam pergelaran Pesta Boneka, Oktober tahun lalu. Sistem rekam ini dapat memberikan sensasi audio tiga dimensi. “Biasanya kami bereksperimen dengan musik, tapi kali ini dengan ASMR (autonomous sensory meridian response),” ucap Ria. “Ini salah satu metafora untuk mengingatkan kembali pada hal-hal sederhana yang terkadang terabaikan, seperti suara-suara alami di sekitar kita.”

Dalam pembuatan keramik, Papermoon mendapat banyak bantuan dari studio keramik Buntari di Yogyakarta. Peralatan seperti tungku pembakaran dan glasir dapat dipinjam dari studio tersebut. Belakangan, boneka keramik yang dibuat Ria dan kawan-kawan malah menarik perhatian studio keramik itu dan membuka peluang karya-karya lain. “Mereka sekarang meminang kami untuk membuat merchandise bareng,” kata Ria.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus