Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koreksi Moch Maruf

Sehubungan dengan pemberitaan Tempo edisi 20-26 Februari 2006 halaman 95 yang berjudul ”Serangan Balik Bupati Jefri”, terdapat kesalahan yang perlu saya luruskan. Pada awal paragraf ketiga yang tertulis,” Akibat demo itu, Menteri Dalam Negeri Moch. Maruf pun menonaktifkan Jefri selama setahun.”

Yang benar, penonaktifan Bupati Kampar Jefri Noor tidak dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada masa jabatan Bapak Moch. Maruf, namun keputusan penonaktifan sementara Bupati yang dimaksud dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada masa jabatan Bapak Hari Sabarno, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 131.24-329 tanggal 25 Maret 2004 perihal penyelesaian permasalahan Bupati Kampar Provinsi Riau.

Demikian disampaikan untuk menjadikan maklum.

Tarwanto Kepala Penerangan Departemen Dalam Negeri Jalan Medan Merdeka Utara 7 Jakarta Pusat

—Terima kasih atas koreksi Anda. Kami mohon maaf dan kesalahan kami perbaiki.


Tanggapan KPK atas Surat Yunan

Membaca surat pembaca saudara Yunan Napitupulu dari Tebing Tinggi Sumatera Utara di majalah Tempo edisi 13 Febru-ari lalu dengan judul ”Keseriusan KPK” , kami merasa ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Setelah kami lakukan pengecekan data, kami memang menerima pengaduan dan sudah mengirimkan jawab-an seperti yang dimaksud saudara Yunan Napitupulu.

Perlu kami jelaskan, kebijakan internal- dari Bidang Pengawasan Internal dan Peng-aduan Masyarakat (PIPM) memang tidak menguraikan detail materi pengadu-an dalam surat balasan kepada pelapor. Ada beberapa pertimbangan, di antaranya- untuk mengantisipasi kemungkinan surat jawaban itu jatuh ke tangan yang tak berhak. Kecuali pengadu itu sendiri ingin mempublikasikan kasus itu, dan itu di luar wewenang kami. Sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, salah satu peranan lembaga ini adalah sebagai pendorong kinerja instansi penegak hukum lainnya. Jadi, KPK tak selalu harus meng-ambil alih apalagi memonopoli penanganan dugaan kasus tindak pidana korupsi.

Materi pengaduan kasus dugaan korupsi di Kota Tebing Tinggi sebenarnya sudah pernah dilaporkan kepada instansi pene-gak hukum lainnya. Sesuai dengan kewenangan KPK yaitu melakukan koordinasi dan supervisi, kami menanyakan progres penanganan kasus itu oleh pene-gak hukum dan meminta instansi yang dimaksud segera menangani dugaan adanya tindak korupsi dengan supervisi KPK.

Langkah KPK melimpahkannya kepada- Gubernur Sumatera Utara mengingat Gubernur sebagai kepala daerah provinsi memiliki aparat pengawasan (Badan Peng-awasan Provinsi) yang berada di luar struktur pemerintah Kota Tebing Tinggi. Karena itu, diharapkan memiliki independensi dan obyektivitas dalam menangani dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan Kota Tebing Tinggi. KPK tentu saja terus melakukan supervisi dan koordinasi dengan instansi itu. Pendapat bahwa KPK dibentuk karena fungsi peng-awasan dan penanganan korupsi belum berjalan seperti yang diharapkan semua-nya adalah benar. Demikian penjelasan kami.

Johan Budi SP Public Relation Indonesian Corruption Eradiction Commission (KPK) Jalan Juanda No 36 Jakarta 10110


Padang Golf Pondok Indah Tidak Aman

Pada 19 Januari 2006 lalu, sekitar pukul 14.10 WIB, saya bermain golf di Padang Golf Pondok Indah, Jakarta Selatan, ber-sa-ma beberapa orang teman. Seperti- la-zim-nya dilakukan pemain golf, kami me-ning-galkan tas kami di dalam ”buggy” (ken-daraan golf), dan saya menanyakan kepada caddy apakah aman meninggalkan tas di buggy. Caddy meyakinkan saya, segala sesuatunya akan aman.

Setelah tee-off di hole ketiga, ketika- ber-ada dalam buggy, saya menerima panggil-an telepon di handphone. Itulah terakhir- kali-nya saya melihat dompet saya. Saya yakin karena handphone saya terletak- di bawah dompet. Setelah itu kami memutus-kan untuk berjalan kaki saja dan caddy- yang memindahkan buggy. Sewaktu- saya tiba di ”green”, dua orang wanita pembersih- kebun melambai-lambaikan tas saya dan me-nanyakan, ”Ini tas siapa?” Mereka mene-mukannya di jalan setapak yang dilalui buggy.

Tas saya ditemukan dalam keadaan tertutup rapi. Setelah saya periksa, ternyata dompet saya lenyap, tapi ponsel dan barang-barang personal lainnya ada. Sudah jelas, dompet Louis Vuitton hitam saya dicuri di hole ketiga setelah saya menerima panggilan telepon.

Saya segera menghubungi kantor mana-jemen Padang Golf Pondok Indah untuk melaporkan kehilangan tersebut. Setelah menunggu cukup lama dan teman saya memanggil ulang, barulah seorang Marshall dan dua petugas keamanan tiba di lokasi kejadian.

Mereka meragukan keterangan saya. Mar-shall membawa saya ke loker untuk memeriksa apakah dompet saya tertinggal. Tentu saja tidak ada. Amat disayangkan, mereka tidak bertindak cepat menutup lokasi dan menyisir daerah kejadian, sebagaimana dilakukan padang golf lain. Kita malah membuang waktu yang berharga dengan pergi ke loker.

Saya mengerti, pencurian bisa terjadi di mana saja. Tapi untuk klub golf bergengsi seperti Pondok Indah, sangat tidak masuk akal. Yang menyedihkan, mereka me-nganggap remeh masalah pencurian. Ini sungguh pelecehan terhadap pelanggan. Manajemen malah menyalahkan saya mengapa membawa dompet ke lapangan. Pertanyaan sebaliknya saya lontarkan: ba-gaimana kami dapat meninggalkan di lo-ker kalau kunci loker pun tidak aman, sedangkan kami butuh uang untuk membeli minuman dan memberi tip kepada caddy?

Kejadian ini menimbulkan banyak kerugian dan ketidaknyamanan. Saya kehilang-an kartu ATM, kartu kredit, kunci elektronik, dan lain-lain. Kerugian terbesar adalah saya harus melaporkan kehilangan tersebut kepada bank di luar negeri. Karena itu, saya mengingatkan para pembaca untuk berhati-hati jika bermain di Padang Golf Pondok Indah, di sana barang pribadi Anda tidak dilindungi asuransi dan tak ada yang bertanggung jawab.

MARIA YULITA ILHAM Jalan Tanjung Duren Raya Grogol, Jakarta Barat


Soal Kisruh Korvet Belanda

Saya tertarik mengomentari tulisan Tempo edisi 20-26 Februari 2006, pada hala-man 28-35, dengan judul ”Akhir Kisruh Korvet Belanda”. Dan ternyata Tempo tetap terdepan dalam investigasi reporting-, meski sayangnya kali ini kurang ber-imbang dan kurang mendalami masalah.

Tulisan itu mengesankan, perjanjian pem-belian korvet Belanda dilakukan seca-ra G to G atau antarpemerintah. Disebutkan dalam tulisan itu, perjanjian itu dite-ken Departemen Pertahanan Indonesia dan pemerintah Belanda. Padahal, yang benar, perjanjian itu diteken Kepala Staf Angkatan Laut (mewakili Menhan) dengan Schelde Naval Shipbuilding yang merupakan bagian dari Damen Shipyard Group.

Sebagai orang yang berpengalaman da-lam pengadaan barang dan jasa, menurut saya, proyek kredit ekspor semacam itu selalu melibatkan agen di Indonesia. Dan semestinya, Tempo mencari siapa agen Schelde di Indonesia. Apalagi pada halaman 30 dikutip pendapat Djoko Susilo, anggota Komisi Pertahanan DPR yang mencemaskan rencana pembelian korvet ke Rusia itu dilakukan melalui pihak ketiga yang tentunya harganya jauh lebih mahal.

Menurut saya, langkah KSAL Laksamana Slamet Soebijanto membuat surat pembatalan adalah tepat. Toh, pihak Schelde sudah mengingkari amendemen kontrak tanggal 24 Mei 2004 yang memungkin-kan Indonesia mentransfer teknologi pada pembuatan korvet tahap kedua. Padahal, Menteri Negara BUMN sudah siaga mengalihkan dana pembuatan korvet tahap kedua itu menjadi anggaran program korvet nasional di PT PAL.

Di samping itu, pihak Schelde juga tak dapat memenuhi keinginan TNI Angkatan Laut yang menghendaki pemasangan meriam kaliber 10 mm pada dua korvet ter-akhir. Seharusnya, sebagai penjual, Schelde mengakomodasi kepentingan TNI-AL sebagai pemakai. Bisa dibayangkan, be-rapa anggaran kredit ekspor bagi TNI-AL sebesar Rp 5 triliun selama empat tahun harus tersedot dalam pembiayaan empat korvet Belanda itu.

Tulisan Tempo itu mengesankan adanya pembunuhan karakter terhadap Laksamana Slamet Soebijanto, yang selama satu tahun kepemimpinannya justru menerapkan kebijakan yang sehat dalam pengadaan barang dan jasa. Selain menjunjung asas keterbukaan, KSAL juga meminta setiap rekanan yang akan berpartisipasi di atas Rp 1 miliar harus mengikuti prakualifikasi yang sangat ketat. Bagi yang lolos, harus memaparkan rencananya dengan terbuka terutama soal spesifikasi, mutu, dan harga dari material yang ditawarkan sehingga didapatkan barang yang bermutu dan reasonable.

Sungguh ironis bagi saya, Tempo yang berdiri di garda depan bagi terwujudnya pemerintahan bersih justru menurun-kan berita yang kurang dalam dan tergesa-gesa. Akibatnya menjadi kontraproduktif bagi upaya Tempo mewujudkan tata pemerintahan bersih dan transparan.

—Nama dan alamat ada pada Redaksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus