Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Meruwat Zaman yang Marah

Teater Tetas melakukan road show di Surabaya, Solo, Tasikmalaya, Makassar, dan Jakarta, mementaskan naskah berjudul Julung Sungsang.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari pintu masuk Gedung Kese-nian Jakarta, penari Elly Luthan memimpin arak-arakan. Pu-luhan anggota teater SMA di Jakarta, teater kampus, dan sanggar-sanggar anak menuju panggung yang dirancang menyerupai tempat penyu-lingan air. Di sana tampak ada tandon air, juga sebuah pipa panjang meng-alirkan air ke tong yang dipanaskan. Air hangat itu terus disalurkan pipa ke akuarium dan sebuah kuali.

Di depan instalasi penyulingan yang ber-taburkan cahaya biru, merah, hijau itu, enam orang duduk melingkar di lantai. Darinya terdengar kor pedih. ”Duh Gusti, kulo nyuwun ngapura…” (Duh Gusti, saya mohon ampun). Saat cahaya terang, sederet ”gerak” dan ”fragmen-fragmen peristiwa” dimunculkan. Seorang wanita ke sana kema-ri- mencari bayinya. ”Pohon-pohon, di mana bayiku? Angin, di mana bayiku? Waktu, di mana bayiku?”

Wanita itu bernama Arimbi (dimainkan oleh Meyke Vierna). Dan agaknya Ags Arya Dipayana masih berkutat menyodorkan tafsir atas kisah wa-yang.- Sutradara ini sebelumnya, lewat karya-karyanya bersama Teater Tetas, pernah menggarap Lahirnya Wi-sanggeni, Bayi di Aliran Sungai, Je-jak- Surga, Wisanggeni Berkelebat, di-kenal mempersoalkan pakem. Cerita- dari pementasan kali ini digarap bersa-ma dalang Slamet Gundono dan Nanang Hape.

Syahdan, Arimbi adalah seorang rak-sasa yang menyaru sebagai wanita rupa-wan dan menikah dengan Bima. Ia melahirkan Gatotkaca. Tapi, pada pementasan ini, Arimbi ditampilkan tragis. ”Aku menikmati lelaki perkasa, tapi tak dapat kumiliki cintanya. Aku tidak pernah menyusui anakku sendiri….”

Teater Tetas memberi judul pertunjukannya: Julung Sungsang. Dalam ke-percayaan Jawa, anak yang lahir pada saat matahari di titik kulminasi atau julung sungsang, seperti juga anak yang lahir bersamaan dengan terbit ma-tahari (julung wangi) atau anak yang lahir pas tenggelamnya matahari (julung pujud), harus diruwat.

Julung Sungsang adalah simbol zaman salah kaprah. Siapa pun bisa ter-kena, termasuk mereka yang jujur. Ga-totkaca yang budiman itu, da-lam Gatotkaca Sraya, misalnya, di-kisahkan- mendampingi Abimanyu mempersunting Utari, putri Wirata.- Secara tak sengaja Kalabendana—sang paman—mengungkap rahasia bah-wa sesungguhnya Abimanyu telah beristri Dewi Siti Soendari. Gatotkaca marah. Ia mematahkan leher Kalabendana.

Kesalahan Gatotkaca ini yang ingin ditonjolkan Teater Tetas. Gagasan menarik ini, sayangnya, dalam eksekusi- pengadegan kurang menciptakan ima-jinasi. Untuk membangun metafor—tentang tragedi Arimbi, Gatotka-ca, Kalabendana—adegan banyak- mengolah kursi-kursi kecil. Para aktor ber-dialog, meratap, bermainan sem-ba-ri duduk, berdiri berebut, atau menumpuk-numpuk kursi. Telah banyak kur-si diolah dalam seni pertunjukan kontemporer kita. Dan tahun lalu, di gedung yang sama, masih hangat da-lam ingatan, Camille Boitel, panto-mi-mer asal Prancis, seorang diri mampu mengeksplorasi- deretan kursi menjadi bak kalajeng-king, kereta api…. Pada Tetas, elemen kursi terasa tak ”hidup”.

Sesungguhnya kerja sama dengan Nanang Hape bisa lebih liar dalam visual. Tapi, saat Kalabendana melihat antara Abimanyu dan Utari, itu ditam-pilkan Nanang Hape hanya dengan sedikit sabetan wayang kulit. Agaknya, Teater Tetas ingin menampilkan diri secara rileks, apa adanya. Aktor tak berkostum neko-neko, hanya menyandarkan pada ekspresi sehari-hari masyarakat: ratapan, gerak bebas tanpa koreografi, humor pahit.

Di tiap kota, pertunjukan Teater Te-tas ini menampilkan ritual pembu-ka yang melibatkan komunitas setempat. Di Solo, upacara dipimpin tokoh- meditasi Suprap-to Suryodarmo. Di Tasik-malaya, puluh-an komunitas teater bah-kan datang dari Ciamis. Ini adalah se-buah gagasan yang sungguh menarik.

Tidak mudah, memang, mencoba- menghubungkan instalasi rongsokan- penyulingan dengan bangunan cerita- jika tidak menikmati pertunjukan hingga usai. Karena pada adegan pe-nutup itulah: air mengucur dari kuali. Seluruh pemain di panggung bergantian berwudu. Dari air yang telah ”di-suci-kan”, mereka mencuci kaki, ta-ngan, raut muka, telinga. Lalu berja-jar menghadap penonton mendaraskan se-lawat Nabi, seolah meruwat agar kita semua tak seperti Gatotkaca.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus