Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"Aku Bangga Menjadi Algojo"

Seorang algojo dari Kabupaten Aceh Tamiang mencurahkan pengalamannya kepada Tempo. Kami menemuinya di Kota Langsa, sekitar satu setengah jam dari Kuala Simpang dengan tujuan agar penuturan kisahnya lebih terbuka. Permintaan algojo berusia 38 tahun itu hanya satu: identitasnya dirahasiakan.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGANKU mulai pegal pada cambukan ketiga. Maka ayunan rotan berikutnya mulai melambat. Warga yang menyaksikan hukuman cambuk itu langsung bereaksi melihat ayunanku melemah. "Huuuu…," teriak mereka serempak. Aku terkesiap. Di cambukan kelima, aku kencangkan lagi ayunan tanganku. Seketika penonton bertepuk tangan, hingga satu cambukan terakhirku kepada seorang pria di hadapanku.

Hari itu Jumat, tanggalnya aku lupa, pada bulan November tahun lalu. Aku ditunjuk menjadi algojo hukuman cambuk di Kabupaten Aceh Tamiang. Itu pengalaman pertamaku. Kepala kejaksaan sendiri yang menunjukku menjadi algojo. Aku tak pernah bertanya alasan pemilihan itu. Saat ditunjuk, aku langsung menyatakan siap. Apalagi pekerjaanku sebagai anggota Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah mewajibkanku menjalankan amanah qanun, peraturan syariah yang khusus berlaku di Aceh.

Korban pertamaku, pria yang kucambuk itu, tertangkap tangan sedang main judi. Aku tak kenal dengannya. Tapi itu tak membuatku tampil lepas. Aku grogi, meski orang tak mengenaliku karena seluruh tubuhku tertutup cadar. Hanya telapak tangan dan mataku yang terlihat. Alhamdulillah, debutku lancar. Wajah para pejabat Aceh Tamiang tampak puas. Begitu juga warga yang bertepuk tangan panjang di akhir pencambukan. Aku pun pulang dengan hati tenang.

Debut ini ternyata berkesan di hati kejaksaan. Dua pekan kemudian, aku kembali diminta menjadi algojo. Akhirnya aku tahu alasan jaksa memilihku. Mereka menganggap aku memiliki pengetahuan dan ketenangan jiwa yang mumpuni. Aku memang lulusan salah satu universitas negeri di Bandung, Jawa Barat, dengan nilai memuaskan. Aku juga dianggap memiliki ilmu agama yang memadai. Apalagi aku pernah berguru kepada Profesor Al-Yasa Abubakar. Dia adalah orang yang selama ini dikenal sebagai konseptor qanun. Dari beliau juga aku belajar bagaimana menjadi algojo yang baik.

Tak ada kriteria khusus menjadi algojo. Dalam buku peraturan yang aku baca, syarat menjadi algojo adalah orang yang bertakwa kepada Allah SWT dan sehat jasmani-rohani. Orang yang menjadi algojo juga harus yakin dengan tindakannya. Tidak boleh ada rasa bersalah setelah mencambuk para terpidana, meskipun yang dicambuk adalah seseorang yang ia kenal. Sebab, algojo tak boleh memilih siapa korbannya.

Bagiku, menjadi algojo sama dengan menjalankan perintah Allah. Aku bangga karena hukuman ini sesuai Al-Quran dan hadis. Cambukanku memang tak menyakitkan, tapi memalukan karena ditonton orang banyak.

Sudah 22 orang yang aku cambuk. Karena kasus makin banyak kini ada tim algojo yang anggotanya enam orang. Aku menjadi pelatih. Seorang algojo memang harus dilatih, karena mengayun cambuk rotan tidak mudah. Ada aturannya. Tangan algojo harus membentuk sudut 90 derajat dengan dadanya. Tak boleh ditekuk. Karena itu, tangan algojo gampang pegal saat mencambuk.

Untuk melatih batin, kami rutin menggelar pengajian. Kami juga punya doa khusus yang dibacakan sesaat sebelum menggelar pencambukan. Kami diberi makanan khusus, seperti minuman energi dan makanan favorit masing-masing. Itu cukup memotivasi kami. Juga ada insentif khusus yang diberikan kepada kami. Jumlahnya lumayanlah.

Sebagai algojo, kami harus menutup identitas. Pernah seorang algojo ketahuan identitasnya karena wajahnya terpantul di cermin saat melepas jubah. Ia pun cemas. Bukan tak mungkin para terpidana menyimpan dendam. Maka, selain para pejabat, tak boleh ada yang tahu identitas algojo. Aku pun begitu, merahasiakan identitasku sebagai algojo kepada siapa pun, termasuk kepada istri dan seorang putraku. Mungkin nanti suatu saat aku ungkap cerita ini kepada mereka. Saat aku tak menjadi algojo lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus