Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tercoreng Dakwaan Mesum

Para terpidana hukuman cambuk di Aceh memilih minggat ketimbang menahan malu. Penerapannya masih timpang.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKAD Hendra sudah bulat. Ia tak mau lagi menginjakkan kaki di Aceh. Ia memilih pulang kampung ke Garut, Jawa Barat, tempat ia dilahirkan. Rumahnya di Desa Ajun, Aceh Besar, sudah lima bulan ia tinggalkan. Di rumah itu kini hanya tinggal istri dan seorang putranya, yang masih sekolah dasar. "Saya malu," kata pria 40 tahun yang minta nama aslinya tidak disebutkan ini kepada Tempo.

Hendra dicambuk pada 11 April lalu. Mahkamah Syariah memvonisnya bersalah melanggar Pasal 5 Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang mesum (khalwat). Ia dituduh telah berdua-duaan dengan Nuraini—juga bukan nama sebenarnya—18 tahun, di rumahnya. Pasangan yang memeluk agama Islam ini dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman cambuk. Hendra dipecut tujuh kali, sedangkan Nuraini lima cambukan. Mereka menjalani hukuman di hari yang sama.

Istri Hendra, yang juga menerima dampak hukuman itu, turut mempersiapkan kepindahan mereka. Pekerjaan sehari-hari mereka tinggalkan. Hendra, yang sebelumnya dikenal sebagai fotografer kawakan, sudah memboyong semua perlengkapan studinya. Istrinya juga tak bekerja lagi. Putra mereka, yang juga menanggung malu lantaran sering diejek teman-temannya, bersiap pindah sekolah. Mereka tak mau lagi bertemu dengan orang yang sebelumnya mereka kenal di Aceh. "Kami akan menjalani hidup baru di tempat baru," ujar Hendra.

| | |

Kisahnya bermula awal Januari lalu. Nuraini, pelajar sekolah menengah atas, meminta Hendra memotretnya. Sebagai fotografer profesional, Hendra menampung tawaran itu. Apalagi foto itu rencananya hanya digunakan sebagai koleksi pribadi Nuraini. Permintaan Nuraini pun tak aneh-aneh. Ia hanya minta difoto layaknya model profesional yang tak perlu tampil vulgar. "Hasil fotonya akan ia unggah ke ­Facebook," kata Hendra.

Hari pemotretan disepakati Rabu siang, 19 Januari 2011, di studio foto yang berada di lantai dua rumah Hendra. Saat pemotretan, kata Hendra, mereka tak hanya berdua. Ada seorang pembantu Hendra yang tengah bekerja di lantai satu. Istrinya masih di kantor, sementara anaknya bersekolah. Setelah satu sesi, pemotretan berjalan lancar. Keduanya pun tak memiliki firasat ada masalah. Ketika hendak mengerjakan proyek pemot­retan, Hendra sudah meminta persetujuan istrinya. "Jendela dan pintu di lantai dua sengaja saya buka agar terlihat dari luar," ujarnya.

Sejam berlangsung, mendadak pintu rumah digedor para tetangga. Hendra, yang tak merasa ada yang harus ditutupi, menerima mereka dengan tangan terbuka. Para warga langsung memberondong Hendra dengan tuduhan telah berdua-duaan di ranjang bersama Nuraini. Ia menampik tuduhan itu. Untuk membuktikannya, tiga orang pemuda naik ke lantai dua mengecek Nuraini. Tragis, tiga orang itu malah melakukan pelecehan seksual kepada Nuraini. Lewat Koordinator Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Azriana, Nuraini menolak tawaran wawancara Tempo.

Kasus ini kemudian bergulir dengan sangkaan pelecehan tiga pemuda itu kepada Nuraini. Polisi menahan ketiganya. Pengadilan memvonis mereka bersalah. Hendra dan Nuraini pun sempat menjalani kehidupan mereka seperti biasa. Tapi warga tak puas. Mereka, kata Hendra, tak terima hanya ketiga warga itu yang dihukum, sementara sangkaan mesum kepada dia dan Nuraini tak pernah diproses. Hendra diteror warga sekampung. "Rumah saya sering dilempari batu," ujarnya.

Kepala Desa Ajun, Safwan, mengakui ada warga yang tak bisa menahan emosi. Mereka merusak kaca rumah Hendra. Safwan maklum karena warga setempat masih kuat memegang agama. Ia mengaku sudah mencoba menyelesaikan kasus Hendra ini secara baik-baik. Bila kasus membesar, toh warga juga yang akan menanggung malu. Apalagi, bagi Safwan, warganya sudah seperti keluarga sendiri. "Karena itu, saya tak tahu siapa yang membawa kasus ini ke pengadilan," katanya.

Kasus itu memang memanas lagi tiga bulan kemudian. Ada kelompok warga yang mendesak Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah setempat memperpanjang kasus Hendra dan Nuraini. Keduanya pun akhirnya diperiksa penyidik pegawai negeri sipil. Hasilnya, mereka ditetapkan sebagai tersangka kasus mesum. Mahkamah Syariah Aceh Besar kemudian menggelar kasus ini sehari sebelum pencambukan, yang dilakukan April lalu. Memang, durasi sidangnya sungguh singkat, hanya satu hari. "Pagi sidang dibuka, sorenya sudah divonis," ujar Hendra.

| | |

Mencari bekas terpidana hukuman cambuk bukan perkara mudah. Dari beberapa eks terpidana hukuman cambuk yang Tempo temui dan hubungi di Aceh, hampir semuanya menolak diwawancarai. Mereka mengaku malu dan menderita trauma bila mengingat kisah itu. Domisili mereka juga umumnya sudah berubah. Delapan dari sepuluh bekas terpidana di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, misalnya, sudah tak ketahuan lagi di mana jejaknya. "Mereka pindah karena malu sama tetangga," kata Taufik Ramadhan, 31 tahun, salah seorang tokoh pemuda Kuala Simpang.

Tren ini diakui Kepala Dinas Syariah Provinsi Aceh Rusydi Ali. Hukuman cambuk tidak bertujuan melukai tubuh terpidana, tapi membuat para pelaku kapok karena malu. Biasanya mereka yang tak kuat menahan malu, kata Rusydi, adalah terpidana kasus khalwat. Bagi warga, kasus ini sangat memalukan, tidak seperti judi dan minuman keras—yang masih termaafkan. "Kalau terpidana judi, banyak yang dicambuk hingga dua kali," ujarnya kepada Tempo.

Sebenarnya para terdakwa itu tak perlu buru-buru merasa keningnya tercoreng. Seperti lazimnya pengadilan di negeri ini, Mahkamah Syariah mengenal upaya banding. Ada pula mekanisme peninjauan kembali yang diproses di Mahkamah Agung hingga vonis itu berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, "Pengadilan jarang menawari tersangka melakukan banding," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh, Hendra Fadli, kepada Tempo.

Kejadian inilah yang sering dialami orang miskin yang menjadi terdakwa. Bahkan, Fadli mencatat, hampir semuanya tak melakukan upaya banding. Kondisi ini terjadi karena mereka buta hukum. Juga tak punya uang untuk membayar pengacara. "Qanun seharusnya menyediakan pengacara gratis kepada kaum miskin," ujarnya.

Rusydi mengakui ketimpangan itu. Selama ini, kata dia, kebanyakan terdakwa dari golongan mampu yang melakukan banding. Selain melek hukum, mereka sanggup membayar pengacara. Karena itu pula banyak tuduhan miring terhadap penegakan qanun, yang dianggap hanya mampu menyapu masyarakat kecil. Mereka pun pasrah terhadap hukuman. Sedangkan si kaya lebih berpeluang lolos dari jerat hukuman karena rela membayar mahal pengacara.

Fadli mengkritik penerapan qanun ini. Sebab, tak semua terpidana benar-benar bersalah. Kasus Hendra contohnya. Masyarakat menuduh Nuraini menggunakan baju transparan. Padahal yang ia kenakan saat itu adalah kemeja putih lengan panjang dan celana pendek. Tapi, apa mau dikata, efek praktek hukum yang tak adil ini sungguh besar. Satu kampung akan mengejek mereka seumur hidup hingga ke anak-cucu. "Praduga masyarakat masih sering mendahului keputusan hakim," ujarnya.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Hendra pun menyesal tak melakukan banding. Isi qanun pun tak banyak ia pahami. Kala itu, ia hanya ingin kasus hukum yang menderanya segera berakhir. Meski berhak, Hendra tak menyewa pengacara. Sebab, selain merasa yakin tak bersalah, ia tak menyangka efek hukuman cambuk akan sebesar itu. Hendra pun memilih mengalah. "Biarlah, biar warga puas melihat saya dicambuk," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus