Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AZRIANA, 43 tahun, masih ingat betul masa-masa dia duduk di bangku sekolah menengah di Aceh Utara hingga 1993. Tak ada kewajiban bagi perempuan mengenakan jilbab. Seperti lazimnya siswi di luar Aceh, Nana—nama panggilan Azriana—dan beberapa murid perempuan lain mengenakan rok sedengkul. "Tak ada yang mempersoalkan waktu itu," tutur Koordinator Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan ini kepada Tempo akhir Juli lalu.
Keadaan berubah pada pengujung 1999. Aceh mendapat keistimewaan untuk menerapkan syariah Islam secara penuh. Qanun—peraturan berdasar syariat Islam—memang belum terbit, tapi razia terhadap warga yang kedapatan dianggap melanggar syariah, termasuk tidak memakai jilbab, mulai terjadi.
Ada sejumlah qanun di bumi Aceh, dari tentang pelaksanaan tata cara ibadah, penyelenggaraan kehidupan adat, hingga pemilihan kepala daerah. Tapi, dari semua itu, qanun yang dengan tegas menyebut Âsanksi bagi pelanggarnya dihukum cambuk ada tiga, yakni qanun tentang maisir (judi), khalwat (mesum), dan khamar (minuman keras). Hukuman cambuk diterapkan dengan tujuan menghindari penahanan sekaligus membuat jera dan malu pelakunya.
Untuk hukuman cambuk, pelaksanaannya mesti dilakukan di tempat umum, seperti di lapangan. Cambuk yang dipakai sepotong rotan sepanjang satu meter dengan diameter maksimal satu sentimeter. Saat dicambuk, para terhukum, baik laki maupun perempuan, harus mengenakan pakaian serba putih dan pakaian itu harus menutup auratnya. Sang eksekutor, yang biasa disebut algojo, muncul dengan topeng dan tubuh yang terbungkus jubah sehingga tak dikenali penonton atau mereka yang dicambuk. Hanya terlihat kaki, mata, dan telapak tangan sang algojo.
Sebelum eksekusi (pecambukan) dilakukan, seorang dokter harus memastikan terlebih dulu si terhukum cukup sehat dan mampu menjalani hukuman. Sang algojo tak bisa sesuka hatinya mengayunkan rotannya. Ia hanya diperkenankan mengangkat rotan sejajar tanah—tak boleh diangkat terlalu tinggi.
Bagian tubuh yang dicambuk hanya bagian punggung, yakni dari bahu hingga pinggul. Adapun jumlah cambukan bervariatif, menurut vonis yang dijatuhkan Mahkamah Syariah. Untuk mereka yang terbukti melanggar Qanun Khalwat, misalnya, hukumannya dicambuk tiga hingga sembilan kali.
Qanun di Aceh memasuki perkembangan baru dengan diselesaikannya pembahasan Qanun Jinayah dan Qanun Hukum Jinayah oleh DPRD Aceh periode 2004-2009. Isinya menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana. Di sini diatur detail, antara lain, mengenai khamar, maisir, khalwat, ikhtilath (bermesraan laki dan perempuan), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang berbuat zina), liwath (perbuatan homoseksual), hingga musahaqah (perbuatan lesbian).
Qanun Jinayah memuat sanksi bagi pelanggarnya. Untuk yang berzina dirajam alias dilempari batu hingga meninggal. Adanya hukum rajam itu yang membuat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menolak mengesahkan qanun tersebut.
Sejauh ini yang paling kerap dicambuk adalah mereka yang melanggar Qanun Maisir alias larangan berjudi. Hanya, nyatanya para penjudi yang dicambuk itu kebanyakan golongan masyarakat bawah. Kepala Dinas Syariah Provinsi Aceh, Rusydi Ali, juga mengakui soal ini. Menurut Rusydi, tidak adanya para penjudi kakap yang dicambuk bisa jadi karena mereka berjudi di Medan, Singapura, atau juga tetap di Aceh tapi di sebuah rumah atau ruangan rahasia sehingga sulit dibuktikan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh, Hendra Fadli, menyatakan banyak kasus yang melibatkan orang penting di Aceh justru mandek dan lolos dari hukuman cambuk.
Hendra menunjuk para hakim Pengadilan Mahkamah Syariah juga terkesan hanya ketuk palu. Masyarakat, katanya, juga bebas masuk ke ruangan ketika sidang berlangsung, mengintimidasi tersangka lewat caci maki, dan hakim tak melakukan apa pun. "Penegakan qanun ini seperti mata pedang, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," kata Hendra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo