Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA tumpuk berkas itu Âteronggok di meja kerja Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Isinya Rancangan Hukum Jinayah—biasa disebut Qanun Jinayah—dan Hukum Acara Jinayah. Sudah beberapa kali berkas itu bolak-balik dari kantor Gubernur ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. "Gubernur belum akan menandatanganinya," kata Kepala Dinas Syariah Provinsi Aceh, Rusydi Ali, kepada Tempo awal Ramadan lalu.
Pada pertengahan 2008, Irwandi berinisiatif membuat kedua draf itu. Tapi kini ia menolak tanda tangan karena Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Aceh periode 2004-2009, yang bertugas membahas Qanun Jinayah—peraturan hukum pidana—menambahkan pasal hukuman rajam hanya dua pekan sebelum jabatan mereka berakhir. "Pasal itu dibahas saat kami tak di ruangan," ujar Rusydi, yang saat itu mewakili kalangan akademisi dalam tim perumus qanun itu di DPR Aceh. DPR Aceh mengesahkan rancangan qanun tersebut pada 14 September 2009.
Hukuman rajam itu ditujukan untuk mereka yang terbukti berzina. "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan uqubat hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan uqubat rajam/hukuman mati yang sudah menikah," demikian pasal 24 Qanun Jinayah itu berbunyi.
Masuknya hukuman rajam itu tak pelak memang memancing kritik sejumlah tokoh masyarakat Aceh. Menurut Rusydi, mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, itu, hukum rajam memang belum saatnya diterapkan. "Pasal mengenai rajam itu yang tak disetujui Gubernur," katanya.
Sejatinya, Rancangan Qanun Jinayah dan hukum acaranya diajukan untuk mempertegas penegakÂan syariah Islam di Aceh. Sebelumnya, pemerintah provinsi telah mengeluarkan tiga qanun tentang khamar (minuman keras), maisir (perjudian), dan khalwat (mesum). Namun ketiga aturan itu belum sepenuhnya mengatur prosedur penangkapan dan pemeriksaan tersangka.
Doni Suharyono, Komandan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kabupaten Aceh Tamiang, mengaku tak dapat menahan terdakwa perkara mesum karena Qanun Khalwat tidak mengatur soal penangkapan. Berbeda dengan terdakwa kasus judi dan minuman keras, yang bisa ditangkap dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Sampai sekarang banyak terpidana khalwat yang kabur gara-gara tak ditahan," katanya kepada Tempo.
Ia mencontohkan, Indra Syahputra, anggota DPRD Tamiang, lima tahun lalu dituduh berzina. Mahkamah Syariah memutuskan hukuman cambuk, tapi dia banding. Selama proses banding, Indra tak bisa ditahan. Belakangan, Mahkamah Agung menguatkan putusan sebelumnya. Tapi cambuk tak pernah mendarat di punggung Indra karena ia kadung melarikan diri.
Nyatanya, Qanun Jinayah dianggap lebih banyak mudarat ketimbang maslahatnya. Komisi Nasional Hak Asasi, yang membentuk tim khusus pada 2010, menemukan banyak persoalan. Mereka menyorot sejumlah pasal dalam qanun itu yang dianggap bermasalah dan merampas hak seseorang untuk hidup. Komisi menganggap hukuman cambuk saja sudah melewati batas kemanusiaan.
Qanun Jinayah kini mengambang. Anggota DPR Aceh periode sekarang tak lagi bernafsu mendesak Gubernur mengesahkan qanun itu. Mereka yang pro-Qanun Jinayah menganggap ketentuan itu bisa diberlakukan dengan mengacu Pasal 234 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Pasal itu menyebut rancangan qanun otomatis berlaku meski tak disetujui gubernur bila dalam tempo 30 hari sejak disahkan DPR Aceh. Tapi Rusydi berkelit. Qanun Aceh Nomor 3/2007 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun tak mengatur perselisihan pemberlakuan qanun. "Ini seperti melempar bola panas ke tangan Gubernur," katanya.
Koordinator Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan, Azriana, menyebut aroma politis di Qanun Jinayah sangat menyengat. Ia mengaku turut dalam tim pembahasan Qanun Jinayah, sama seperti Rusydi. Hanya, ia menyebut para anggota Dewan telah memanfaatkannya hanya untuk menarik dukungan masyarakat. "Membawa nilai-nilai agama hanya bentuk kesombongan partai lokal," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo