PENDUDUK Desa Sukabumi di Kabupaten Solok, Sum-Bar, sejak lama
bergaul akrab dengan gajah. Bila hewan itu melewati desa mereka,
penduduk beramai-ramai keluar rumah sekedar melihat dan, meski
tak diucapkan, menyampaikan "selamat datang." Bahkan biasanya
penduduk memberi makanan, ungkap Sutresna Wartapura, Wakil
Kepala Sub Balai PPA Sum-Bar. Menurut Kepala Desa Sukabumi M.
Sarjan, persahabatan begitu sudah kental "sejak desa ini
dihuni".
Tapi tiba-tiba persahabatan itu reak. Pertengahan bulan lalu, 14
ekor gajah memasuki desa itu dan menghancurkan 8 rumah penduduk.
Bahkan menjelang akhir September, berulang kali kawanan gajah
itu kembali mengamuk kampung di Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan
Sangir itu. Akibatnya 64 rumah hancur dan tanaman di kebun dan
ladang rusak berantakan hingga kerugian ditaksir mencapai Rp 20
juta. Seorang penduduk bernama Jumini tewas diinjak gajah itu.
Sebetulnya Jumini, perempuan dng berusia 42 tahun itu, dikenal
penduduk kampung itu sebagai kurang waras. Ketika gajah sedang
mengamuk, 20 September lalu, Jumini tidak iri bersama penduduk
lainnya. Ia bahkan menghampiri kawanan gajah itu dan memukulnya
dengan sepotong kayu. Langsung saja tubuhnya dililit belalai
binatang mengamuk itu dan dihempaskan ke tanah. Kemudian tubuh
wanita yang malang itu diinjak sampai mati.
Dua Pemburu
warga kampung itu pun panik. Apalagi setelah segala cara
tradisional, seperti memukul kentongan dan menyalakan obor, tak
berdaya menghalau gajah itu. Akhirnya terpaksa penduduk Desa
Sukabumi itu diungsikan ke mess PU di Sikijang, sekitar 10 km
dari desa itu.
Amukan binatang itu diduga akibat rusaknya habitat, tempat satwa
yang dilindingi itu hidup. Sehingga menurut Ir. Purba, Kepala
Bagian Pembinaan dari Dinas Kehutanan Provinsi Sum-Bar, gajah
itu merasa rute tetap perjalanannya telah "dirampas".
Hewan-hewan itu lebih marah lagi setelah mengetahui Lubuk Gajah,
tempat mereka biasa santai berkubang, sesuai dengan namanya,
telah dirusak pula.
Kawanan gajah itu berasal dari kawasan Gunung Patah Sembilan,
20-30 km di barat Sukabumi. Menurut Purba, daerah itu masih
termasuk Cagar Alam Indrapura, yang hutannya memanjang di
perbatasan Provinsi Sum-Bar dengan Provinsi Jambi. Tiap tahun
kawanan gajah itu lewat dekat Desa Sukabumi dalam perjalanan
mereka menuju kawasan hutan sekitar Gunung Tujuh di arah selatan
dan timur. Long March gajah itu menjangkau jarak sepanjang 40
km. "Jalur perjalanan itusudah tetap," ujar Purba. "Secara
naluri itulah yang selalu ditempuh mereka."
Dalam perjalanan itu, kawanan gajah biasanya singgah di Kubangan
Gajah atau Lubuk Gajah, sekitar 5 km di selatan Desa Sukabumi.
Tempat itu sekarang mulai didiami para pendatang, transmigran
lokal yang merambah hutan seluas 200 ha untuk peladangan. Sampai
pertengahan uhun ini, sudah 60 KK, berasal dari Jawa dan
Tapanuli, menghuni tempat itu.
Desa Sukabumi sendiri terletak di pinggir hutan Suaka Margasatwa
Gunung Indrapura. Dari Solok, ibukota kabupaten itu, jaraknya
sekitar 60 km. Penduduk desa yang berjumlah sekiur 3000 jiwa
itu, umumnya petani miskin dan sebagian besar menempati bangunan
darurat berupa pendangauan. Kawasan hutan suaka margasatwa itu
yang tadinya seluas 60 ribu ha, belakangan sudah diperluas
berdasarkan SK Dirjen Kehutanan, menjadi 221 ribu ha -- hingga
menjadi perbatasan persis dengan Desa Sukabumi.
Sebab lain yang merusakkan habitat gajah itu dikemukakan Ir.
Pramoe Wasono, Kepala Dinas Kehuunan SumBar. "Pembukaan hutan
produksi oleh Inkappa di selatan, juga mungkin jadi sebab,"
ujarnya kepada TEMPo awal bulan ini. Sekitar 10-15 km di selatan
Sukabumi terdapat bagian hutan produksi yang dikuasai PT
Inkappa, seluas 6s ribu ha. Meski kawasan Inkappa itu tidak
melanggar kawasan hutan Margasatwa Indrapura, tak mustahil rute
gajah melintasi juga kawasan hutan produksi tadi. Maklum
jangkauan gajah sampai puluhan kilometer, tanpa mengindahkan
batas teritorial buatan manusia.
Mendengar tentang kemelut gajah di Desa Sukabumi ini, Bupati
Solok Drs. Hasan Basri pun turun ke lapangan. Bersama Muspida,
Tripida dan staf lainnya, ia mengunjungi desa yang dirundung
malang itu. Semula direncanakan mengerahkan pawang. Namun ketika
para pejabat Kabupaten Solok Jumat malarn berunding lagi di Desa
Sukabumi ini, gajah pun menyerang. Rapat terpaksa dibubarkan dan
pesertanya lari cerai-berai.
Karuan saja, bupati naik pitam dan memutuskan menembak gajah itu
bila mengganggu lagi. KepuNsan itu juga dilaporkan kepada
Gubernur Azwar Anas. Dua penembak, Abdulmanan dan Abdullah,
keduanya pensiunan polisi disiapkan. Keduanya mengaku sudah
menembak 5 ekor gajah dan 150 ekor harimau sejak tahun 50-an.
Kedua pemburu profesional itu pun mulai mencari Si Patah Gading,
yang diduga menjadi kepala gerombolan gajah ini. Si perusuh itu
tak sulit ditemukan. Ketika ia sedang merusak sebuah rumah,
langsung saja kedua pemburu ulung itu menembaknya -- dan Si
Patah Gading rubuh. Tapi kekuatannya pun ajaib. Tak lama
kemudian ia bangun lagi dan sempat melarikan diri. Terpaksa
Abdul Manan dan Abdullah mengejarnya.
Dalam pengejaran itu gajah lain yang kebetulan dijumpai, tak
terhindar dari amukan kedua pemburu itu. Berturut-turut dua ekor
gajah dewasa rubuh, ditembak dengan prinsip, "apa yang tampak
gajah, minta mati". Bahkan seekor anak gajah yang mencari
induknya, ditembak kedua pemburu bengis itu pula.
Kematian gajah itu memang disambut gembira sebagian penduduk
yang mengikuti dari belakang. Ramai-ramai mereka membongkar
bangkai gajah itu. Ada yang mengambil dagingnya untuk umpan
meracun babi hutan, ada yang mengambil tulangnya dan tentu saa
ada pula yang mengejar gadingnya. Tapi tak sedikit pula penduduk
yang merasa cemas. Sebab tak mustahil, justru karena pembantaian
itu, kawanan gajah akan semakin mengamuk.
Itu pernah terbukti ketika beberapa waktu lalu seekor gajah
tertembak di Lampung Tengah. Akibatnya, rekanrekan hewan itu
bertambah mengannuk. Rurnah dan ladang penduduk sekitar menjadi
sasaran. Pekan lalu kembali sekawanan gajah merusak ladang
penduduk di Kampung Raja sasa Lama, Lampung Tengah itu. Kampung
itu terletak sekitar 7 km dari perbatasan kawasan- hutan Suaka
Margasatwa Way Kambas. Menurut Rohadi, Kepala Kampung Raja sasa
Lama, hampir 40 ha ladang rakyat hancur dan satu rumah habis
terbakar. Ketika gajah datang dan menghancurkan rumah itu,
kebetulan ada lampu tempel yang masih menyala di dalamnya.
Kawanan gajah itu diperkirakan berasal dari hutan Suaka
Margasatwa Way Kambas. Diduga mereka juga merasa tersingkir
akibat semakin rusaknya habitat mereka karena desakan manusia.
Hutan itu dihuni berbagai jenis satwa, termasuk sekitar 53 ekor
gajah. sahkan dikandung rencana meningkatkan Kawasan Pelestarian
Alam itu menjadi Taman Nasional. "Tapi kalau penduduk yang kini
menduduki hutan Suaka Margasatwa Way Kambas itu tak segera
dipindahkan, rencana pemerintah itu sulit tercapai," ujar Ir.
Syarif Bastaman, Kepala Sub Balai Kawasan Pelestarian Alam Way
Kambas.
Sejak 1962 di lokasi hutan itu bermukim sekitar 850 KK, mencakup
lebih 3000 jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini