Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

”Dendam Mereka Tak Habis-Habis”

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lapangan ”tempur”, dulu ia dikenal sebagai Ikhwanudin. Tubuhnya tinggi kurus. Umurnya baru 27 tahun. Namun konflik antar-agama di Poso, Sulawesi Tengah, yang berkepanjangan, membuat raut pemuda lulusan sekolah menengah ekonomi itu tampak lebih tua. Saat kota di Teluk Tomini itu sedang berdarah-darah pada tahun 2001, ia sempat mendapat latihan militer di sebuah kamp di pegunungan Buyung Kateda, Malei. Sang instruktur? Ikhwanudin menyebut nama Mustofa alias Pranata Yudha, Panglima Laskar Khos dan bekas Ketua Mantiqi Sulawesi dalam struktur Jamaah Islamiyah. Ikhwan kini banting setir. Ia tak lagi memanggul bedil menyerang kelompok yang berbeda agama. Ia bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk kemanusiaan di Poso. Ia mengaku bertobat tak ingin ada lagi saling bunuh. Namun godaan itu masih saja ada. Tiga bulan sebelum terjadi penyerangan di Desa Beteleme, Morowali, 12 Oktober lalu, Ikhwanudin mengaku sempat diajak teman seangkatannya, Muhammadong alias Madong, untuk kembali masuk hutan. Namun ajakan pemuda keturunan Arab itu ia tampik. ”Saya sudah cukup. Yang untung orang atas,” katanya. Belakangan Madong tewas, Kamis pekan lalu, setelah ditembak aparat yang memergokinya hendak lari dari hutan Mompane, Morowali. Ikhwanudin yakin betul penyerangan di Desa Beteleme dan Poso Pesisir dilakukan oleh eks-laskar lokal—yang dia sebut lokalan—dengan aktivis kelompok Jamaah Islamiyah yang lari dari Jawa. Berikut ini pengakuan Ikhwanudin kepada Darlis Muhammad di Poso dan Edy Budiyarso, yang mengontaknya via telepon dari Jakarta, Kamis malam pekan lalu.

Seberapa besar kekuatan kelompok bersenjata ini?

Mungkin intelijen sudah tahu ada pimpinan JI (Jamaah Islamiyah) di sini, sehingga kekuatan harus ditambah. Mereka siap mati semua. Apalagi ada tambahan senjata dan amunisi. Aparat tentu tak berani bergerak dalam jumlah kecil. Mereka berani melawan jika cuma ada 10-20 aparat.

Benarkah mereka menguasai hutan-hutan di Poso dan Morowali?

Kalau pendatang baru tidak. Namun lokalan yang menjadi penunjuk jalan. Saya yakin masih ada orang dalam yang membantu. Tak mungkin pendatang dapat menyerang dan bergerak cepat.

Berapa jumlah pendatang baru itu?

Jumlahnya saya tidak tahu persis. Ada ratusan orang.

Anda yakin aparat bisa membasmi habis mereka?

Saya tidak yakin. Mungkin satu-dua bulan ini akan reda. Namun, jika aparat sedikit, mereka akan muncul lagi.

Dulu Anda pernah bergabung dengan kelompok mana?

Saya bergabung dengan Mujahidin, juga dengan kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah (yang dipimpin) Ja’far Umar Thalib. Tapi kelompok Ustad Ja’far tidak terlalu keras dibandingkan dengan Mujahidin.

Anda pernah dilatih oleh Mustofa, Ketua Mantiqi Sulawesi JI dan pemilik bom rakitan di Semarang?

Ya. Teman-teman Mujahidin memberitahukan, pelatih tertangkap di Semarang. Pada awalnya saya tidak tahu itu Mustofa. Sebagai pelatih teknik perang, dia memakai nama Abu Sayid. Saya baru percaya setelah dia muncul di televisi setelah ditangkap polisi. Juga Seyam Reda. Dia sempat melatih teknik perang beberapa hari.

Dari mana Anda yakin itu Seyam Reda? Bukankah dia mengaku wartawan?

Dia memang tidak lama melatih teknik perang, hanya empat atau lima hari di kamp pelatihan Mujahidin, karena di sini sudah ada beberapa pelatih. Dia bernama Abu Toha. Dia sering membawa rekaman. Saya yakin karena saya tahu ciri-cirinya, sama dengan yang di televisi saat sidang di pengadilan.

Kabarnya, aparat keamanan juga ada yang melatih di kamp?

Tidak ada. Ini murni masyarakat sipil. Tidak semua latihan militer. Ada bagian dakwah untuk memperkuat jihad. Ini yang utama. Kalau sudah mendapat pelajaran itu, tidak ada lagi yang ditakuti. Malah mati, itu yang dicari.

Lalu kenapa Anda bertobat tidak lagi ikut gerombolan ke hutan?

Saya rasa sudah cukup. Untuk apa lagi begitu. Saya sudah melihat sendiri yang untung pejabat dan pengusaha (setempat). Cuma orang besar yang untung. Kami-kami ini mau jadi apa. Lokalan yang tobat sudah lebih dari 75 persen. Saya jalan-jalan, banyak ketemu teman. Mereka bilang tak mau lagi.

Jadi semakin sedikit yang mau terus berperang di dalam hutan?

Di dalam kota juga ada. Aparat tak bisa melacak karena tidak ada bukti.

Kenapa masih saja ada pertempuran?

Ada orang-orang dari Jawa yang datang. Mereka memang pernah ke sini. Mereka masuk ke kampung-kampung, mengajak kembali teman-teman lokal. Akhirnya ada yang ikut, tapi banyak juga yang tidak mau.

Siapa saja yang Anda kenal sebagai tokoh dalam penyerangan Beteleme?

Semua yang ditangkap dan ditembak mati saya kenal. Yang mati: Madong, Ali, Isac. Mereka bersama saya sewaktu dilatih Mustofa. Madong sempat lari ke luar Poso, ke Jawa. Dia baru kembali ke Poso tiga bulan lalu. Dia keturunan Arab dari Ampana.

Apa benar mereka menyerang dengan motif politik?

Itu urusan yang di atas (para petinggi). Orang lapangan tak ambil peduli. Mereka hanya mendendam. Dendam mereka tak habis-habis.

Dari mana saja mereka mendapat senjata?

Senjata datang dari semua penjuru. Paling banyak dari Filipina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus