Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akar Kemelut Empat Dekade

Konflik berdalih agama di Poso memiliki sejarah panjang. Belum terlihat penyelesaian menyeluruh, kecuali hanya di permukaannya.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAK bara dalam sekam, konflik di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, seperti tak pernah padam. Perseteruan antarwarga yang berbeda agama sejak akhir Desember 1998 terus berlanjut. Ratusan nyawa melayang, ribuan lainnya luka-luka, dan berjibun bangunan luluh-lantak. Masyarakat pun terbelah berdasarkan keyakinannya: Islam dan Kristen. Konflik yang sempat berhenti muncul lagi pada 9 Oktober lalu. Korban tewas mencapai 13 jiwa saat penyerangan mendadak ke lima desa di Kabupaten Morowali (wilayah pemekaran) itu. Kalau dicatat sejak awal konflik, korban luar biasa banyaknya. Data Pemda Sulawesi Tengah menyebut konflik 1998-2000 menelan korban 246 orang tewas, 3.522 rumah rusak total, dan 13 tempat ibadah hancur. ”Akar persoalan Poso adalah perebutan kekuasaan elite politik lokal untuk memegang tampuk pimpinan daerah. Umat beragama sebagai sarananya,” kata Yahya al-Amri, tokoh masyarakat Poso. Dulu, keributan memang dipicu perebutan kursi bupati antara Herman Parimo, yang kebetulan Kristen, dan Damsik Ladjalani, yang kebetulan muslim. Damsik didukung kelompok Arif Patangga, bupati yang akan digantikan. DPRD Poso akhirnya memilih Muin Pasadan, figur bebas konflik. Poso potensial menjadi ajang konflik berdalih agama. Perbandingan pemeluk Islam-Kristen (Protestan) paling dekat dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di provinsi itu. Menurut sensus BPS 2001, penduduk Poso dan Morowali tahun 2000 sebanyak 341.265 jiwa. Muslim di Poso 61,3 persen dan Kristen 35,8 persen. Tapi di wilayah lain persentase muslim jauh lebih tinggi dan Kristen lebih rendah. Kota Madya Palu, misalnya, Islam 90 persen dan Kristen 6,9 persen. Muslim Poso biasanya berdiam di daerah lembah dan Kristen di perbukitan. Kisruh makin menganga dengan masuknya kelompok Islam radikal dari luar Poso pada 2001, yang menganggap konflik di sana perang agama. Rekaman video yang dimiliki Badan Intelijen Negara menunjukkan ada latihan ala militer dari para aktivis Islam. ”Poso dianggap strategis karena menjadi titik sentral semua jaringannya di Sulawesi,” ujar sumber TEMPO di Poso, pekan lalu. Poso menjadi daerah transit dan persembunyian sebelum ke wilayah lain. Jalur Poso-Palu-Kalimantan ditempuh dengan rute tradisional maupun kapal laut hanya dalam semalam. Dari Kalimantan bisa ke Pulau Tarakan atau Nunukan, lalu bablas ke Tawau atau Sabah, Malaysia. Rute ke Mindanao, basis gerakan Islam Filipina, ditempuh melalui Poso-Palu-Manado-Pulau Maesa-Sangir Talaud. Atau Poso-Palu-Tolitoli-Filipina. ”Jalur perdagangan orang Sulawesi Tengah ke Malaysia dan Filipina ini sudah ada ratusan tahun lalu,” ujar sumber tersebut. Lewat jalur itu pula senjata dan bom dari luar negeri masuk ke Poso. Pada Desember tahun lalu, polisi Palu menemukan 300 kilogram bahan bom ilegal dari pupuk amonium nitrat. Sayang, penyelundup keburu melarikan diri. Menurut Irianto Sangadji, Direktur Yayasan Tanah Merdeka Palu, ketegangan dengan dalih sentimen agama sering terjadi sebelumnya. Pada 1992 keributan dipicu beredarnya selebaran yang dianggap melecehkan Islam. Pembuat selebaran seorang Kristen yang baru pindah dari Islam, Rusli Labolo. Kekerasan berhenti setelah ia dihukum empat tahun penjara. Kasus serupa terjadi di Madale, 15 Februari 1995. Tersiar kabar sekelompok pemuda Kristen melempari masjid dan pesantren di Tegalrejo. Pemuda Islam Tegalrejo dan Lawanga membalas dengan merusak rumah di Madale. ”Kasus itu tak berkembang karena aparat segera turun tangan,” katanya. Bibit konflik sudah ada lebih dari 40 tahun sebelumnya. Pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar pada 1950-an dari Sulawesi Selatan sampai ke perbatasan Sulawesi Tengah membuat warga Kristen di pegunungan terpaksa mengungsi. Selama 1956-1963 warga Kristen Sulawesi Selatan dalam jumlah besar pindah ke sekitar Danau Poso. Gelombang pengungsi sampai ke Kecamatan Mori Atas, Morowali. Saat menghadapi PRRI/Permesta Sulawesi Utara tahun 1960-an, kelompok Islam dan Kristen bersatu dalam Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah. Tapi, setelah mengusir Permesta dari Poso, mereka malah terpecah menjadi dua faksi: Gerakan Pemuda Kristen Sulawesi Tengah (Kristen) dan Brigade Tanjung Buluh (Islam). Tumbuhnya politik aliran saat demokrasi liberal juga mempengaruhi hubungan antarwarga. ”Sentimen keagamaan terlembaga dalam partai-partai politik,” ujar Irianto. Sejarah panjang konflik itu sekarang dimainkan untuk kepentingan politik sesaat, seperti perebutan kursi pejabat daerah. Belum ada yang menyelesaikan akar konflik ini. Jobpie Sugiharto dan Darlis Muhammad, Dedy Kurniawan (Poso)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus