Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka di Balik Bara Poso

Sejumlah nama melekat dalam konflik Poso. Ada instruktur perang, pemasok senjata, pembunuh berdarah dingin.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAMAI cuma sebentar mampir di Poso, Sulawesi Tengah. Setelah Deklarasi Malino pada Desember dua tahun lalu, kawasan itu memang terasa tenteram sentosa. Tapi, awal bulan ini, kerusuhan meletus lagi. Tiga belas orang tewas, ribuan warga berangkat mengungsi. Aparat keamanan menembak mati sejumlah pentolan perusuh, di antaranya Muhamadong alias Madong, yang disebut-sebut sebagai tokoh di balik kerusuhan dua pekan lalu itu. Sejak Poso diguncang kerusuhan, Desember 1998, sejumlah nama muncul terlibat. Ada warga lokal, transmigran, bahkan pendatang jauh dari Timur Tengah sana. Berikut profil orang-orang yang disebut polisi ikut ”memantik api” di kawasan sejuk yang kaya pala, lada, dan cengkih itu.

Fabianus Tibo USIANYA menjelang senja, 59 tahun. Tapi dialah yang dijuluki ”jagal” dari Poso, karena dianggap tak kenal ampun dalam menghabisi musuh-musuhnya. Namanya menjulang pada kerusuhan tahap ketiga, tahun 2000. Ia dikenal sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam—yang disebut-sebut sebagai pasukan Kristen. Bila maju ke ”medan laga”, pasukan ini mengenakan busana serba hitam. Bersama dua tangan kanannya, Dominggus da Silva dan Martinus Riwu, Tibo dibekuk aparat militer pada 25 Juli 2000. Ketiganya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Poso, April 2001. Keputusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah. Ketiganya lalu mengajukan kasasi, 14 Juni 2001, yang hingga kini belum diputuskan.

Umar al-Faruq IA ditangkap aparat intelijen Indonesia pada 5 Juni 2002 di Bogor, Jawa Barat. Entah kenapa, ia diserahkan kepada aparat intelijen Amerika Serikat, yang kemudian menyekapnya di kamp militer Amerika di Bagram, Afganistan. Selama berada di Indonesia, Al-Faruq tak banyak dikenal orang. Penangkapan di Bogor itu pun nyaris tak diberitakan meda massa. Faruq baru ramai dibicarakan setelah majalah Time menulis laporan utama soal sepak terjangnya. Pria berperawakan besar itu, kata Time, lahir di Kuwait, 24 Mei 1971. Kepada agen Amerika yang menginterogasinya di Bagram, Faruq mengaku sebagai tokoh kunci Al-Qaidah di Asia Tenggara. Al-Qaidah adalah organisasi yang dipimpin Usamah bin Ladin, yang dituding meledakkan menara kembar World Trade Center, 11 September 2001. Ia juga dikatakan sebagai otak sejumlah peledakan bom Natal 2000 di Indonesia, dan telah mendirikan sebuah kamp pelatihan jaringan Al-Qaidah di Poso. Bukti keterlibatan Faruq di Poso, kata aparat intelijen Indonesia, terlihat dalam sejumlah video yang disita dari rumah kontrakan Seyam Reda—yang disebut-sebut sebagai kawan Umar al-Faruq—di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dalam rekaman itu, Faruq terlihat memberi instruksi kepada ratusan orang di sebuah kamp yang disebut-sebut terletak di di Poso. Dari Cijeruk, Mira Agustina—istri Al-Faruq—membantah semua tudingan terhadap suaminya. Ia bilang, Faruq adalah orang Ambon asli dan ”seorang suami yang biasa-biasa saja, bukan teroris”. Sang istri juga membantah suaminya ikut merencanakan peledakan bom Natal 2000. Pada malam Natal itu, kata Mira, suaminya sedang berada di rumah di Cijeruk.

Seyam Reda WARGA negara Jerman keturunan Mesir ini datang ke Indonesia pada awal 2001. Kepada TEMPO, bekas juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN), Muchyar Yara, menuturkan bahwa keterlibatan Seyam diketahui dari pengakuan Al-Faruq. Kepada aparat intelijen yang menginterogasinya sebelum dibawa ke Afganistan, Faruq mengaku Seyam koleganya. Seyam lalu dibekuk dari rumah kontrakannya di daerah Pasar Minggu, beberapa saat setelah penangkapan Faruq. Dari rumah itu aparat menyita sejumlah berkas, kamera video, juga sejumlah kaset video latihan perang di Poso. Aparat intelijen menuding Seyam ikut memberi pelatihan militer kepada sejumlah pasukan liar di sana. Kepada TEMPO, yang menemuinya di Penjara Cipinang, Jakarta, Seyam, 42 tahun, membantah semua tudingan atas dirinya. Ia menyebut dirinya wartawan lepas sejumlah media di Jerman dan Timur Tengah, dan pernah menjadi koresponden televisi Al-Jazeera, stasiun televisi terkenal yang bermarkas di Qatar. Di pengadilan, tudingan teroris itu memang gagal dibuktikan. Ia divonis sepuluh bulan penjara karena melanggar Pasal 50 Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

Parlindungan Siregar USIANYA 36 tahun. Pada 1990, ia ke Spanyol untuk belajar aeronautika, tapi dua tahun lalu ia dibekuk aparat keamanan negeri itu dengan tudingan seram: tokoh kunci pelatihan jaringan Al-Qaidah. Menurut polisi di sana, Parlindungan adalah ”pemimpin salah satu kamp di negara yang siap melayani Bin Ladin”. Kamp dimaksud adalah kamp pelatihan di Poso, yang pernah disinyalir keberadaannya oleh Kepala BIN, A.M. Hendropriyono. Parlindungan disebut sebagai pemimpin kamp pelatihan itu. Sejumlah media di Spanyol menulis, keterlibatan Parlindungan diketahui setelah polisi membekuk delapan anggota Al-Qaidah pada 2001. Seorang tersangka bernama Jusuf Gallant mengaku kepada polisi bahwa pihaknya melakukan pendidikan militer di Indonesia pada Juli 2000. Gallant juga mengaku, Parlindungan adalah kontak utamanya di Indonesia. Dari rumah Gallant di Madrid, ditemukan bahan peledak, senjata, dan foto kamp latihan yang dikatakan terletak di Poso itu.

Fathur Rohman al-Ghozi LAHIR di Mojorejo, Jawa Timur, 17 Februari 1971, tapi menjadi ”pesohor” di Filipina. Pemerintah negeri itu menuding Ghozi sebagai otak di balik serangkaian peledakan bom di sana. Ia ditangkap aparat keamanan Filipina pada 15 Januari 2002 dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh pengadilan setempat. Dari kamp tahanan Crame yang superketat, Ghozi bisa meloloskan tubuhnya tanpa jejak. Ghozi kemudian ditembak mati dalam sebuah pertempuran di Cotabato antara gerilyawan Moro dan militer Filipina. Banyak yang meragukan kisah peperangan itu, juga meragukan Ghozi kabur dari penjara. Pengacara Ghozi menuding militer Filipina sengaja menghabisi kliennya. Kini para pengacara itu berencana menggugat pemerintah Filipina ke pengadilan internasional. Lama belajar militer di Afganistan, Ghozi dituding oleh aparat beberapa kali keluar-masuk Poso ketika kawasan itu tengah sengit-sengitnya bergolak. Ghozi diduga satu di antara instruktur perang di Moro, juga di kawasan Poso.

Mustofa Wenseslaus Manggut, Darlis Muhammad, dan Dedy Kurniawan (Poso)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus