Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#336600>Mimpi Indah</font> di Masa Sulit

Sejumlah bank papan atas berancang-ancang menjadi pemain berskala regional. Dari sisi kapitalisasi pasar, meski masih berat, hanya tiga bank yang berpeluang: BCA, BRI, dan Bank Mandiri. Namun ”mimpi indah” itu masih terbentur banyak soal, termasuk birokrasi di negara tujuan ekspansi. Di pasar domestik, bank-bank pemuncak tadi bertarung head-to-head. Di papan tengah, ada juga yang kian berfokus ke bisnis inti setelah diakuisisi pemain asing. Mereka kian bersemangat menyerbu pasar domestik yang masih menganga. Selain Cina, Malaysia, Singapura, dan Australia, India pun makin agresif. Siapakah pemain lokal yang bakal bertahan, turun kelas, atau siap diakuisisi asing di masa sulit dengan sederet persyaratan ketat ini?

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS Martowardojo punya mimpi indah yang tak mudah diwujudkan. Direktur Utama Bank Mandiri ini membayangkan bank yang ia pimpin menjadi pemain tangguh di tingkat regional. Ia berharap salah satu bank papan atas Indonesia ini bisa sejajar dengan para pemain di level itu, seperti DBS Bank dan United Overseas Bank, Singapura.

Jalan menuju impian itu sungguh berkelok. Faktanya masih jauh panggang dari api. Kapitalisasi Bank Mandiri kini ”cuma” US$ 7,3 miliar. Ia masih kalah ketimbang bank Malaysia seperti Maybank (US$ 11,23 miliar) atau CIMB, yang mencatat US$ 8,5 miliar. Yang paling mendekati ada dua bank: BCA dan BRI, yang masing-masing sudah di atas US$ 8,5 miliar.

United Overseas Bank? Kapitalisasi pasarnya jauh meninggalkan ketiga bank paling top Indonesia itu. UOB sukses mencapai US$ 18,1 miliar atau lebih dari dua setengah kali lipat Mandiri. Menurut Agus, untuk bisa bertarung dengan mereka, bank-bank Indonesia setidaknya mesti memiliki kapitalisasi pasar US$ 10 miliar.

Ekspansi bank-bank dari negeri sebelah itu menembus banyak negara. CIMB sudah berekspansi ke tiga negara, termasuk menguasai CIMB Niaga, bank terbesar kelima di Indonesia. Maybank punya 90 kantor internasional. Bank terbesar Malaysia ini tahun lalu mengakuisisi 15 persen saham An Binh Bank (Vietnam), 20 persen saham MCB Bank Ltd. (Pakistan), dan menguasai 97,5 persen saham Bank BII.

Kisah serbuan bank-bank asing ke Tanah Air terjadi sejak krisis moneter menghantam Asia pada pertengahan 1997. Saat itu pintu perbankan di Indonesia sengaja dibuka lebar-lebar. Dua tahun kemudian, asing boleh menguasai 99 persen saham bank. Batasan itu jauh lebih tinggi ketimbang yang dipatok Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebesar 85 persen.

Akibatnya, ekspansi asing seperti tak terbendung. Pada 1999, pangsa pasar bank asing baru 11 persen, sedangkan kini sudah di atas 65 persen. Praktis, bank lokal yang terlihat mata hanyalah empat bank pemerintah (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN), Bank BCA—yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh Djarum—dan Bank Mega, milik pengusaha Chairul Tanjung.

Selebihnya sudah dimiliki bank atau investor asing. Pada mulanya, bank asing masuk dengan membeli bank-bank yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pascakrisis 1997, Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjadi penguasa bank di Indonesia setelah mengambil alih bank-bank bermasalah.

Angin segar untuk asing makin kencang bertiup. Investor dan bank asing itu makin berbondong-bondong masuk tak bisa dibendung setelah Bank Indonesia mencanangkan Arsitektur Perbankan Indonesia pada Januari 2004. Berdasarkan skema baru ini, bank harus punya modal inti minimal Rp 80 miliar pada 2007.

Diterjang persyaratan ketat ini, rupanya banyak pemilik bank yang angkat tangan. Mereka yang tak sanggup memenuhi syarat itu memilih menjual bank miliknya kepada pihak asing. Hanya segelintir yang akhirnya dibeli bank-bank lokal. Sejak itu, bank-bank kelas dunia dari Singapura, Malaysia, Cina, India, dan Australia menyerbu bak burung nasar (lihat ”Jalan Panjang Perbankan Indonesia”).

Gelombang penjualan ini diperkirakan kian seru menjelang 2010. Pada saat itu, pemilik bank harus memiliki modal inti Rp 100 miliar. Data Bank Indonesia per Mei 2009 menyebutkan ada 19 bank yang belum memenuhi persyaratan itu. Mereka hanya punya dua opsi: merger atau merelakan diri diakuisisi pihak lain. State Bank of India, misalnya, sudah menyebut-nyebut bakal membeli 3-4 bank lagi di Indonesia.

Ada alasan lain mengapa mereka rame-rame masuk Indonesia. Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengungkapkan, tingginya keuntungan yang tecermin dalam parameter return on assets (ROA) juga menjadi daya tarik. ”ROA kita yang tertinggi di Asia,” katanya. Tahun lalu, misalnya, BRI, Mandiri, dan BCA mencatat laba bersih di atas Rp 5 triliun.

Jaringan bank yang rapi di pelbagai daerah juga menjadi daya tarik para pemain asing ini. Ibaratnya, kata Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional Sigit Pramono, mereka tinggal menancapkan colokan listrik. Mereka langsung mendapatkan akses ke daerah-daerah melalui ratusan cabang bank yang diakuisisi. ”Ini jauh lebih menguntungkan ketimbang membangun sendiri,” ujar Sigit. Tinggal dipoles sedikit dengan suntikan modal baru, bank-bank itu akan berlari lebih cepat.

Pasar juga masih menganga lebar. Untuk kartu kredit, misalnya, saat ini baru ada 11,7 juta kartu. Padahal jumlah rumah tangga di Indonesia setidaknya ada 58 juta. Begitu juga dengan pasar kredit usaha mikro, kecil, dan menengah. Dari pasar potensial sekitar 49 juta usaha kecil, hanya 30 persen yang digarap perbankan. Belum lagi jika berbicara soal usaha besar yang juga terus berkembang. Pertumbuhan kredit 20-30 persen per tahun menunjukkan pasar Indonesia memang gurih.

Dampak serbuan asing itu mencengangkan. Bank-bank internasional itu bertarung dengan bank-bank perkreditan rakyat. Mereka tak risi keluar-masuk pasar becek memburu nasabah kelas Rp 500 ribuan. Tak seperti pada 1990-an—ketika bank dipaksa menyalurkan 20 persen pinjamannya ke usaha kecil—kini justru yang kecil yang seksi. Sejumlah bank yang dimiliki asing sudah mencanangkan akan berkonsentrasi di usaha kecil dan menengah, termasuk UOB Buana.

Akibatnya, persaingan makin timpang dan pasar perbankan Indonesia cenderung oligopolistik. Dari 122 bank, kata Muliaman Hadad, 15 bank terbesar menguasai 75 persen pangsa pasar—baik untuk aset, dana pihak ketiga, maupun kredit. Ketimpangan itu misalnya terlihat pada Mei 2009. Sebanyak 15 bank rata-rata menjaring dana pihak ketiga sebesar Rp 89 triliun. Sedangkan 107 bank lainnya masing-masing hanya kebagian Rp 4 triliun.

Ketimpangan ini diperunyam dengan persyaratan baru tadi. Pemilik bank diharuskan menyetor modal inti minimal Rp 100 miliar tahun depan. Ketentuan baru ini membuat bank-bank kecil bakal jadi sasaran pencaplokan bank lain. Yang jelas, 17 bulan bukan waktu panjang untuk mencari tambahan modal, sekalipun hanya Rp 20 miliar. Apalagi di tengah situasi kering likuiditas seperti sekarang, menarik investor ke bisnis perbankan tentu tidaklah mudah.

Pilihan merger juga tidak gampang. Kalau mereka tak sanggup dan tidak ada yang mengajak merger atau sepi peminat, bank itu harus turun pangkat, menjadi bank perkreditan rakyat dengan cakupan yang amat terbatas. Itulah sebabnya banyak analis menduga, akibat diterjang syarat ketat tadi, jumlah bank akan menyusut, paling banter hanya ada 60 bank. ”Secara implisit tujuan Arsitektur Perbankan Indonesia memang mengurangi jumlah bank,” kata Sigit.

Komposisi pasar perbankan Indonesia akan menjadi seperti ini: dua atau tiga bank berkelas internasional, enam hingga sepuluh bank nasional dengan fokus usaha tertentu, dan sisanya bank perkreditan rakyat atau BPR.

Lalu bank manakah yang akan mengambil peluang menjadi bank berskala regional? Enam bank terbesar, yang memiliki aset di atas Rp 100 triliun, yakni Mandiri, BRI, BCA, BNI, CIMB, dan Danamon, jelas memiliki peluang sangat besar untuk menjadi bank regional. Keenamnya memiliki basis nasabah yang sangat besar, juga kantor cabang yang luas, termasuk kantor cabang di luar negeri. Namun, jika dilihat kapitalisasi pasarnya, hanya tiga bank yang berpeluang, ya itu tadi, BCA, BRI, dan Mandiri.

Hambatan justru datang dari luar. Hanya sedikit negara yang ”semitelanjang” seperti Indonesia. Cina dan Malaysia, misalnya, masih membatasi masuknya bank asing. ”Kami mau meningkatkan status kantor perwakilan di Shanghai menjadi cabang saja sampai kini belum bisa,” kata Agus Martowardojo. ”Memang ada hambatan, tapi kami sudah bicara, salah satunya dengan Cina,” kata Muliaman.

Persaingan di bank level menengah juga seru. Mereka akan bertarung keras menjadi bank fokus. BTN, misalnya, bakal berkompetisi dengan bank seperti CIMB Niaga, yang tampaknya mulai menggeser fokus pinjamannya kepada kredit konsumer, terutama kredit pemilikan rumah. BTPN mulai serius memasuki bisnis kredit usaha kecil. Di ranah ini, ia mesti bertarung dengan Danamon, yang sudah lebih dulu nyemplung ke sana, plus Bank Bukopin dan Bank Bumiputera.

Bank-bank yang lain juga mesti meredefinisi bisnis intinya. Tanpa bisnis inti yang jelas, sulit bagi mereka untuk melakukan penetrasi pasar yang dalam. Selain itu, modal akan tetap menjadi faktor yang sangat menentukan. Dalam kondisi seperti ini, sekali lagi bank-bank yang punya mandor bergelimang duit di luar negeri pasti akan jauh lebih punya peluang untuk selamat dari masa yang paling gawat ini.

Karena itulah Sigit meminta Bank Indonesia campur tangan melalui redefinisi Arsitektur Perbankan Indonesia. Salah satunya dengan cara membatasi kepemilikan dan ruang gerak investor asing. Menurut Sigit, isu perbankan kini bukan lagi soal bagaimana mengurangi bank, melainkan justru bagaimana menyiapkan bank lebih kuat dalam kondisi apa pun. ”Indonesia luas, kita butuh bank yang banyak,” katanya.

Sigit juga menyarankan bank sentral mulai mengatur bank-bank yang dimiliki asing. ”Saya bukannya antibank asing,” katanya. Tapi, dia melanjutkan, pergerakan mereka mesti diatur batas-batasnya, ”Jangan sampai mereka juga berkelahi dengan BPR.” Mereka juga mesti didorong memberikan pinjaman ke sektor di luar consumer good. Bank-bank yang dikuasai asing itu juga perlu melakukan divestasi.

Pekerjaan rumah lain Bank Indonesia adalah bagaimana mengantarkan bank-bank besar menjadi bank regional. Indonesia jangan hanya menyediakan diri menjadi tempat perburuan, tapi juga mesti mendorong perusahaan-perusahaannya go international. Langkah ini amat bergantung pada negosiasi mereka dengan otoritas perbankan di negara lain soal hambatan investasi.

Begitulah, bisnis perbankan diperkirakan akan memasuki masa yang sulit sampai akhir 2010. Pertarungan akan terjadi di antara bank-bank papan atas. Dominasi bank-bank pelat merah akan mulai digerogoti bank-bank yang ada di bawahnya. Bank BCA dengan dukungan Djarum jelas akan menjadi lawan sepadan bagi Bank Mandiri. Kini keduanya bersaing ketat: di mana ada BCA, di situ akan muncul Mandiri, begitu pula sebaliknya—hingga dalam soal menempatkan ATM. Bank BNI akan menjadi pihak ketiga dalam persaingan kedua ”gajah” ini.

Ada lagi yang siap head to head. Bank BRI akan mendapatkan lawan tangguh Bank Danamon. Anak perusahaan Temasek itu sudah masuk semakin dalam ke usaha mikro, kecil, dan menengah. Soal tambahan modal jelas bukan perkara sulit. Permata, BII, dan CIMB Niaga akan berkelahi di kredit konsumer. Secara historis, ketiganya memang kuat di sana. Yang akan menentukan nantinya adalah suntikan modal dari para bohir di belakangnya. Panin masih akan bermain sendirian di bisnis pasar uang.

Di bawah mereka masih ada 31 bank yang tengah berjuang naik kelas. Kini hampir semua bank itu sudah dimiliki investor asing—kecuali Bank Mega. Pertarungan akan keras karena dukungan dana dari pemegang saham pasti kencang. Pemain asing yang ada di situ antara lain UOB, OCBC, dan DBS dari Singapura, State Bank of India, Commonwealth (Australia), serta bank terbesar di dunia, ICBC dari Cina. Tentu saja mereka tidak akan membiarkan investasinya sia-sia.

Di strata paling bawah, bank-bank kecil kemungkinan besar tidak akan mendapatkan tempat yang layak. Mereka harus menelan pil pahit: merger, atau merelakan diri diakuisisi bank lain atau investor nonbank. Kalau tidak, mereka akan terpinggirkan dan menjadi BPR. Secara bisnis, memang akan sulit mempertahankan posisi mereka, terutama yang kini asetnya di bawah Rp 10 triliun. Di posisi ini masih ada 71 bank.

Jadi, wahai para bankir dan pemilik bank, bersiap-siaplah menghadapi persaingan yang mahadahsyat ini.

Kapitalisasi Pasar Bank Indonesia (Rp)
Bank BCA90 triliun
Bank BRI85,4 triliun
Bank Mandiri73,3 triliun
Bank Permata44,4 triliun
Bank BNI26,9 triliun
Bank Danamon22,9 triliun
Bank BII20,6 triliun
Bank Panin15,9 triliun
Bank CIMB Niaga8,67 triliun

Jalan Panjang Perbankan Indonesia

1983
1 Juni
Deregulasi perbankan: bank pemerintah diberi keleluasaan menentukan suku bunga deposito. Instrumen SBI dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) diperkenalkan.

1988
27 Oktober
Izin bank baru hanya dengan modal Rp 10 miliar. Bank asing boleh membuka cabang di enam kota. Dibukanya izin bank patungan. BUMN diizinkan menempatkan 50 persen dananya di bank swasta. Inilah awal dari liberalisasi perbankan.

1990
29 Januari
Mengatur kredit likuiditas kredit usaha tani (KUT).

1991
28 Februari
Modal sendiri harus delapan persen. Dikenal kemudian sebagai CAR.

1992
Pemerintah menaikkan persyaratan permodalan bank menjadi Rp 50 miliar untuk mengatasi ledakan bank PP No. 70/1992.

14 Desember
Bank Summa ditutup BI.

1993
29 Mei
Mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit sebagai koreksi atas PP No. 70/1992. Batas maksimum pemberian kredit (BMPK) ke grup sendiri diturunkan dari 50 persen menjadi 20 persen. Pasca-Pakto 1988, jumlah bank yang sebelumnya tak sampai 70 meledak menjadi 243 bank. Kredit bermasalah melonjak. Pemberian kredit kepada kelompok usaha sendiri menjamur di semua bank swasta. Bank-bank pemerintah menjadi sapi perah kelompok tertentu. Krisis datang menghantam pada Juli 1997. Bank-bank bertumbangan. Pemerintah mesti mengeluarkan obligasi rekap Rp 640 triliun, Rp 231,6 triliun di antaranya ke bank pemerintah, untuk menyelamatkan perbankan.

1997
1 November
Pemerintah menutup 16 bank.

1998
1 Januari
Penjaminan dikeluarkan.

26 Januari
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk menangani bank-bank bermasalah dan kredit macet.

28 Mei
BCA diambil alih BPPN.

4 April
Bank Tiara Asia, Bank Danamon, dan Bank PDFCI diambil alih BPPN. Tujuh bank dibekukan.

21 Agustus
Tiga bank dibekukan.

2 Oktober
Bank Mandiri berdiri hasil merger Bank Bumi Daya, Bapindo, Bank Exim, dan Bank Dagang Negara.

1999
13 Maret
Tujuh bank diambil alih BPPN: Bank Duta, Bank Nusa Nasional, Bank Pos, Bank Jaya, Bank Tamara, Bank Rama, Bank Risjad Salim Internasional. Sebanyak 38 bank dibekukan.

2 Juli
Bank Niaga jadi BTO.

23 Juli
Bank Bali jadi BTO.

20 Desember
Bank PDFCI merger dengan Danamon menjadi Danamon.

2000
30 Juni
Bank Danamon hasil merger 10 bank.

2001
29 Oktober
Unibank ditutup.

2002
14 Maret
Farallon-Djarum membeli Bank BCA dengan harga Rp 5,3 triliun.

30 September
Bank Permata hasil merger lima bank.

22 November
Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB) membeli Bank Niaga dengan hargaRp 1,06 triliun (US$ 120 juta).

2003
31 Maret
Jumlah bank tinggal 138 bank.

6 Mei
Temasek menguasai 51 persen saham Danamon senilai Rp 3 triliun.

20 November
Temasek (Sorak) membeli 51 persen saham Bank BII seharga Rp 1,9 triliun.

2004
9 Januari
Bank Indonesia meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Modal inti minimal Rp 100 miliar pada akhir 2010.

29 Februari
Swissasia membeli 52,05 persen saham Bank Lippo senilai Rp 1,2 triliun.

8 April
Bank Dagang Bali dan Asiatic ditutup.

8 Oktober
Konsorsium Standard Chartered-Astra membeli 51 persen saham Permata senilai Rp 2,77 triliun.

2005
13 Januari
Bank Global ditutup.

31 Maret
Bank OCBC, Singapura, menguasai mayoritas saham Bank NISP.

30 September
Khazanah membeli 52 persen saham Lippo dari tangan Swissasia senilai Rp 3,3 triliun.

14 Oktober
UOB Ltd., Singapura, mengakuisisi Bank Buana Indonesia.

November
BI menyetujui Sinarmas mengakuisisi Bank Shinta.

2006
5 Oktober
Bank UFJ-Indonesia ditutup.

27 November
Bank of Tokyo mengakuisisi Bank Nusantara Parahyangan.

11 Desember
State Bank of India mengakuisisi Bank Swadesi.

2007
26 Juli
Commonwealth menandatangani akta akuisisi Bank ANK.

13 September
Bank Victoria International Tbk. mengakuisisi Bank Swaguna.

30 September
Industrial and Commercial Bank of China mengakuisisi Bank Halim dari tangan Gudang Garam dan namanya berubah menjadi ICBC Indonesia.

19 Oktober
Hana Bank mengumumkan akuisisi Bank Bintang Manunggal.

3 Desember
Mandiri mengakuisisi Bank Sinar Harapan Bali.

19 Desember
BRI mengakuisisi Bank Jasa Arta untuk dikonversi menjadi Bank Syariah BRI.

2008
8 Januari
Bank Windu Kentjana dan Multicor merger menjadi Bank Windu KentjanaInternasional.

6 Maret
Bukopin menjadi pemegang saham mayoritas Bank Persyarikatan Indonesia dan mengubahnya menjadi Bank Syariah Bukopin.

29 Februari
Bank Index Selindo mengakuisisi Bank Harmoni Internasional.

3 Juni
Bank Niaga dan Bank Lippo merger menjadi Bank CIMB Niaga.

24 Juli
Rabobank, Bank Haga, dan Bank Hagakita merger menjadi Bank Rabobank Indonesia.

21 November
Bank Century diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan.

2009
17 April
Bak FI ditutup.

20 April
Bank Andara lahir pasca-akuisisi Bank Sri Partha oleh Mercy Corp. International, International Finance Corporation (IFC), The Hivos-Triodos Fund, dan Catholic Organization for Relief and Development Aid.

22 Mei
HSBC mengakuisisi Bank Ekonomi Rahardja.

31 Juli
Jumlah bank umum tinggal 122 bank.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus