Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Konsolidasi Perbankan untuk Siapa

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mirza Adityaswara*
*) Analis perbankan dan praktisi pasar modal

APABILA kita membahas sektor perbankan di Indonesia, kita sering mendengar pernyataan-pernyataan seperti ini: jumlah bank harus dikurangi, pengawasan perlu dibenahi, sektor perbankan semakin dikuasai asing, perbankan enggan menyalurkan kredit ke sektor infrastruktur, dan suku bunga kredit tidak turun-turun. Tapi tak semua pernyataan bersifat negatif, karena sejak 2009 banyak pihak di dalam dan luar negeri baru menyadari bahwa sektor perbankan Indonesia secara umum ternyata lebih baik dibanding sektor perbankan Amerika, yang sekarang porak-poranda dan menyebabkan krisis keuangan dan resesi ekonomi global. Dengan jatuhnya perbankan Amerika, banyak orang menjadi bingung siapa yang harus dijadikan guru bagi model pembangunan sektor keuangan.

Mari kita coba bahas beberapa isu itu. Fungsi utama perbankan bagi perekonomian adalah sebagai lembaga intermediasi antara pihak yang surplus dana dan pihak yang membutuhkan dana (kredit). Agar bisa melakukan fungsinya dengan baik, bank harus sehat, harus memiliki skala ekonomis, agar bisa tumbuh berkelanjutan (sustainable).

Supaya bank sehat, pengelolaannya harus hati-hati, harus prudent. Sistem perbankan yang sehat hanya bisa tercapai jika pemilik dan manajemen perbankan terdiri atas orang-orang yang prudent serta diawasi oleh regulator yang independen dan berhati-hati. Di sinilah alasan perlunya konsolidasi, mengurangi jumlah bank demi memperoleh bank sehat yang dikelola hati-hati serta jumlahnya tak terlalu banyak sehingga mudah diawasi oleh regulator.

Per Desember 2008, di Indonesia ada 124 bank umum dan 1.897 bank perkreditan rakyat (BPR). Dua belas tahun lalu (1997), sebelum krisis melanda Asia, ada 240 bank umum di Indonesia. Memang tak ada formula pas mengenai jumlah bank yang optimum. Dari sisi manfaat bagi pembangunan dan efektivitas pengawasan, lebih baik Indonesia memiliki sedikit bank nasional (misalnya 25 bank) yang sehat dan kuat dengan banyak kantor di seluruh pelosok negeri, yang mampu memberikan kredit berbagai tipe (perusahaan korporasi, infrastruktur, menengah, kecil, mikro, dan kredit personal).

Arsitektur Perbankan Indonesia yang dibuat oleh Bank Indonesia pada Januari 2004 menyebutkan dalam waktu 10-15 tahun ke depan (2014-2019) diharapkan kita memiliki dua-tiga bank internasional dengan modal di atas Rp 50 triliun. Otoritas perbankan juga mengharapkan Indonesia memiliki tiga-lima bank berskala nasional dengan modal Rp 10 triliun sampai Rp 50 triliun.

Kategori ketiga adalah bank fokus dengan modal Rp 100 miliar sampai Rp 10 triliun, yaitu bank yang berfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing. Memang terasa janggal bahwa untuk kategori ketiga (bank fokus), rentang permodalannya terlalu lebar, Rp 100 miliar sampai Rp 10 triliun. Tampaknya, Bank Indonesia masih memberikan napas pada bank kecil, yaitu bank dengan modal Rp 100 miliar. Target Bank Indonesia adalah memiliki 30-50 bank kategori fokus. Masih menjadi pertanyaan, apa itu definisi bank fokus, dan apakah universal bank yang saat ini modalnya di bawah Rp 10 triliun harus berubah menjadi bank fokus.

Kategori keempat adalah bank perkreditan rakyat dan bank dengan kegiatan terbatas, dengan modal di bawah Rp 100 miliar. Arsitektur Perbankan Indonesia tidak menyebutkan berapa target jumlah BPR dan bank dengan kategori kegiatan terbatas. Artinya, Bank Indonesia mungkin tidak berani secara politis mengatakan ingin mengurangi jumlah bank. Masalahnya, apakah otoritas perbankan memiliki sistem dan sumber daya manusia yang cukup untuk mengawasi BPR dan bank dengan kegiatan terbatas.

Kita ambil contoh jatuhnya BPR di Lampung pada 2008, yang ternyata ukuran asetnya jauh lebih besar daripada ukuran rata-rata BPR. Artinya, otoritas perbankan bisa saja tetap Bank Indonesia atau pindah ke lembaga baru Otoritas Jasa Keuangan, tapi problem pengawasan perbankan akan tetap sama, yaitu diperlukan institusi yang kredibel dan efektif dalam mengawasi terlalu banyak bank di tengah perkembangan produk yang semakin beragam dan kompleks.

Saat ini belum ada bank di Indonesia yang memiliki modal Rp 50 triliun. Artinya, belum ada yang bisa masuk kategori bank internasional. Di pihak lain, bank asing dan bank nasional milik asing semakin mendominasi. Bank asing seperti Citibank, Standard Chartered, DBS, HSBC, dan ABN Amro (RBS) diperbolehkan membuka cabang di 10 kota besar di Indonesia.

Tidak dimungkiri, kehadiran bank asing telah memberikan dampak positif, yaitu akses kredit dan alternatif investasi kepada masyarakat. Sumber daya manusia Indonesia mendapat pelatihan dan pekerjaan serta karier di bank asing. Aliran modal masuk juga bertambah karena pembiayaan buat penanaman modal asing akan masuk ke Indonesia. Tapi kredit dari bank asing saat ini baru sebatas kredit konsumsi (kartu kredit, kredit pemilikan rumah, kredit mobil). Untuk kredit usaha kecil, mungkin hanya HSBC yang mencoba melakukan penetrasi. Kredit infrastruktur masih cenderung dijauhi karena berjangka panjang, memiliki risiko yang lebih tinggi daripada kredit konsumsi.

Bank nasional yang saat ini sudah dimiliki oleh asing termasuk Bank Danamon, BII, UOB Buana, Bank Permata, serta CIMB Niaga. Bank nasional milik asing saat ini terus mengembangkan bisnis kredit korporasi, menengah, dan konsumsi. Yang masuk ke kredit mikro hanya dua, Bank Danamon dan BTPN. Dengan semakin banyaknya bank nasional milik asing dan bank BUMN masuk ke sektor pembiayaan mikro, suku bunga kredit kepada masyarakat kecil akan terus menurun. Suatu dampak yang positif. Tapi kiprah di pembiayaan infrastruktur juga tak terdengar di bank nasional milik asing. Jadi, pertanyaannya: apakah pembiayaan infrastruktur negeri ini memang akan diserahkan kepada bank BUMN dan pasar obligasi? Apakah cukup di tengah anggaran pemerintah yang cekak?

Bank Mandiri adalah salah satu bank nasional (BUMN) yang mempersiapkan diri menjadi bank regional di wilayah Asia. BNI juga memiliki kantor cabang di luar negeri. Pertanyaannya: di manakah peran negara sebagai pemilik dan regulator mendorong bank nasional bisa masuk ke pasar regional dalam rangka ASEAN Free Trade Area (AFTA)? Seharusnya ada keberpihakan dan fasilitas pemerintah yang membantu mempersiapkan bank nasional (termasuk bank BUMN) menghadapi AFTA. Faktanya, sampai sekarang, masih sulit membuka k antor cabang di luar Indonesia. Tentu saja pekerjaan rumah bagi bank nasional adalah mempersiapkan infrastruktur manajemen risiko, teknologi, serta sumber daya manusia. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton di negara sendiri.

Program konsolidasi perbankan yang dikenal sebagai single presence policy dalam pelaksanaannya ternyata hanya menambah jumlah pemain asing di Indonesia. Temasek (BUMN Singapura), yang memiliki Bank Danamon dan BII, menjual BII kepada Maybank (BUMN Malaysia). Sedangkan dua BUMN Malaysia (Commerce Asset dan Khazanah) yang memiliki Bank Niaga dan Lippo Bank melakukan penggabungan usaha, melebur Lippo Bank ke dalam Bank CIMB Niaga. Dari sisi konsumen perbankan, tidak ada yang dirugikan. Tapi, dari sisi fairness bagi pemain lokal, mungkin perlu dipikirkan dampaknya dalam jangka panjang terhadap perusahaan nasional dan identitas bangsa.

Program konsolidasi bank kecil juga tak berdampak pada pengurangan jumlah bank, tapi hanya sekadar mengundang perbankan asing. Bank asing perlu modal Rp 3 triliun apabila ingin masuk membuka bank baru, tapi cukup menginjeksi Rp 100 miliar jika membeli bank kecil yang kurang modal. Dengan izin, bank asing hanya boleh membuka cabang di 10 kota besar. Tapi, jika membeli bank lokal, langsung mendapat kemudahan membuka cabang di seluruh wilayah Indonesia.

Jalan tengah dalam mencari keseimbangan antara membesarkan perbankan nasional dan mementingkan konsumen jangka pendek tampaknya perlu dipikirkan. Jika suatu bank nasional dikelola dengan tidak hati-hati, selalu menipu, dan terus merugi, memang lebih baik ditutup atau dijual kepada investor yang mampu membenahinya. Bisa investor lokal, bisa ke investor asing. Yang penting adalah tercapainya stabilitas sistem keuangan.

Dengan runtuhnya perbankan Amerika dan Eropa, kita semua perlu introspeksi diri. Yang namanya ketamakan dan orientasi kinerja perusahaan terhadap laba jangka pendek telah membuat bank-bank global berekspansi ke instrumen subprime mortgage dan derivatives. Stabilitas sistem keuangan Indonesia bisa diciptakan jika kita mampu memilih pemilik dan manajemen bank yang kuat dan prudent. Untuk bank BUMN, komitmen pemerintah dalam menunjuk manajemen yang berprinsip good corporate governance adalah hal mutlak. Selain adanya manajemen yang prudent, dengan menjadi perusahaan publik, adanya komisaris independen serta penerbitan instrumen pasar modal yang diperingkat oleh credit rating akan membantu pula upaya perbaikan good corporate governance di perbankan nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus