Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap detik, noktah hitam di tengah laut itu bertambah besar. Menjelang senja, tatkala langit Bawean masih merah tembaga, jelaslah bahwa noktah itu sebuah kapal motor penumpang. Kapal motor Harapan Sumekar berangkat dari pelabuhan Gresik, Jawa Timur. Kapal jenis buka-tutup dek (roro, roll on roll off) itu segera merangsek ke dermaga.
Laut masih memisahkannya. Namun mereka yang di atas kapal dan penjemput di daratan sudah saling melambaikan tangan. Tak berselang lama, kapal menyentuh bibir dermaga pas jadwal. Tiga jam setengah kapal menuntaskan pelayarannya menembus Laut Jawa.
Hari itu, sepuluh hari menjelang Lebaran, sekitar 150 penumpang turun dari kapal. Suasana di pelabuhan kontan riuh-rendah: pelukan hangat sanak kerabat, juga ratusan barang yang mereka bongkar. Aneka kardus dan karung berisi gula, telur, garam, beras, dan kebutuhan pokok lainnya mereka angkut ke pelabuhan. Derek pun ikut membantu, mencangking satu per satu puluhan sepeda motor kinclong belum berpelat nomor.
Terakhir, awak kapal menurunkan dua Daihatsu Xenia hitam gres keluaran dealer di Surabaya. ”Ini oleh-oleh yang kamu minta,” kata Mudhofir, 40 tahun, kepada tiga saudaranya.
Pria berperawakan tinggi besar dan berkulit legam ini pemegang kartu identitas penduduk Singapura. Tapi ia juga masih ber-KTP Bawean. Ia adalah kapten sebuah kapal penangkap ikan yang beroperasi dari Singapura. Anak dan istrinya ia boyong ke Negeri Singa ini. Telah 15 tahun ia menetap di sana. Dia adalah potret perantau Bawean yang sukses di negeri orang dan kini mudik ke kampung halaman.
Bawean berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti masih ada sinar. Pulau dengan luas sekitar 200 meter persegi dan berdiameter 12 kilometer ini dilingkari jalan sepanjang 70 kilometer. Mirip sebentuk titik terombang-ambing gelombang Laut Jawa dalam peta Indonesia. Ia berjarak sekitar 150 kilometer di utara Pulau Jawa dari titik Surabaya atau Gresik. Secara administratif, pulau berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa ini masuk wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Di sana, ada dua kecamatan, Sangkapura dan Tambak. Bahasa sehari-hari mereka Bawean, mirip bahasa Madura. Inilah penduduk yang 90 persen lelakinya merantau ke luar negeri dan luar pulau. Itulah sebabnya banyak orang berseloroh, Bawean adalah pulau putri, karena yang tinggal di sana kebanyakan perempuan.
Malaysia dan Singapura adalah tujuan utama perantau Bawean. Di dua negara jiran ini, orang Bawean disebut Boyan dan telah menjadi komunitas sendiri. Ada juga yang ke Australia. Sebagian lagi berdiam di kota-kota besar di Jawa seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta.
Tak ada catatan pasti berapa jumlah imigran Bawean di luar negeri. Tokoh masyarakat Bawean yang juga Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, Syariful Mizan, mengungkapkan bahwa saat ini setidaknya terdapat 120 ribu lebih orang Bawean yang berada di Malaysia, 80 ribu di Singapura, dan sekitar seribu orang tersebar di beberapa negara lain. ”Lebih banyak orang Bawean di luar negeri ketimbang di Indonesia,” katanya.
Mereka mewarisi jiwa perantau tradisional yang terbangun turun-temurun, entah sejak kapan. Mereka inilah yang menurut kacamata administrasi modern, pendatang ilegal di negeri orang. ”Kami tidak tahu berapa jumlah warga yang merantau. Mereka melalui perantara, orang-orang Bawean yang sudah menetap di sana,” kata Camat Sangkapura, M. Suhaimi.
Coba masuk ke rumah tangga Bawean. Bisa dipastikan, paling tidak satu dari anggota keluarga mereka pernah tinggal di luar negeri sebagai TKI. Mereka kebanyakan bekerja di sektor properti untuk tenaga kasar atau kuli. Sebagian lagi berdagang. Adapun sejumlah orang lainnya menjual jasa sebagai cukong atau pengawal TKI—mereka ini bisa sepekan dua kali menjejakkan kaki di Malaysia atau Singapura. Mereka bagian dari mata rantai yang memutar ringgit dan dolar masuk Bawean.
Turun dari kapal, Mudhofir langsung mengendarai mobil terbarunya. Ia meluncur ke rumah orang tuanya di Desa Daun, Sangkapura. Dalam perjalanan, ia mendengar belanggur atau mercon raksasa berdentum menggelegar. Suara itu berasal dari depan Masjid Jamik Sangkapura. Saban petang selama Ramadan, belanggur adalah rujukan terpercaya saat untuk berbuka puasa warga Bawean.
Mudhofir bersama empat kerabat yang menyertainya berhenti di depan warung nasi goreng Jawa untuk membatalkan puasa. Sebelum makan, Mudhofir ingat, di kantongnya tidak ada uang rupiah. Yang ada dolar Singapura. Rupiahnya habis untuk ongkos kapal dan sejumlah keperluan di Surabaya sebelum berlayar ke Bawean. ”Apa bisa pakai dolar Singapura?” tanya dia ke penjual nasi goreng dalam bahasa Bawean.
Si penjual nasi goreng, Makrus, 36 tahun, tidak menjawab. Ia tetap merunduk karena tangan dan perhatiannya sibuk menggoreng nasi pembeli lain. Tapi pria asal Mojokerto ini mendengar pesanan mereka. Empat nasi goreng dan empat es degan pun segera tersaji. Mereka makan lahap dan tubuhnya pun mulai segar kembali setelah sehari berpuasa. Seusai makan, Mudhofir bertanya ongkos makan. ”Nasi goreng dua puluh empat ribu rupiah atau empat dolar. Minumnya satu setengah dolar dan gorengannya setengah dolar. Jadi semua enam dolar,” katanya.
Mudhofir lantas mengambil tiga lembar pecahan dua dolar Singapura dari dompet tebalnya. Bagi Makrus dan istrinya, Muslihah, 30 tahun, yang asal Madura, bertransaksi menggunakan dolar Singapura, dolar Amerika, dan ringgit Malaysia bukan hal asing. Ia mendapat pengetahuan kurs uang dari omongan tetangga kiri-kanan. Saking biasanya dolar Singapura dan ringgit Malaysia menjadi alat tukar di Bawean, ia pun hafal luar kepala berapa konversi ke rupiahnya. Dolar Singapura yang kini kursnya berkisar Rp 5.800 ia bulatkan menjadi Rp 6.000 agar tak merepotkan hitungan.
Jual-beli menggunakan mata uang asing lazim di Bawean. Para perantau, yang umumnya pulang dari Malaysia dan Singapura, biasa membawa mata uang asing ke pulau ini. Kios rokok pun menerima transaksi menggunakan ringgit dan dolar. Bahkan penarik becak siap pula menerima mata uang asing tadi.
Hampir semua toko di Bawean merangkap jasa penukaran uang. Tidak ada agen resmi penukaran uang asing di Bawean, kecuali Bank Jatim, satu-satunya bank yang ada di pulau itu. Bank Jatim Cabang Bawean mencatat uang kiriman TKI ini per bulannya Rp 5 miliar. Menurut bagian layanan nasabah Bank Jatim Cabang Bawean, Suyoto, sejak bank ini berdiri di pulau ini pada 2001, kiriman paling sedikit per bulan bernilai Rp 3,5 miliar. Menjelang hari raya Idul Fitri, angka itu mencapai Rp 8 miliar.
Tapi Syaiful, saudagar Bawean, yakin bahwa uang masuk ke Bawean dari luar negeri lebih besar daripada yang ditaksir bank. Banyak pemasukan ke Bawean mengalir tidak melalui bank, tapi melalui kurir atau pengawal. Ia menaksir uang yang dititipkan kurir per bulan ke Bawean bisa mencapai sekitar Rp 5 miliar. Perhitungan ini didasarkan pada jumlah pengawal (cukong) di Bawean yang minimal mencapai 250 orang. Jika seorang pengawal dipukul rata membawa uang masuk ke Bawean sebulan Rp 20 juta, ini berarti uang yang mereka bawa masuk Rp 5 miliar. ”Padahal ada sejumlah pengawal yang bisa membawa uang masuk Bawean hingga ratusan juta per bulan,” tuturnya.
Jumlah uang dari luar negeri ini jauh lebih besar ketimbang anggaran pemerintah Indonesia untuk Bawean yang hanya Rp 1,5 miliar per bulan. Karena itu, jangan heran jika pembangunan jalan antardesa di Bawean dibiayai dengan dana hasil urunan TKI. Jalan belasan kilometer dari Desa Gunung Teguh, desa di wilayah dalam Bawean, menuju ibu kota, yang menghabiskan ratusan juta rupiah, juga dari uang TKI.
Orang di sana pun berujar, itulah ”Jalan Mahathir” dan ”Jalan Lee Kuan Yew”, nama perdana menteri Malaysia dan Singapura ketika jalan itu diaspal dan diblok semen. ”Tidak ada Jalan Soeharto, Gus Dur, Megawati, atau SBY di Bawean,” ujar Ridwan, warga Lebak Bawean. Desa, melalui rapat tokoh dan pemuka desa, mengutip sejumlah uang dari TKI untuk membangun madrasah, balai desa, sekolahan, pesantren, dan masjid atau musala. Di pedesaan wilayah tengah Pulau Bawean ini, berdiri megah masjid senilai Rp 1 miliar. Itu semua dibangun dari uang hasil keringat TKI di Malaysia dan Singapura.
Sebagian orang Bawean suka menabung dalam bentuk koin emas. Ada tiga jenis koin emas yang mereka buru. Uniknya, uang logam berbahan emas itu adalah mata uang Amerika Serikat keluaran awal tahun 1900-an. Jenis pertama, koin emas seukuran receh Rp 500 yang mereka beri nama ”okon”. Jenis kedua, koin yang mereka sebut ”rupeah” pake ”e” bukan ”i” untuk membedakan dengan rupiah. Koin ini berukuran dua kali lebih lebar dibanding okon. Yang ketiga lebih besar dua kali lipat dari rupeah, yang mereka namai ”ringgit”.
Yakub, pemilik toko emas di Bawean, menuturkan bahwa berat okon 8,3 gram atau setara dengan Rp 1,65 juta. Rupeah 16,6 gram atau senilai Rp 3,3 juta, dan ringgit memiliki berat 33,2 gram atau jika dirupiahkan Rp 6,6 juta. Koin ini biasanya untuk jual-beli tanah dan rumah. Selain itu, mereka memodifikasinya menjadi perhiasan.
Entah mulai kapan orang Bawean keranjingan koin emas. Yang pasti, perempuan Bawean menggunakan perhiasan emas sebagai hal yang biasa saja. Tidak sekadar saat pesta, tetapi juga ke pasar dan untuk kegiatan apa pun asal keluar dari rumah. ”Banyak perempuan Bawean menggunakan koin emas untuk kalung, gelang, bros, dan hiasan kancing baju. Mereka tidak pamer, tapi perempuan ya harus begitu, pakai emas,” kata Yakub.
Tak sedikit rumah di Bawean berkualitas rumah Pondok Indah Jakarta. Di sekeliling pulau tidak akan dijumpai rumah berwajah miskin. Semua telah berdinding tembok. Di atas atap rumah, pasti ada parabola. Ada banyak rumah yang memasang dua parabola agar lebih banyak menangkap siaran televisi dunia. Maklum, tidak ada televisi berlangganan. Antena televisi biasa tak mampu menangkap sekadar siaran televisi nasional.
Bergelimang uang kiriman juga mengakibatkan sebagian anak muda Bawean malas bekerja. Mereka menunggu kiriman uang dari luar negeri sembari nongkrong di kedai. Pencurian dan kejahatan lain hampir tidak terdengar. Yang kerap jadi gunjingan adalah justru perselingkuhan. ”Maklum, Mas, ini pulau putri. Lelakinya pada merantau,” ujar Yakub.
Menurut Yakub, kisah perantauan Bawean tak akan kering selama perekonomian Malaysia dan Singapura masih memikat. Pulau ini, kata dia, seolah tak peduli bahwa ia menjadi bagian dari Indonesia. Selama masih ada cahaya, ringgit dan dolar tetap berkilau di Bawean.
Sunudyantoro, Rohman Taufiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo