Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluarga Radan nun di Trenggalek, Jawa Timur, mantap menentukan waktu salat Idul Fitri lalu. Mereka tak meributkan kepastian waktu hisab. Bukan karena tidak tahu, tapi sebaliknya. Bapak dan Ibu Radan mantap menentukan waktu salat dengan hasil hitungan putra keduanya, Zevrizal Nanda Mardani. Caranya? ”Saya mengukur ketinggian bulan waktu matahari terbenam,” katanya malu-malu tentang hitungan hisabnya.
Orang tuanya tak sangsi atas presisi hitungan putra mereka. Zep, begitu ia biasa dipanggil, bukan sekadar tahu cara mengukur ketinggian bulan. Pada awal Oktober lalu, remaja yang belum genap 14 tahun ini membuat kejutan dengan menjadi juara kontes astronomi. Tak tanggung-tanggung, ini ajang kelas dunia bertajuk Olimpiade Astronomi Internasional XII di Simeiz, Ukraina. Zep meraih medali emas, sementara tiga siswa Indonesia lain memperoleh medali perunggu.
Astronomi? Itulah yang membuat prestasinya menjadi istimewa. Meski remaja Indonesia akrab dengan masalah bintang-gemintang, paling hanya sebatas ramalan bintang atawa astrologi. Tapi astronomi, ilmu tentang benda-benda langit ini, sama sekali tidak dikenal karena memang tak disenggol oleh kurikulum sekolah di sini.
Hanya karena ”kecelakaan” sajalah Zep yang buta astronomi bisa masuk tim olimpiade astronomi ini. Ia bergabung bersama Veena Salim (siswi kelas IX SMP Methodist 3, Medan), Anas Maulidi Utama (SMPN 1 Sumenep, Jawa Timur), dan Teguh Santoso Lembono (SMU Aloysius Bandung), dan Hizbullah Abdul Aziz Jabbar (SMA 1 Yogyakarta).
Ini berawal saat Zefrizal gagal dalam seleksi masuk tim yang akan mewakili Indonesia dalam ajang International Junior Science Olympic (IJSO). Pada saat itu, panitia memilih sembilan peserta yang gagal untuk diseleksi memperkuat tim nasional ke Olimpiade Astronomi berdasarkan nilai fisika.
Awalnya Zep ragu, tapi setelah melakukan pengamatan di Observatorium Bosscha, minatnya langsung tumbuh. ”Saya jadi bisa mengagumi ciptaan Tuhan,” kata remaja yang bercita-cita jadi dosen matematika ini. Pengalamannya berbeda dengan Teguh. Ia memang sengaja melamar menjadi calon anggota tim ke Olimpiade Astronomi dengan bekal kecanggihannya melahap pelajaran fisika. Tapi tentang astronomi sendiri, pengetahuannya nol. Ia baru belajar astronomi secara serius, termasuk cara menggunakan teleskop, justru saat pelatihan dan persiapan menjelang tahap seleksi tim olimpiade itu. ”Waktu persiapan seleksi tingkat provinsi saya mulai belajar menggunakan teleskop di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung,” katanya.
Karena tak satu pun dari kelima siswa ini pernah mendapat bimbingan serius dalam bidang astronomi, kerja keras pun dimulai. Selama dua setengah bulan mereka dikarantina di Bandung. Mereka wara-wiri antara Pusat Observasi Bosscha, Institut Teknologi Bandung, dan Planetarium Jakarta untuk mengunyah segala macam teori, observasi, ditambah praktek analisis data. Bahannya diambil dari materi kuliah di jurusan astronomi, serta contoh soal olimpiade sebelumnya. Tidak tanggung-tanggung, dua pakar astronomi ITB, Suryadi Siregar dan Moedji Raharto, menggembleng mereka hingga melek astronomi.
Mereka juga mendapat ilmu dasar observasi dan kemahiran menggunakan teleskop. ”Karena astronomi adalah ilmu yang dikembangkan berdasarkan hasil pengamatan,” kata Moedji, mantan Ketua Jurusan Astronomi ITB dan mantan Kepala Observatorium Bosscha.
Dalam sesi teori, misalnya, peserta belajar menghitung besaran jarak planet dan waktu planet beredar. Juga, waktu tempuh sebuah pesawat ruang angkasa mendarat di bumi dari planet lain. Selain itu, mereka juga mempelajari soal gerhana matahari dan gerhana bulan. Dalam sesi observasi, atau melihat langit dengan mata telanjang saat cuaca cerah, mereka belajar mengamati rasi bintang. Juga memperkirakan daerah langit dalam satuan derajat dan menunjukkan satuan terangnya bintang. Dalam praktek, mereka harus mengerjakan data hasil observasi yang diolah menjadi sebuah grafik.
Gemblengan intensif itu berbuah sudah. Selain Zep, Veena kebagian perunggu, begitu juga dengan Anas dan Teguh. Sayangnya, Hizbullah gagal. Skornya kurang sedikit dari minimal skor untuk meraih medali perunggu. Dengan perolehan itu, Indonesia menempati peringkat ke-8 dari 23 negara peserta. Adapun peringkat pertama hingga ketujuh diperoleh Korea Selatan, Iran, India, Serbia, Cina, Rusia, dan Bulgaria.
Zep menjadi ”bintang” di Simeiz. Menurut Moedji, olimpiade di Ukraina ini menekankan imajinasi dan kreativitas dalam menganalisis soal astronomi yang kerap sangat abstrak. Misalnya, siswa diminta menganalisis gambar bulan sabit dan sebuah pesawat yang sedang terbang.
”Jawaban Zep paling baik. Dia sudah bisa menghitung lebar bulan sabit hingga memperhitungkan jangka waktu gerhana berdasarkan bentuk dan posisi bulan,” kata Moedji.
Meski sudah juara, Zep tidak hendak berhenti. Ia terus menggali bahan dari Internet dan buku pelajaran SMA. Ia mengasah kemampuan dengan peta bintang dari kertas dan peranti lunak yang diberikan para pembimbingnya di Bandung. Pada malam hari, ia terpekur mengamati langit dengan mata telanjang. ”Lampu depan rumah dimatikan agar melihatnya bisa jelas,” kata Mariati, sang bunda. Ya, ia hanya melihat bintang itu dengan matanya, karena teropong tak ia miliki.
Ditambah lagi, ia tidak punya tempat bertanya jika menemukan sesuatu yang baru. Pengetahuannya tentang bintang sudah jauh melewati kemampuan guru dan orang tuanya.
Namun, bandingkan Zep dengan teman seusianya di negara maju. Murid di Jepang, misalnya, sudah terbiasa mengamati benda langit karena banyak sekolah umum memiliki teleskop besar. Korea Selatan, India, dan Iran mulai menerapkan ilmu astronomi dalam kurikulum sekolah setingkat SMP. Bahkan Thailand kini sedang rajin menerjemahkan buku astronomi untuk anak-anak.
Sayang seribu sayang, Indonesia belum serius dalam mengembangkan ilmu astronomi. Observatorium Bosscha sering hanya berhenti sebagai monumen. Padahal ilmu ini sangat penting untuk mempelajari perkembangan alam semesta. ”Riset dan pengembangan sumber dayanya masih kurang,” kata Moedji. Minat untuk mendalami astronomi juga sangat minim.
ITB, satu-satunya perguruan tinggi di Asia Tenggara yang memiliki jurusan astronomi, tahun lalu hanya kebagian tidak lebih dari 10 mahasiswa. ”Biasanya, dari 330-an mahasiswa yang diterima di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, hanya delapan sampai sepuluh orang yang memilih astronomi. Jatah kursinya sendiri ada 30,” kata Mudji.
Teguh pun, yang sudah meraih medali perunggu olimpiade, tidak berminat berkarier di bidang astronomi. ”Saya nanti ingin kuliah di teknik mesin, bukan astronomi,” katanya.
Kita berharap Zep, yang masuk ke bidang ini secara tak sengaja—tapi menjelma menjadi bintang yang benderang di langit Simeiz—tak memudar agar bisa menerangi lingkungan sekitarnya.
Kurie Suditomo, Bibin Bintariadi (Trenggalek), Erick P. Hardi (Bandung), dan Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo