Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

<font color=#CC0000>Tulip</font> di Kaki Pohon Gui

Sudah lama tempat ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terindah di kolong langit. Namun baru sepuluh tahun terakhir penguasa lokal serius mengembangkannya sebagai tujuan wisata. Wartawan Tempo Philipus Parera mengunjungi kota di selatan Cina ini.

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wanita setengah baya yang mengamati saya sejak menapaki kawasan pedestrian Zhengyang, Guilin, akhirnya mendekat. Sekarang pukul 11 malam. Para pedugem memenuhi pub dan restoran kecil di kiri-kanan jalan. Sesekali penjaga toko yang pulang melintas dengan sepeda.

"Massage," katanya.

Ha? Tadinya saya kira dia hendak meminta-minta. Dia mengenakan baju kaus oblong merah bercorak naga. Celana jins kusamnya bolong di sekitar lutut. Dandanannya menor.

"Yung," katanya, menunjuk tiga gadis yang asyik ngerumpi di depan kedai kecil dengan papan nama berbinar: "massage and spa", tak jauh dari tempat kami berdiri. Putih, langsing, tinggi, mereka hanya mengenakan celana sepaha dan tank top.

Saya bilang mereka sangat muda dan bertanya apakah ketiganya masih bersekolah. Dia tertawa. "Sekolah? Oke. Kalau tidak suka, kamu boleh sama saya." Dia memandang lekat, lalu menyambung, "Berapa saja."

l l l

Bersama beberapa teman wartawan, agen perjalanan, dan staf Garuda Indonesia, saya tiba di Guilin sehari sebelumnya atas undangan pemerintah kota setempat. Kota kecil ini terletak di daerah otonom Guangxi, selatan Cina, sekitar 35 menit terbang dari Guangzhou.

Dari sebuah artikel di Time, saya mendapat gambaran tentang gaya hidup mewah anak muda Cina yang sukses di usia relatif belia. Konon, mereka punya karier yang bagus, tinggal di apartemen mewah, dan pada akhir tahun sibuk merencanakan tamasya ke luar negeri.

Tapi, di jalanan Kota Guilin, September lalu, dari kawasan Zhengyang hingga pusat kota, remaja dan anak-anak justru berkeliaran menjajakan segalanya: dari kembang tulip plastik, pernak-pernik khas Cina, pijat, hingga seks. Jangankan merencanakan perjalanan ke luar negeri, bersantai di pub pun rasanya mereka tak sanggup.

Toh, bagi orang Guilin, itu pun sudah berkah. "Guilin daerah miskin. Pada 1960-an, daerah ini pernah dilanda kelaparan besar," ujar Alung, pemuda berperawakan sedang dengan rambut belah kiri, teman duduk saya saat berperahu menyusuri jalur air yang mengular membelah Guilin.

Kami berkenalan di Hotel Lijiang Waterfall. Dia pemandu wisata yang diundang wali kota untuk ikut jamuan selamat datang menyambut kami. Mengaku tak pernah ke Indonesia, Alung menguasai hampir semua istilah gaul anak muda Jakarta.

Baru belakangan saya tahu orang tuanya datang dari Jawa Tengah. "Mereka kena Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 (aturan yang melarang orang 'asing' berdagang eceran di Indonesia)," katanya. "Ayah dan Ibu meninggalkan Jawa menumpang kapal kiriman pemerintah RRC. Mulanya sekitar 3.000 orang menetap di Guilin. Sebagian lalu pergi ke tempat lain saat kelaparan besar pada 1960-an."

Kini gedung baru dan peluang kerja, baik formal maupun informal, seolah berlomba tumbuh. "Lantaran bisa ngomong Indonesia, saya mendapat pekerjaan yang lumayan," ujar Alung. Dia bersyukur karena terbiasa berbicara dengan bahasa Indonesia di rumah sejak kecil.

Pariwisata Guilin diuntungkan oleh sejarah panjang kota ini sebagai pusat politik dan militer. Mula-mula, pada zaman Raja Wu dari Dinasti Han (111 SM), ia dikenal dengan nama Shi An. Benteng berupa tembok tinggi di sekeliling kota berdiri pada masa Dinasti Tang (619-906).

Jalur airnya bahkan sudah ada sejak tahun 200 SM, menyatukan Danau Shanhu, Ronghu, Guihu, dan Mulong, dengan Sungai Li dan Taohua. Konon, penyatuan itu untuk kepentingan militer. Dengan air, tembok, dan pegunungan yang berimpit di sekelilingnya, secara alami kota ini sangat terlindung.

Mungkin itu sebabnya, pada 1921, Dr Sun Yat Sen atau Sun Zhongshan mengumpulkan North Expeditionary Army di sana. Ketika itu, Kuo Mintang tengah berjuang membentuk negara demokratik Cina, lepas dari kungkungan kekuasaan feodal Dinasti Qing.

Kini jalur air dan jejak-jejak tua itu menjadi atraksi wisata yang lumayan mahal. Harga satu tiket perahu untuk satu jam pelayaran 150 yuan atau sekitar Rp 195 ribu. Cahaya ribuan lampu aneka warna membuat taman, jembatan, restoran terapung, dan bangunan klasik khas Cina, termasuk pagoda-pagoda, yang kami lewati tampak megah dalam kegelapan.

l l l

Sejak hari pertama, baik Alung maupun guide kami, Xiao Huang, selalu mengingatkan: tamasya Guilin tak lengkap jika tak sampai ke Yangshuo, sebuah desa tua di selatan. Maka, meski semalam begadang hingga larut di Pasar Malam yang membentang sepanjang Jalan Zhongshan, saya memaksakan diri bangun pagi buta pada hari ketiga.

Dari dermaga feri, 30 kilometer dari kota, kami mulai mengarungi Sungai Li menuju Yangshuo.

"Di sebelah kanan Anda adalah Bukit Ibu dan Anak Menanti Suami," terdengar suara dari pengeras di atas dek saat kami melewati sebuah bukit berpuncak datar. Sebuah batu berbentuk manusia tegak di atasnya. Menurut mitos, itu ayah yang membeku saat mencari makanan. Istrinya, yang lama menunggu, menyusul, menggendong anak mereka. Tapi keduanya pun membatu di pinggang bukit. Sebuah tonjolan lain di kaki bukit yang sama adalah batu ibu dan anak itu.

Han Yu, seorang penyair pada zaman Dinasti Tang, memuji panorama Sungai Li: "Seperti untaian selendang hijau yang tipis-lembut, gunungnya bak untaian tusuk konde bertatahkan giok."

"Tusuk konde" itu kini ternyata punya berbagai nama unik. Selain Bukit Ibu dan Anak Menanti Suami, ada Bukit Tanduk Kambing, Bukit Mahkota Raja, juga Tebing Lukisan Tujuh Kuda-mengacu ke mitologi Hindu untuk menghormati Dewa Surya yang terbit tujuh hari dalam seminggu.

Kami tiba di Yangshuo pukul 10. Toko-toko suvenir memadati jalan utama desa kecil yang permai itu. Karena sebagian besar tokonya dimiliki orang Eropa yang menikah dengan wanita lokal, masyarakat setempat menamai jalan itu West Street. Saya menemukan sebuah toko memajang T-shirt bergambar Mao, Che Guevara, dan Bin Ladin. Poster Bin Ladin dijual 65 yuan atau sekitar Rp 78 ribu.

Naik ke bukit, ada Gua Perak yang seolah memiliki empat lantai dengan sungai bawah tanah mengalir di dasarnya. Pada bagian yang tergenang air, pantulan stalaktit dan stalagmit disirami cahaya aneka warna, menghadirkan nuansa magis: seolah dunia kembar yang terbagi simetris.

Malamnya, saya berjejal di antara 5.000-an orang menikmati The Impression of Liu Sanjie. Zhang Yimou-karyanya, Hero, masuk nominasi Oscar kategori film berbahasa asing pada 2003-menggunakan 500-an penduduk lokal untuk teater kolosal di atas Sungai Li itu. Kisah gadis yang membebaskan petani dari kewajiban membayar pajak ini digelar sejak tiga tahun lalu. Setiap malam tak pernah sepi penonton.

Pertunjukan dibuka dengan munculnya Liu Sanjie dari kegelapan, di atas sampan kecil, sambil berdendang lirih. Tubuh ringkihnya bergoyang-goyang di temaram cahaya dan sampan yang melaju pelan.

Seketika saya teringat suasana romantis sungai Tiongkok seperti digambarkan Asmaraman Kho Ping Hoo. Namun, begitu Liu Sanjie dan kawannya turun mandi dan bersalin di tepian sungai, saya berhenti mengingat.

l l l

Malam sebelum kembali ke Jakarta, saya menyusuri tepian Danau Shanhu, depan Hotel Lijiang. Keinginan mengobrol dengan Alung gagal lantaran pulsa habis. Akhirnya, saya duduk mencangkung dekat patung Wan Cen, sastrawan Dinasti Song yang terkenal dengan kata-katanya: "Guilin adalah tempat terindah di kolong langit."

Saya tengah mengagumi Pagoda Bulan dan Matahari di tengah danau manakala seorang bocah mendekat. Dia menyodorkan setangkai tulip plastik."Fai (five) yuan,.

Saya memberinya lima yuan. Dia belalu. Ketika hendak balik ke hotel, saya tinggalkan kuntum plastik itu di dekat patung Wang Cen, di antara serakan kembang pohon gui.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus