Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIDANG” itu terjadi di ruang kerja Jaksa Agung Hendarman Supandji di lantai dua gedung utama Kejaksaan Agung. Hari itu, Kamis dua pekan lalu, Hendarman meminta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Muhammad Amari menjelaskan pertemuannya dengan peng usaha Hary Tanoesoedibjo. Ikut dalam pertemuan itu, Wakil Jaksa Agung Darmono, Jaksa Agung Muda Pengawasan yang juga mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, dan beberapa petinggi kejaksaan lainnya.
Sekitar setengah jam Amari membeberkan alasannya menerima Hary. Menurut Amari, ia menerima kakak tersangka kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Hartono Tanoesoedibjo, lantaran yang bersangkutan menunjukkan kesediaan mengembalikan uang kerugian negara. ”Dia minta penjelasan dan saya tidak melakukan deal apa pun,” kata Amari pada saat ”disidang”, seperti diceri takan kembali oleh sumber Tempo yang tahu persis pertemuan itu. Kepada Hendarman, bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat itu menegaskan bahwa dia juga baru mengenal Hary saat itu.
Melontarkan beberapa pertanyaan, akhirnya Hendarman mengeluarkan ”putusannya”: anak buahnya yang baru sekitar tiga bulan duduk di kursi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus itu tak bersalah. Kendati demikian, sebelum ”sidang” itu ditutup, Hendarman dengan nada keras memperingatkan Amari. ”Saya minta itu jangan diulangi lagi,” ujar Hendarman, sebagaimana dikutip sumber Tempo tersebut. Tak ada sanksi untuk Amari. ”Teguran lisan itu sudah hukuman,” kata Hendarman.
PERTEMUAN yang menyulut kehebohan itu terjadi pada Kamis tiga pekan lalu. Sore itu, sekitar pukul 15.00, pengacara Martin Pongrekun bergegas naik ke lantai dua Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Di belakangnya mengekor Hary Tanoesoe dibjo dan seorang anggota stafnya. Sejumlah pegawai kejaksaan yang mengenal Martin mengangguk hormat. Gedung Kejaksaan Agung memang bukan tempat asing bagi Martin. Sebelum membuka firma hukum, Martin adalah jaksa. Jabatan terakhirnya juga tidak main-main: Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan.
”Rombongan” Martin diterima Amari di kamar kerjanya di lantai dua. Jaksa agung muda itu mengontak anak buahnya, antara lain Direktur Penyidikan Pidana Khusus Arminsyah dan salah seorang jaksa yang menelisik kasus Sisminbakum, Esther P.T. Subea, untuk bergabung menyambut tamunya. Teh hangat dan penganan kecil dihidangkan.
Kendati sebagai tuan rumah, dalam rapat itu yang dominan ”memimpin” bukan Amari, melainkan Martin. Kepada ”junior”-nya, Martin memperkenalkan kliennya sekaligus maksud kedatangannya. Hary menjelaskan perihal keterlibatan kakaknya dalam kasus Sisminbakum itu. Menurut Hary, kakak sulungnya, Hartono, tidak bersalah dalam kasus ini. Bos Media Nu santara Citra (MNC) ini grup perusahaan yang antara lain membawahkan RCTI, Global TV, dan koran Seputar Indonesia menekankan tak ada duit yang dikorupsi dalam perkara Sisminbakum oleh grup per usahaannya.
Menjelang akhir pertemuan, Martin dan Hary menembakkan pertanyaan inti: bagaimana kemungkinannya jika mereka membayar ganti rugi uang negara, yang menurut kejaksaan, diselewengkan dalam kasus Sisminbakum. Amari, menurut sumber Tempo, saat itu menjawab, ”Itu sangat terbuka dilakukan.” Hary mengejar: apakah jika pembayaran ganti rugi itu dilakukan, kasus ini akan selesai? ”Maksudnya tidak merembet ke mana-mana,” ujar sumber itu. Pertanyaan ini tidak dijawab tegas Amari. Martin dan Hary meninggalkan Gedung Bundar sekitar pukul lima. Kehadirannya sepertinya tak tercium wartawan.
Sejak kasus ini merebak, Amari sulit ditemui juru tinta. Sebelumnya, kepada wartawan, Senin dua pekan lalu, dia menegaskan kedatangan Hary bukan untuk melobi kejaksaan. Ia menerima Hary karena status yang bersangkutan bukan tersangka atau terdakwa korupsi. Ditemui pada Kamis pekan lalu di Gedung Bundar, Arminsyah pun tak bersedia berkomentar tentang pertemuannya dengan Hary. ”Untuk yang ini saya tak akan bicara,” katanya.
Kepada Tempo, Kamis pekan lalu, Martin Pongrekun bercerita, kedatang anya menemui Amari untuk mengkla rifikasi kasus kliennya. ”Ide perte muan dari saya,” katanya. Sebagai pengacara, Martin mengharap kasus yang melibatkan kliennya segera rampung, ”Gara-gara kasus Sisminbakum ini Hartono stres. Kasihan dia.”
DISIDIK kejaksaan sejak akhir 2008, kasus Sisminbakum kini menuju titik akhir. Sejumlah tersangka kasus ini juga sudah divonis pengadilan. Bekas Direktur Jenderal Administrasi Badan Hukum Departemen Kehakiman Romli Atmasasmita dan Syamsudin Manan Sinaga, misalnya, divonis pengadilan tinggi hukuman satu tahun penjara. Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu dihukum Mahkamah Agung lima tahun penjara, plus membayar ganti rugi Rp 378 miliar. Adapun tersangka terakhir yang ditetapkan kejaksaan, Yusril Ihza Mahendra dan Hartono, perkaranya kini tengah diproses untuk dinaikkan ke tingkat penuntutan.
Jika Hary Tanoesoedibjo ikut khawatir kasus ini merembet ke mana-mana, itu sangat wajar. Beroperasi sejak Oktober 2000, proyek Sisminbakum terbilang erat berkaitan dengan Hary dan perusahaannya, Bhakti Investama. Modal pembuatan Sisminbakum sebesar Rp 500 juta, misalnya, dikucurkan dari kas Bhakti Investama. Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, John Sarodja, pencipta Sisminbakum itu, bercerita, ke kantor Bhakti Investama di Bapindo Plazalah ia, pada 2000-an, mengambil upah proyek membuat Sisminbakum itu. ”Waktu itu mereka belum punya gedung sendiri,” kata John. ”Pembayarannya juga dicicil.”
Adapun saham PT Sarana juga dimi liki Bhakti Asset Management. Di sini, selain sempat menjabat wakil komisaris utama, Hartono memiliki saham. Didirikan pada 30 Juni 2000, PT Sarana inilah yang ”mengeruk” duit dari sekitar 6.000 notaris yang ingin mendaftarkan badan hukum klien mereka. Selama delapan tahun beroperasi, kejaksaan menghitung, duit yang masuk reke ning SRD di Bank Danamon sekitar Rp 420 miliar. Duit itulah yang kemudian, menurut Yohanes, antara lain, dialirkan untuk kepentingan grup Hary.
Sejak divonis Mahkamah pada 20 Mei silam, Yohanes sering bercerita mengungkap kebobrokan SRD. Sepanjang Juni, misalnya, dia mendatangi berbagai institusi, Lembaga Bantuan Hukum, DPR, Komisi Yudisial, dan Satuan Tugas Antikorupsi, mengadukan nasibnya. Dia mengaku hanya jadi alat di per usahaan itu. ”Semua yang mengendalikan Hartono,” ujarnya. ”Semua uang dan pengeluarannya yang memegang dia.” Karena itu, ia mengaku hanya korban. ”Dari awal penyidikan kasus Sisminbakum oleh kejaksaan, saya sudah dikorbankan oleh bos saya, pemilik PT SRD, Hartono Tanoesoedibjo dan Hary Tanoesoedibjo,” tulis Yohanes dalam testimoninya. Dihubungi pada Kamis malam pekan lalu, Yohanes tak lagi banyak bicara. ”Jantung saya sakit,” katanya. ”Saya tak mau banyak cerita lagi.”
Sumber Tempo di kejaksaan mengungkapkan salah satu alasan yang membuat kejaksaan sangat berhati-hati mengusut kasus ini: ia akan menyenggol sejumlah pejabat penting. ”Aliran uang SRD itu ke mana-mana,” ujar seorang jaksa yang terlibat dalam peneli sikan kasus ini. Jaksa ini, misalnya, menunjuk adanya duit yang diduga untuk membeli rumah Jenderal Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, pada 2008, yang kemudian dijadikan museum di bawah pengawasan Dinas Sejarah Angkatan Darat. ”Nilainya US$ 10 juta,” kata sumber ini. ”Kami peroleh dari dokumen pengeluaran uang SRD.”
Jumat pekan lalu, Tempo menemui Yanti Nurdin Nasution, putri Jenderal Nasution, meminta klarifikasi mengenai hal ini. Menurut Yanti, pada 2007 keluarganya memang menjual rumah itu kepada seseorang bernama Mitra Abidin. Tapi pembayarannya lalu ma cet. ”Presiden Yudhoyono, yang kemudian mengetahui rumah ini hendak dijual, turun tangan, dan rumah ini pun dibeli Angkatan Darat,” ujarnya. Dari mana Angkatan Darat mendapat dana membeli untuk rumah itu, Yanti menyatakan tidak tahu. ”Yang penting, bagi kami, rumah ini jadi museum. Ini perjanjian kami dengan Angkatan Darat.”
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Soewarno Widjonarko membenarkan bahwa rumah di Jalan Teuku Umar itu dimi liki TNI-AD. Namun ia mengaku tidak mengetahui proses pembeliannya. ”Saya belum menjabat waktu itu. Nanti saya cari tahu,” kata Soewarno, yang menjabat sejak Januari 2010, kepada Tito Siani par dari Tempo, melalui sam bungan telepon, Sabtu pekan lalu.
Museum Nasional Jenderal Besar A.H. Nasution seluas 2.000 meter persegi itu diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 3 Desember 2008. Turut pula hadir istri Nasution, Johana Sunarti, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Pariwisata Jero Wacik, dan para Kepala Staf TNI.
Adapun pengacara PT Sarana, Andi F. Simangunsong, ketika dihubungi pada Sabtu pekan lalu, menyatakan tidak mengetahui hal tersebut. ”Kalau soal ini saya belum tahu. Tapi perusahaan itu keuangannya transparan, bisa dilihat ke mana saja aliran dana nya.”
DERASNYA uang yang mengalir ke berbagai penjuru itulah, menurut sumber Tempo, yang jika ditelusuri akhirnya bisa merembet ke mana-mana. ”Ini yang membuat Jaksa Agung sangat hati-hati menetapkan Hartono jadi tersangka,” ujar seorang jaksa yang sejak awal ditunjuk menangani kasus Sisminbakum. Menurut jaksa ini, saat kasus ini mulai ditelisik pada Oktober 2008, tim penyidik sudah memiliki bukti keter libatan Hartono dan Yusril. ”Bahkan tim sudah melakukan gelar perkara, menunjukkan pelanggaran hukum yang dilakukan Hartono dan Yusril.”
Seorang petinggi kejaksaan mengakui, peran Hary Tanoe besar dalam meredam kasus ini. Salah satu petinggi yang dimintai bantuan oleh Hary, ujar sumber ini, adalah Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Sumber Tempo lainnya, juga pejabat kejaksaan, menyatakan Hendarman pernah bercerita dirinya diminta ”me ngerem” kasus ini. ”Kepada kami Jaksa Agung bilang: ’Ada yang meminta demikian’.”
Baik Hary Tanoesoedibjo maupun Sudi Silalahi menolak keras dituduh ikut campur perkara ini. Kepada Erwin Daryanto dari Tempo yang menemuinya pada Jumat malam pekan lalu, Sudi menegaskan bahwa ia tidak pernah mencampuri urusan hukum kasus Sisminbakum. ”Kalau telepon dengan Pak Hendarman pernah, tapi bukan untuk mencampuri urusan hukum,” katanya. Sebelumnya, pertengahan bulan lalu, saat bertandang ke Tempo, Hary Tanoe juga membantah dirinya melobi Sudi agar membantu keluarganya keluar dari kemelut perkara ini.
RABU pekan lalu Hendarman menyatakan permintaan maafnya atas terjadinya polemik setelah pertemuan Amari-Hary. ”Saya minta maaf kepada masyarakat,” ujarnya. Kendati demikian, Hendarman terkesan tetap membela anak buahnya. Menurut Hendarman, iktikad Amari sebenarnya baik. Hanya, ujarnya, karena dibaca lain oleh publik, hal itu kemudian jadi polemik.
Tapi, seorang petinggi kejaksaan tak sependapat dengan Hendarman. Menurut dia, dalam kasus ini Amari jelas salah, yakni melanggar peraturan internal kejaksaan yang dikeluarkan Hendarman pada 15 April 2008. ”Pada butir satu di situ jelas tertulis, setiap jaksa dilarang menerima tamu yang berhubungan dengan perkara,” katanya. ”Hary itu kan kakak pihak yang beperkara.”
Suara yang sama muncul dari Komisi Hukum DPR. Bekas Ketua Komisi Hukum DPR Trimedya Panjaitan melihat memang ada yang ganjil dalam kasus ini. Sebab, ujarnya, pertemuan itu dilakukan setelah ada putusan yang dijatuhkan pengadilan terhadap sejumlah tersangka Sisminbakum. ”Sangat wajar jika ada yang curiga terjadi deal,” kata Trimedya.
Karena itu, ujar Trimedya, satu-satunya cara agar kasus ini mereda, kejaksaan menutup pintu atas keinginan Hari Tanoe mengembalikan uang negara dan segera melimpahkan kasus Yusril dan Hartono ke pengadilan. ”Kami juga akan segera memanggil Jaksa Agung untuk meminta penjelasan kasus ini,” katanya.
L.R. Baskoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo