Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEATER berjalan itu bergerak dari markas Partai Demokrasi Pembaruan menuju gedung Kejaksaan Agung. Laksamana Sukardi berada di barisan depan. Bekas Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara itu kelihatan percaya diri. Berjas hitam dengan kancing terbuka, berbekal sehelai map, ia mendatangi Gedung Bundar Kejaksaan. Di belakang Laks, demikian laki-laki 51 tahun itu biasa disapa, mengularlah rombongan sekitar seratus anggota Partai Demokrasi Pembaruan. Menempuh jarak 500 meter di keramaian Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, barisan itu terus meneriakkan, ”Hidup PDP…. Hidup Laks, hidup Laks….” Laksamana adalah salah satu tokoh partai sempalan PDI Perjuangan itu.
Hari itu untuk pertama kalinya Menteri Negara BUMN di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini diperiksa Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus penjualan kapal tanker very large crude carrier milik Pertamina pada 2004. Status tersangka itu meluncur dari Gedung Bundar pada Jumat dua pekan sebelumnya. Dua petinggi Pertamina, mantan direktur utama Ariffi Nawawi dan bekas direktur keuangan Alfred Rohimone, ikut diperiksa.
Teater tadi agaknya sengaja dirancang Laksamana untuk mengatakan bahwa penetapan dirinya sebagai tersangka penuh motif politik. ”Sejak saya keluar dari PDIP, tekanan itu semakin menjadi-jadi,” katanya. Tiga tahun lalu, menyusul konfliknya dengan sejumlah pemimpin, Laks keluar dari Partai Banteng. Tak lama kemudian, bersama Roy B.B. Janis dan Arifin Panigoro, ia mendeklarasikan partai baru tadi. Laks mencurigai orang-orang PDIP di DPR berperan besar mendorong pembentukan panitia khusus kasus tanker Pertamina. ”Banyak yang takut karena kader PDIP banyak yang pindah ke partai saya,” kata Laks kepada Tempo. Panitia Khusus DPR mengenai penjualan tanker Pertamina akhirnya terbentuk. Hasil kerja panitia ini menyatakan Laksamana bersalah dalam penjualan tanker itu.
Tudingan Laks ditolak mentah-mentah oleh Gayus Lumbuun. Wakil Ketua Panitia Khusus DPR asal PDIP ini membantah adanya peran PDIP untuk mendorong Laks menjadi tersangka. ”Itu dalih yang dicari-cari Laksamana saja,” kata anggota Komisi Hukum DPR ini. Menurut dia, pelanggaran hukum pidana oleh Laks sudah terang-benderang. Gayus yakin data hasil kerja Panitia Khusus selama setahun bekerja sudah sangat kuat. Itu sebabnya Gayus berani menasihati Laks agar ”tidak mencari-cari alasan lagi. Hadapi dan buktikan saja nanti di pengadilan.”
Kasus penjualan dua kapal tanker kelas jumbo milik Pertamina sudah bolak-balik diperiksa Kejaksaan Agung. Dua kapal yang panjangnya 330 meter dengan lebar 60 meter serta bobot 260 ribu ton itu dipesan Pertamina dari galangan kapal Hyundai Heavy Industries, Korea Selatan, pada 2001. Kapal seharga US$ 65 juta atau sekitar Rp 585 miliar itu direncanakan untuk mengangkut minyak mentah dari Timur Tengah ke kilang pengolahan di Cilacap, Jawa Tengah. Pembelian ini direncanakan untuk memperkuat armada distribusi Pertamina yang sebagian besar dilakukan kapal carter.
Lantas prahara pun muncul pada 2004. Pertamina tiba-tiba memutuskan menjual dua tanker tersebut. Alasannya, keuangan perusahaan memburuk. Hanya ada Rp 16 triliun dalam kas perusahaan. Saat itu Pertamina bahkan tak sanggup membayar kewajiban Rp 3,6 triliun per bulan ke brankas pemerintah. Total utang Pertamina bertimbun sampai mencapai Rp 23 triliun. ”Perlu langkah drastis untuk mengatasi cash flow yang memburuk,” kata Alfred Rohimone, Direktur Keuangan Pertamina saat itu.
Dengan kantong yang megap-megap seperti itu, direksi Pertamina memutuskan menjual dua tanker miliknya. Apalagi kebutuhan dana makin terasa ketika ada ancaman penyitaan aset Pertamina di luar negeri akibat kasus Karaha Bodas. Menteri BUMN Laksamana Sukardi, selaku Komisaris Pertamina, menyetujui rencana penjualan itu. Proses penjualan tanker kemudian ditangani langsung oleh direksi.
Ternyata, meskipun kelihatan mulus di tingkat atas, Serikat Pekerja Pertamina mengecam penjualan itu. Wakil rakyat di Senayan bersikap sama. Tapi kafilah terus berlalu. Dua kapal dijual seharga US$ 184 juta atau sekitar Rp 1,65 triliun kepada Frontline Ltd.
Menurut sejumlah sumber, penjualan tersebut membuat negara kehilangan pendapatan US$ 102 juta atau sekitar Rp 918 miliar. Penyebabnya, tanker dijual dengan harga lebih murah daripada harga pasar. Pertamina lantas diadukan Serikat Pekerja Pertamina dan kelompok lain kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Setelah melakukan penelitian, KPPU berkesimpulan ada kecurangan dalam tender penjualan. Pertamina dinyatakan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
KPPU menganggap ada persekongkolan antara Pertamina dan Goldman Sachs, selaku konsultan Pertamina, untuk memenangkan Frontline. Siasat yang dirancang, PT Equinox, broker yang mewakili Frontline, memasukkan penawaran ketiga saat batas waktu pengajuan penawaran telah ditutup pada 7 Juni 2004. Akhirnya, Frontline keluar sebagai penawar tertinggi, dengan tawaran lebih tinggi sekitar US$ 500 ribu dari harga penawaran Essar Shipping Ltd. Pesaing ini memasukkan harga US$ 183,5 juta untuk dua kapal. Semula Frontline mengajukan penawaran US$ 175 juta.
Menurut KPPU, sampul penawaran Frontline tidak dibuka di depan notaris sebagaimana ketentuan request for bid. Keanehan makin terasa setelah ditemukan utang Frontline sebesar Rp 118 miliar atas pembelian dua tanker tersebut. Artinya, Frontline baru membayar sekitar Rp 1,53 triliun kepada Pertamina.
Tak sudi dinyatakan bersalah, Pertamina pada 2005 melawan keputusan tersebut dengan menggugat KPPU di Pengadilan Jakarta Pusat. Saat itu Direktur Utama Pertamina dijabat Widya Purnama. Meski Pertamina menang di pengadilan tingkat pertama, akhirnya Mahkamah Agung menguatkan pendapat KPPU. Namun dalam dua keputusan ini sama sekali tidak disinggung soal korupsi.
Yang menarik versi pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah 26 orang saksi—22 di antaranya dari Pertamina—diperiksa, penjualan tanker dinyatakan tidak terbukti merugikan negara. ”Jadi belum bisa dibuktikan sebagai tindak pidana korupsi,” kata Tumpak Hatorangan Panggabean, Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK, Maret tahun lalu. Meski KPK menemukan unsur melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dari para pejabat Pertamina, karena tak ada kerugian negara, kasus itu tidak bisa disidik.
Ketika hasil Panitia Khusus DPR soal kapal tanker ini diumumkan pada Juli 2006, sejumlah pihak mendorong KPK kembali membuka perkara ini. KPK tak bergerak. Yang aktif justru Kejaksaan Agung, yang menyelidiki lagi kasus ini sejak Februari lalu. Temuan Kejaksaan sama dengan hasil Panitia Khusus DPR: ada kerugian negara. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rachman memaparkan hasil kerja timnya awal November lalu.
Maka tiga orang penting tadi dianggap bertanggung jawab atas penjualan tanker dan dijerat dengan UU Nomor 21/2001 tentang pemberantasan korupsi.
Ariffi dan Alfred sejak Rabu hingga Jumat pekan lalu terus-menerus diperiksa Kejaksaan Agung. Pemeriksaan selama tiga hari berturut-turut membuat wajah kedua bekas petinggi Pertamina itu lusuh. Kepada wartawan yang mencegat mereka, Ariffi dan Alfred hanya berkata pendek, ”Nggak… nggak….” Tentu maksudnya tak ada komentar. Pengacara mereka, Maqdir Ismail, menjelaskan singkat, ”Mereka masih ditanyai seputar prosedur penjualan.”
Prosedur itulah yang banyak disorot. Gayus Lumbuun menyatakan pelepasan aset tanpa disertai persetujuan Menteri Keuangan adalah pelanggaran hukum. Penunjukan langsung Goldman Sachs sebagai financial advisor dan arranger dinilainya tergolong tindakan memperkaya orang lain atau suatu korporasi. Keterlibatan PT Equinox dalam penentuan Frontline sebagai pemenang tender diduga juga ”ada apa-apanya”. ”Sudah kuat data untuk memulai penyidikan. Kejaksaan tinggal mencari bukti-buktinya,” kata Gayus Lumbuun.
Tapi berapa kerugian negara sebenarnya? Kejaksaan belum punya angka pasti. ”Masih dihitung oleh BPK,” kata Kemas Yahya Rachman. Yang ada baru taksiran kerugian negara versi Panitia Khusus DPR, yaitu antara Rp 180 miliar dan Rp 540 miliar. Angka ini didasari perbandingan harga kapal sejenis di pasaran, yang ketika itu antara Rp 1,8 triliun dan Rp 2,1 triliun.
Kerugian negara yang belum pasti ini akan menyulitkan Kejaksaan. Kendati sudah ada ”amunisi” berupa keputusan KPPU, Mahkamah Agung, dan hasil Panitia Khusus DPR, bukti-bukti itu belum terlalu ampuh untuk dipakai bertarung di pengadilan. Tapi Kemas Yahya pantang surut. ”Yang pasti, kita sudah sepakat ada kerugian negara dalam penjualan tanker itu,” katanya. Angka pasti kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan memang diperlukan. ”Tapi itu bisa sambil jalan,” kata Kemas.
Yang pasti, dari hasil penyelidikan Kejaksaan, Alfred Rohimone selaku Direktur Keuangan Pertamina memegang posisi sentral dalam proses penjualan tanker. ”Dia yang memberikan masukan kepada direksi mengenai cash flow yang negatif,” kata Kemas. Menurut seorang penyidik, akibat sinyal kondisi keuangan Pertamina yang diberikan Alfred itulah lantas diketuk keputusan kilat melego tanker. ”Alasannya demi menyelamatkan keuangan perusahaan,” kata sang jaksa, yang ikut tim penyidik kasus tanker ini.
Alfred, kata sang jaksa, juga terlibat aktif dalam penjualan. Ia mengusulkan kepada direksi agar tanker dijual seperti apa adanya. Ia juga yang berperan dalam menunjuk Goldman Sachs. Ariffi Nawawi, selaku direktur utama, melegitimasi usul perusahaan kepada komisaris. Sedangkan Laksamana ada di ujung proses: mengeluarkan persetujuan akhir. Menurut sumber Tempo, Kejaksaan Agung akan menjaring ketiganya secara bersama-sama karena mereka dianggap bersekongkol menjual tanker. ”Tapi belum jelas berkas kasus mereka akan dipecah atau dijadikan satu,” ujar jaksa sumber Tempo.
Laksamana jelas tidak tinggal diam. Ia tak mau ”terbakar” sendirian. Menurut Laks, keputusannya meng-acc penjualan dua tanker tersebut sudah setahu Menteri Keuangan Boediono dan juga Presiden Megawati. Sebagai bukti, Laks menunjuk terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang pengalihan tugas dan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN. Menurut dia, kewenangan itu menyangkut kedudukannya sebagai wakil pemegang saham di perusahaan milik negara. Ia beranggapan kewenangan itu termasuk hak untuk mengalihkan aktiva jual-beli aset perusahaan negara. ”Sebagai pembantu presiden, peralihan wewenang dilakukan oleh presiden,” kata Laks.
Menurut sumber Tempo, kepada penyidik, Laks meminta Kejaksaan mendatangkan orang-orang penting sebagai saksi. ”Ibu Mega atau siapa pun kalau ada kaitannya bisa dimintai keterangan. Tapi itu tergantung penyidiknya,” kata sumber ini. Boediono, bekas Menteri Keuangan yang kini Menteri Koordinator Perekonomian, tidak tertarik berkomentar atas pernyataan Laksamana yang mengaku telah mendapat izin darinya untuk menjual tanker. ”No comment,” kata Boediono kepada wartawan sesuai salat Jumat di Lapangan Banteng pekan lalu. Bagaimana dengan bekas presiden Megawati? Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung mengatakan pernyataan Laks itu tak berdasar. ”Dia itu cuma mengait-ngaitkan (Megawati).”
Kejaksaan Agung jalan terus. Sebanyak 43 saksi akan didatangkan Kejaksaan untuk mengupas kasus ini. Laks juga diberi kesempatan mendatangkan saksi yang meringankan dirinya. ”Biar dia yang mendatangkan saksinya. Kami tinggal periksa saja,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Panggung teater segera pindah ke ruang-ruang pemeriksaan di Gedung Bundar. Adakah Laksamana masih percaya dia akan tampil sebagai pemenang?
Arif A.K., Dimas Adityo, Gunanto
Lego Tanker di Dok Hyundai
Kapal bongsor very large crude carrier ini belum sekali pun mengambang di perairan Indonesia. Si empunya barang, Pertamina, baru sebatas memesan ke dok perkapalan Hyundai Heavy Industry di Ulsan, Korea Selatan. Menjelang pesanan jadi, perusahaan itu terancam bangkrut. Dua tanker raksasa ini terpaksa dijual.
SI BONGSOR ITU Bobot mati: 260 ribu ton Panjang: 330 meter Lebar: 60 meter Lambung: ganda (double hull), sanggup menahan minyak agar tidak langsung tumpah ke laut jika terjadi kebocoran Fungsi: Mengangkut minyak mentah
BERAGAM VERSI Ada yang menyatakan penjualan kapal itu membuat negara rugi, ada yang menyatakan tidak.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU): Penjualan tanker diwarnai persekongkolan dan negara ditaksir rugi US$ 20-56 juta.
Panitia Khusus DPR: Ada indikasi korupsi. Tanker yang dijual, US$ 184 juta, dinilai masih di bawah harga pasar saat itu, US$ 200-240 juta. Frontline baru membayar US$ 170,8 juta (sisa belum terbayar US$ 13,13 juta).
Kejaksaan Agung: Ada potensi kerugian negara dalam penjualan tanker dan dugaan tindak korupsi.
Laksamana Sukardi: Penjualan sesuai dengan prosedur. Komisaris hanya menyetujui usul direksi. Sisa pembayaran US$ 13,13 juta dari Frontline merupakan kekurangan pembayaran Pertamina ke Hyundai. Negara tidak dirugikan.
BERAKHIR DI GEDUNG BUNDAR
2002 November Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim memesan dua tanker minyak raksasa ke Hyundai Heavy Industry di Ulsan, Korea Selatan, masing-masing US$ 65 juta.
2003 Oktober Dewan Direksi Pertamina memutuskan menjual pesanan dua tanker itu.
2004 15 April Goldman Sachs ditunjuk menjadi penasihat keuangan Pertamina.
Mei Goldman mengundang 42 perusahaan peminat kapal gede, termasuk Frontline asal Swedia. Frontline tak melakukan penawaran langsung, tapi diwakili broker PT Equinox.
Juni Frontline menjadi pemenang tender dengan harga tanker US$ 184 juta.
23 Juli KPPU memeriksa direksi dan komisaris Pertamina.
2005 3 Maret KPPU menyatakan ada persekongkolan dalam penjualan dua tanker, negara rugi US$ 20-56 juta. Pertamina tak puas. Kasus bergulir ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
25 Juli Pengadilan membatalkan putusan KPPU. KPPU mengajukan permohonan kasasi.
2006 29 November 2006 Mahkamah Agung membenarkan KPPU, ada persekongkolan dalam penjualan tanker.
2007 17 Januari 2007 Panitia Khusus DPR turun tangan.
2 Februari 2007 Hasil kerja Pansus DPR diserahkan ke Kejaksaan Agung dan KPK.
16 Maret 2007 Laksamana Sukardi mulai diperiksa.
2 November 2007 Laksamana Sukardi, Ariffi Nawawi, dan Alfred Rohimone menjadi tersangka.
8-9 November 2007 Laksamana, Ariffi, dan Alfred kembali diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung.
Dimas Adityo
TRIO TERSANGKA
Laksamana Sukardi Menteri Negara BUMN sekaligus Komisaris Utama Pertamina Peran: Menyetujui dan mengintervensi penjualan tanker
Ariffi Nawawi Direktur Utama Pertamina Peran: Mengusulkan penjualan tanker ke Dewan Komisaris Pertamina
Alfred H. Rohimone Direktur Keuangan Pertamina Peran: Mengabarkan ke direksi bahwa keuangan perusahaan krisis, sehingga perlu menjual tanker
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo