Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemerintah membuka keran impor tabung gas patut dipuji. Tanpa terobosan yang diambil pekan lalu itu, program konversi energi sektor rumah tangga pasti molor. Padahal program itu akan sangat mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak yang harus dibayar pemerintah. Kita tahu bahwa pemerintah, dalam hal ini Pertamina, menjual bahan bakar di dalam negeri dengan harga lebih rendah ketimbang harga di pasar internasional. Selisih harga yang harus ditutup kantong pemerintah itu makin bengkak, mengingat harga internasional sekarang mendekati US$ 100 per barel.
Harus diakui, secara agregat kenaikan harga internasional itu masih menguntungkan Indonesia. Tapi pos anggaran belanja pemerintah untuk subsidi BBM juga melonjak 63 persen menjadi Rp 90 triliun. Subsidi listrik ikut naik 23 persen menjadi menjadi Rp 40 triliun. Sektor industri kelenger karena harus membeli BBM dengan harga pasar.
Itu sebabnya ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak harus dikurangi. Bukan saja karena alasan harga minyak dunia sulit diramalkan, melainkan juga untuk menghemat cadangan minyak bumi kita yang makin tipis.
Pemerintah sebetulnya sudah memiliki program yang cukup memadai. Di sektor transportasi, biodiesel diperkenalkan meskipun volumenya masih kecil. Di sektor rumah tangga, diprogramkan mengganti minyak tanah dengan elpiji. Pemerintah menyediakan tabung dan kompor gas. Pekan lalu pemerintah mempercepat program konversi energi dari 2012 menjadi 2010 untuk menghemat Rp 20 triliun.
Sampai Februari tahun depan mestinya dibagikan 6 juta kompor dan 10,2 juta tabung gas untuk keluarga miskin. Sayang, program bagus itu tersendat justru karena tidak ada kesamaan sikap di antara pejabat pemerintah. Menteri Perindustrian Fahmi Idris, tentu dengan niat mengangkat pendapatan produsen lokal, berkali-kali menyatakan kebutuhan tabung harus dipenuhi oleh industri dalam negeri. Impor diharamkan.
Ternyata produsen lokal hanya sanggup memasok 5,6 juta tabung meskipun pabrik mereka sudah bekerja 24 jam. Kalau tetap mengandalkan dalam negeri, dengan cara apa pun Pertamina tidak akan bisa membagikan 10,2 juta tabung gas tepat waktu. Karena itu Pertamina mengajukan izin impor agar target konversi energi tahap pertama terlaksana pada Februari 2008. Pemerintah tetap bertahan melarang impor.
Maka, jika dua pekan lalu tiba-tiba di Tanjung Priok aparat Bea dan Cukai menahan dua kontainer impor berisi 7.344 tabung gas berukuran 3 kilogram berlogo Pertamina, kejadian itu mesti dilihat sebagai usaha Pertamina menerobos kemacetan pengadaan tabung. Kegiatan yang dinilai pemerintah ilegal ini besar kemungkinan terjadi karena kebutuhan tabung dalam jumlah besar sangat mendesak. Apalagi pelaku yang disebut-sebut diduga ada kaitannya dengan perusahaan pemenang tender pemasok tabung gas ke Pertamina.
Mestinya impor sembunyi-sembunyi itu tidak perlu dilakukan jika pemerintah tidak keukeuh melarang impor. Tapi syukurlah keputusan berubah. Barangkali harga minyak yang terus meroket membuat pemerintah akhirnya bersikap realistis. Tidak perlu merasa meminggirkan produsen tabung gas lokal karena keputusan ini dilakukan demi kepentingan yang lebih besar.
Program konversi harus jalan, kalau perlu lebih cepat. Subsidi BBM mesti dipangkas sebisanya. Lebih baik anggaran subsidi ini dipakai untuk menolong rakyat papa, misalnya menambah biaya asuransi kesehatan. Kepada si miskin inilah pemerintah harus berpihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo