Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dulu Bankir, <font color=#CC0000>Kini Politikus</font>

Memilih terjun ke dunia politik saat kariernya di dunia perbankan tengah berkilau. Walau dekat dengan Megawati, ia tetap tersingkir.

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA saja Laksamana Sukardi tetap berkarier di bank dan tidak terjun ke politik, bisa jadi jalan hidupnya tak seperti ini. Politik memang mengantarkan Laks, demikian pria 51 tahun ini biasa dipanggil, ke kursi menteri. Tapi jabatan itu pula yang sekarang membuatnya terancam masuk penjara. Sebagai Menteri Negara BUMN yang juga merangkap Komisaris Utama Pertamina, ia dianggap bertanggung jawab atas penjualan dua kapal tanker Pertamina yang kini berbuah masalah itu.

Presiden Megawati yang menunjuk Laksamana sebagai Menteri BUMN. Laks memang dikenal dekat dengan Mega. Di PDIP, Laks pernah memegang jabatan bendahara partai. ”Dia cerdas, selalu berpikir jernih, dan profesional,” ujar mantan Ketua DPP PDIP, Sukowaluyo Mintorahardjo.

Sebelum masuk dunia politik, Laks berprofesi sebagai bankir. Dia memulai kariernya di dunia perbankan dari nol. Lulus jurusan teknik sipil Institut Teknologi Bandung pada 1979, putra Gandi Samudra, seorang wartawan Antara, ini mengikuti program pelatihan Citibank. Dari sini ia ikut lagi executive development program yang diselesaikannya pada 1981. Lulus program ini, Laks pun resmi menjadi bankir muda di Citibank.

Di bank asing ini kariernya langsung meroket. Pada usia 29 tahun, Laks dipercaya memegang jabatan Vice President Bidang Operasional Citibank. Namun jabatan ini tidak lama dipegangnya. Pada 1987 ia mengundurkan diri dari Citibank dan bersama Mochtar Riady, pemilik Bank Umum Asia, membidani lahirnya Lippobank. Di bank ini, Laks menjabat managing director.

Bank rupanya tak selamanya menarik buat Laks. Pada 1993 suami Rethy Aleksanadra Wulur ini terpikat dunia politik. Tahun itu juga ia bergabung dengan PDI pimpinan Megawati. Jabatannya sebagai bendahara umum. Walau mulai sibuk berpolitik, bisa dibilang Laks tak sama sekali berpisah dengan dunia perbankan. Ia lantas mendirikan perusahaan konsultan yang bergerak di bidang perbankan dan keuangan. Selain itu, bersama Rizal Ramli dan Arief Arryman, ia ikut menggagas lahirnya Econit, lembaga independen yang menganalisis masalah ekonomi, industri, perbankan, dan keuangan.

Seperti di bank, di politik pun karier Laksamana melesat. Pada pemilu 1999 ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili PDIP daerah Jawa Barat. Tak lama duduk di parlemen, Presiden Abdurrahman Wahid menunjuk Laksamana sebagai Menteri Negara Investasi dan Pembinaan BUMN. Namun, hanya berjalan setahun, Abdurrahman Wahid memecatnya dengan tuduhan melakukan KKN dalam pengangkatan pejabat BUMN.

Perjalanan Laks di kabinet ternyata tak tamat. Pada 2001, ketika Megawati menjadi presiden, ia kembali diangkat sebagai Menteri Negara BUMN. Pada masa itulah, sejumlah langkah mengejutkan diambilnya. Di antaranya, melakukan privatisasi dan divestasi sejumlah BUMN. Langkah inilah yang ternyata, di kemudian hari, membuahkan berbagai masalah.

Kendati dianggap dekat dengan Megawati, bukan berarti hubungan Laks dengan orang-orang dekat Megawati lainnya juga mulus. Sejumlah gesekan terjadi. Menurut sumber Tempo, gesekan ini terutama terjadi antara dirinya dan Taufiq Kiemas, suami Mega. Laks juga dikritik karena terlalu elitis, emoh dekat dengan kalangan muda PDIP.

Pada 2005, seusai Kongres PDIP ke-2 di Bali, Laks, bersama sejumlah tokoh PDIP lainnya, dipecat dari Partai Banteng. Dia dianggap ikut memotori gerakan pembaruan yang menolak pencalonan kembali Mega sebagai ketua umum partai. Kemelut pun melanda partai ini. ”Dia termasuk orang dekat dan kepercayaan Megawati, tapi langkahnya menggugat partai membuat tidak bisa dimaafkan,” kata Trimedya Pandjaitan, anggota PDIP yang kini menjabat Ketua Komisi Hukum DPR. ”Tindakannya merusak citra partai.”

Pemecatan ini tak lantas membuat Laks terpental dari dunia politik. Bersama Roy B.B Janis, Arifin Panigoro, Sophan Sophiaan, dan sejumlah bekas tokoh PDIP lainnya, pada 1 Desember 2005 ia mendeklarasikan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).

Menurut Sukowaluyo Mintorahardjo yang juga kini bergabung ke PDP, Taufiq Kiemas sangat berperan menyingkirkan Laksamana dari PDIP. ”Tapi Laks tidak sakit hati pada Taufiq, begitu juga pada Megawati. Hanya sekarang dia memang tidak kontak-kontakan lagi dengan Mega,” ujar Sukowaluyo.

PDP yang baru seumur jagung itu ternyata juga bukan rumah yang tenang untuk Laks. Perebutan kekuasaan di internal partai menyebabkan Laks dan tokoh lainnya, 25 Agustus lalu, dipecat dari posisinya sebagai pimpinan kolektif nasional. Tapi, tampaknya, pemecatan itu tidak berdampak apa-apa terhadap Laks. Buktinya, selain tetap menjadi pimpinan kolektif nasional, Kamis pekan lalu, ratusan pendukungnya mengantar Laks menghadap Kejaksaan Agung. Laks seperti ingin membuktikan bahwa dirinya—dan PDP—punya massa.

Sunariah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus