Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBASNYA Adelin Lis merupakan tamparan bagi penegakan hukum di Indonesia dalam perang melawan pembalakan liar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjadikan pemberantasan pembalakan sebagai salah satu prioritas kerjanya, harus mengambil sikap terhadap kasus ini.
Pengadilan Negeri Medan membebaskan Adelin karena menilai dakwaan jaksa tidak terbukti. Adelin, Direktur Utama PT Keang Nam Development Indonesia, didakwa melakukan penebangan hutan di luar wilayah hak pengusahaan hutan miliknya di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Jaksa mendakwa Adelin, yang sempat buron dan tertangkap di Beijing, melanggar Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Jaksa menuntut Adelin 10 tahun penjara dan membayar sekitar Rp 150 miliar.
Majelis hakim memutuskan penebangan yang dilakukan Adelin masih dalam wilayah HPH Keang Nam Development. Jikapun merupakan pelanggaran, hakim—seperti juga pendapat Menteri Kehutanan M.S. Kaban—hanya menganggapnya sebagai pelanggaran administratif dan tidak masuk wilayah pengadilan. Hakim menyatakan unsur korupsi tidak terbukti dalam perkara ini.
Sejak awal kasus ini sarat kontroversi. Salah satunya, sikap Menteri Kehutanan M.S. Kaban yang begitu bersemangat membela Adelin. Selain mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan Adelin hanya kesalahan administratif, Kaban juga mengirim surat ke Kepala Polda Sumatera Utara dan Kepala Polri. Kaban mengingatkan kembali persamaan persepsi tentang pembalakan. Di tengah usaha polisi mengusut kasus ini, tindakan Kaban mudah dianggap sebagai intervensi.
Sangat disesalkan, ternyata konstruksi dakwaan jaksa lemah. Tercium kesan bahwa polisi dan jaksa seperti enggan belajar dari banyak kasus lolosnya pembalak liar di meja hijau. Hampir semua pencoleng kayu yang dijerat dengan Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Antikorupsi divonis tak bersalah karena tidak terbukti atau minimnya barang bukti. Dalam kasus Adelin, salah satu pertimbangan hakim, misalnya, jaksa tidak bisa memperlihatkan video dan foto yang memperlihatkan pencurian kayu dan kerusakan hutan yang didakwakan. Ini kesalahan fatal yang mencurigakan.
Kalau ada niat menghukum pembalak, dan mau belajar dari kasus sebelumnya, polisi dan jaksa akan memakai pasal berlapis-lapis dan menyiapkan segala macam bukti kuat. Mereka harus ”mengunci” hakim hingga tak memiliki seinci celah pun untuk ”meloloskan” Adelin. Jaksa, misalnya, sejak awal bisa memakai Undang-Undang Lingkungan Hidup atau Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemakaian pasal money laundering ini bahkan jauh hari sudah diingatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sungguh mengherankan, polisi dan jaksa seperti cuek saja.
Tak salah kalau ada yang menduga mafia peradilan bermain di sini. Bukan tak mungkin sayap mereka sudah menjangkau ruang-ruang kepolisian juga. Komisi Yudisial wajib memeriksa lima hakim yang memvonis bebas Adelin. Mahkamah Agung dan Kapolri harus pula memeriksa aparatnya.
Jika kesalahan ternyata ada pada lemahnya dakwaan jaksa, langkah Jaksa Agung Hendarman Supandji yang memerintahkan eksaminasi atas kasus Adelin patut disambut baik. Bila kelak terbukti sengaja menyusun ”dakwaan ompong”, semua jaksa yang terlibat perlu dihukum berat. Mereka tak boleh dibiarkan menari-nari di antara hutan kita yang porak-poranda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo