Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#CC0033>Pesan Angkat</font> Sebelum Mangkat

Usaha membentuk Provinsi Tapanuli berujung tragedi. Terganjal tiga fraksi, para penggagasnya menggalang lobi tingkat tinggi. Tokoh Jakarta ikut bermain.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN dari telepon seluler Abdul Aziz Angkat itu seperti firasat. Dikirim ke Wakil Ketua Golkar Sumatera Utara Syahdan Saputra, isi pesannya: ”Jangan biarkan saya sendiri, Bang. Mereka mau datang.” Menurut Syahdan, pesan diki­rim Aziz pada Selasa pagi pekan lalu, sebelum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara itu memimpin sidang pari­purna.

Seribuan orang telah berkumpul di Jalan Imam Bonjol, Medan, di depan gedung Dewan. Mereka menuntut Dewan segera memberikan rekomendasi pembentukan Provinsi Tapanuli. Rekomendasi ini syarat pen­ting agar pembentukan provinsi baru di wilayah selatan Sumatera Utara itu bisa dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan alasan keamanan, pintu gerbang gedung dikunci rapat.

Keputusan soal Tapanuli sebenarnya tak ada dalam agenda. Hanya ada penetapan Akman Daulay sebagai anggota Dewan baru dari Partai Bulan Bintang, menggantikan Fahrijal Dalimunthe, yang terjerat kasus narkotik. Lalu pembahasan soal pengelolaan keuangan daerah serta pengambilan keputusan tentang penyertaan modal Bank Sumut.

Agenda pertama selesai. Aziz menge­tuk palu, membuka agenda berikutnya, pembahasan rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan. Belum lima menit, massa datang bagai bah. Rupanya, para demonstran menjebol pagar luar, lalu menerobos ke ruang sidang. Aziz segera mengetukkan palu, menghentikan sidang. Ia bergegas meninggalkan meja pemimpin sidang. Terdengar makian dan ancaman dari demonstran.

Bersama para Wakil Ketua Dewan, yaitu Hasbullah Hadi, Ali Jabar Napitupulu, dan Japorman Saragih, Aziz bersembunyi di ruang belakang meja pemimpin sidang. Demonstran mengejar dan memaksa mereka kembali memimpin sidang untuk memutuskan rekomendasi pembentukan Provinsi Tapanuli. Aziz menolak. Massa pun murka: mereka melempar gelas dan meng­obrak-abrik ruang sidang.

Dari satu sudut terdengar teriakan: ”Bunuh Aziz!” Yang lain menyahut, ”Jangan dulu bunuh. Suruh teken rekomendasi, baru matikan dia.” Para demonstran mengusung peti mati yang diukir indah dan ditulisi ”Lucu Kali Aziz Angkat”. Belakangan diketahui, barang horor itu disewa Rp 700 ribu dari J.E. Simbolon, penjual peti mati di Jalan Kapten Muslim, Medan. Kepada polisi, Simbolon mengaku belum menerima uang sewa itu.

Polisi mengawal Aziz menuju ruang Fraksi Partai Golkar, partai politikus itu. Gelas, juga kursi, dilempar ke arahnya. Azwir Sofyan, anggota Dewan dari Partai Amanat Nasional, ikut membentengi Aziz. Ia mengaku kena tonjok berkali-kali. ”Bagian belakang tubuh saya berkali-kali kena tinju,” ujarnya.

Situasi semakin kisruh. Aziz pingsan, tubuhnya terkulai. Sejumlah saksi, termasuk Hasbullah Hadi, melihat demonstran sempat menginjak-injak Aziz. Dari hasil pemeriksaan forensik, Aziz terluka memar di hidung, pipi, punggung, dada, dan perut. Jas merek Star yang dipakainya terkoyak dua. Baju, kaus, bahkan celana dalamnya sobek.

Aziz kemudian digotong delapan anggota staf Dewan. Dengan truk peng­angkut personel polisi, ia dilarikan ke Rumah Sakit Gleneagles. Massa tetap­ berusaha menghalangi. Mereka tak percaya politikus 51 tahun itu sakit. ”Ia hanya berpura-pura,” seorang demonstran berteriak. Menurut Kulman Saragih, dokter yang menanganinya, Aziz dalam keadaan kritis ketika sampai di ruang unit perawatan intensif.

Kulman mengatakan Aziz meninggal karena serangan jantung. Tapi Azwir Sofyan mengatakan koleganya itu meninggal tak lama setelah jatuh terkulai, di tengah kepungan massa. ”Beliau meninggal dalam pelukan saya,” katanya.

l l l

USAHA memisahkan Tapanuli dari Sumatera Utara berawal pada masa pe­merintahan Megawati Soekarnoputri.­ Deklarasinya dilakukan pada Kongres­ Masyarakat Tapanuli, 6 April 2002, di Tarutung. Para penggagasnya la­lu membentuk Panitia Pembentuk­an Provinsi Tapanuli, yang dipimpin Chandra Panggabean, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara dari Partai Golkar. Candra adalah anak G.M. Panggabean, pemilik harian Sinar Indonesia Baru, Medan.

Pada 12 Januari 2007, Panitia menggelar hajat kebulatan tekad di Tarutung. Ribuan orang hadir, mewakili 10 kabupaten atau kota yang akan bergabung: Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Nias Selatan, Kota Sibolga, Kabupaten Dairi, Kabupaten Nias, dan Kabupaten Pakpak Bharat.

Lima tahun setelah dideklarasikan, usaha ini tak kunjung membuahkan hasil. Pada 2007, Chandra menggerakkan 7.000-an orang untuk berdemonstrasi di Medan. Aksi ini mampu menekan Wahab Dalimunthe, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara yang digantikan Aziz, dan Gubernur Sumatera Utara Rizal Nurdin. Keduanya meneken rekomendasi pembentukan Provinsi Tapanuli yang sudah disiapkan Chandra. Berkasnya lalu dibawa ke Departemen Dalam Negeri. Rekomendasi ini ditolak karena bukan hasil rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Tim Chandra berusaha melobi Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat. Usaha ini pun gagal karena parlemen juga mengharuskan syarat rekomendasi hasil rapat paripurna dipenuhi. Rekomendasi belum disetujui karena panitia khusus yang dibentuk untuk meneliti soal ini menyimpulkan Provinsi Tapanuli tak memenuhi syarat secara ekonomi dan sumber daya manusia.

Chandra kemudian melobi sana-sini. Ia menggandeng Jenderal Purnawira­wan Luhut Panjaitan, Menteri Perdagangan era Presiden Abdurrahman Wahid, sebagai penasihat. Ia juga menemui T.B. Silalahi, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, tahun lalu. ”Mereka minta nasihat,” kata Silalahi. ”Saya minta semua dilakukan sesuai aturan.”

Luhut mengaku mendukung pembentukan Provinsi Tapanuli demi pemerataan pembangunan. Ia menganggap wilayah itu tak terjangkau kendali pemerintahan Sumatera Utara di Medan. Karena itu, ia heran pembentukan provinsi baru ini tak kunjung disetujui. ”Panitia datang dan mengeluh ke saya, meminta bantuan,” katanya. ”Saya janji membantu.”

Sang Jenderal pun membawa Panitia menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 20 Februari 2007. Bersama­nya ada Chandra Panggabean serta Budiman Nadapdap dan Hasudungan Butar-butar. Mereka meminta Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, melapangkan usaha ini. Kalla menjawab diplomatis, ”Lakukan kajian akademis.”

Di tengah lobi-lobi ini, konstelasi politik di Medan berubah. Keinginan Chandra kembali menjadi anggota Dewan terancam. Partai Golkar Sumatera Utara, yang dipimpin Ali Umri (ketua) dan Aziz Angkat (sekretaris), menempatkannya di urutan bawah dalam daftar calon legislator. Ketika itu, jumlah suara terbanyak sebagai penentu kursi belum diputuskan Mahkamah Konstitusi.

Chandra memutuskan hengkang ke Partai Peduli Rakyat Nasional pimpinan Amelia Yani. Ia menjabat Ketua Badan Pemenangan Pemilu Wilayah Sumatera Utara. Di sini ada pengusaha D.L. Sitorus, yang kini menjalani hukuman dalam kasus pembalakan liar. Sang peng­usaha merupakan penyokong partai ini di Medan, sekaligus pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli.

Golkar langsung memecat Chandra dari keanggotaan Dewan. Pada saat yang sama, Aziz justru naik pangkat. Ia ditunjuk menjadi Ketua Dewan setelah Wahab Dalimunthe dicopot dari jabatan itu oleh Golkar karena menjadi calon legislator dari Partai Demokrat.

Para penggagas Provinsi Tapanuli­ tak henti berusaha melunakkan Dewan. Pada 12 Januari lalu, Luhut terbang ke Medan. Ia mengundang Aziz Angkat makan pagi di Hotel Marriott, tempatnya menginap. ”Saya menanyakan perkembangan situasi di DPRD,” kata Luhut. Aziz menjawab masih ada tiga fraksi besar yang menolak pembentukan Provinsi Tapanuli. ”Sulit sekali mengatasi mereka. Coba Abang bantu lobi bos-bos mereka,” kata Aziz, ditirukan Luhut.

Aziz berjanji menggelar sidang pada 16 Januari. Adapun Luhut menemui tiga pemimpin partai yang menolak di Jakarta. Sayang, Luhut tak bersedia menyebutkan nama partai-partai itu.

Pada hari yang sama, Panitia Musyawarah Dewan menggelar rapat. Mereka memutuskan pembahasan Provinsi Tapanuli dimasukkan ke agenda rapat 27 Januari, dengan sifat tentatif. Ternyata hanya sembilan dari 30 anggota Panitia Musyawarah yang hadir. Pembahasan diundurkan lagi menjadi 3 Februari.

Kelompok pendukung provinsi baru terus menyusun rencana. Pada pertengahan Januari, Chandra Panggabean memimpin rapat panitia di Hotel Grand Antares, Medan. Rapat memutuskan akan menggelar demonstrasi besar-besaran. J.H. Samosir ditunjuk sebagai koordinator. Datumira Simanjuntak, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Citra Setia, dan Burhanudin Rajagukguk menjadi pengarah. Kini, Chandra dan rekan-rekannya telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Parles Sianturi, yang ditahan polisi dengan tuduhan merusak gedung Dewan, mengaku pernah mengikuti rapat yang dipimpin Datumira di Hotel Antares. ”Rapat membahas strategi demonstrasi,” kata jebolan Universitas Sisingamangaraja ini.

Demonstrasi dimulai dengan gerakan mahasiswa berjaket kuning, jaket alma­mater Universitas Sisingamangaraja IX Tapanuli milik G.M. Panggabean. Para mahasiswa digerakkan oleh Gelmok, teman dekat Chandra. Adapun Viktor­ Siahaan, juga kolega Chandra, merekrut demonstran dari sejumlah kampung di Medan.

Perekrutan dilakukan oleh sub-sub­ koordinator. Tambunan, misalnya,­ mendapat order mencari orang untuk demonstrasi dari John Simanjutak, pengemudi angkutan kota. Kepada para peserta demo dijanjikan imbalan Rp 40 ribu per orang. Tambunan berhasil mengumpulkan 50 orang. ”Saya hanya kasih mereka Rp 20 ribu,” katanya di kantor polisi.

l l l

JALAN membentuk Provinsi Tapa­nuli tampaknya semakin berliku. Para pemimpin Dewan Sumatera Utara memutuskan tidak akan membahas soal ini. Mereka justru hendak membentuk panitia khusus guna menyelidiki insiden 3 Februari. ”Kami ingin menjaga keamanan Sumatera Utara menjelang pemilu,” kata Hasbullah Hadi, wakil Ketua Dewan.

Insiden itu juga memakan ”korban” lain: Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Nanan Soekarna dan Kepala Kepolisian Kota Besar Medan Komisaris Besar Aton Suhartono. Mereka dicopot dari jabatan itu Jumat pekan lalu. Menurut Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri, mereka lalai dalam menjalankan tugas sehingga terjadi aksi demonstrasi anarkistis.

Budi Setyarso (Jakarta), Sunudyantoro, Soetana Monang, Sahat Simatupang (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus