Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sahala Sekitar Toba

Masyarakat Tapanuli punya semangat untuk jadi nomor satu. Soal harga diri dan pragmatisme politik.

9 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANDAL jepit, celana pendek, dan baju biru tahanan polisi adalah seragam baru G.M. Chandra Panggabean. Ketua Panitia Provinsi Tapanuli itu sejak Rabu pekan lalu ditahan polisi.

Anak pemilik harian Sinar Indonesia Baru Medan, G.M. Panggabean, ini disangka mendalangi demonstrasi yang berujung pada tewasnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat, sehari sebelumnya. Saat digiring polisi bersama tujuh tersangka lainnya, Chandra meneteskan air mata. Kawan-kawannya memeluk lelaki 42 tahun itu. ”Sabar, ya,” kata mereka menguatkan.

Dua bulan lalu Chandra dielu-elukan peserta perayaan Natal bersama Sumatera Utara di Siborongborong, Tapanuli Utara. Ia adalah ketua panitia peraya­an itu. Biasanya acara serupa digelar di Medan. Tahun lalu untuk pertama kali acara itu diselenggarakan di Siborongborong.

Bagi Chandra, Siborongborong ter­amat­ istimewa. Ia membayangkan tanah­ keluarga besarnya itu bakal menjadi ibu kota Provinsi Tapanuli. Dalam pe­ra­ya­an­ itu semua mata tertuju pada Chandra.­ Banyak yang berujar, Chandra kelak menjadi gubernur pertama ji­ka Tapanuli jadi provinsi. Dua pekan se­belum pera­yaan itu, Chandra memimpin aksi tanam sejuta pohon di sana. Titik pusatnya adalah Desa Silangit, tempat kampus Universitas Sisingamangara­ja XII berdiri. Kampus itu milik G.M. Pang­gabean.

Perlu jalan berkelok bagi Chandra untuk mewujudkan mimpinya. Ia, misalnya, melobi sepuluh pemimpin kabupaten untuk mendukung niatnya. Kesepuluh daerah itu adalah Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Dairi, Pakpak Bharat, Nias, Nias Selatan, dan Kota Sibolga. Jumlah ini merupakan syarat minimal dukungan kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi baru seperti diamanatkan undang-undang. ”Ia memang jago lobi dan rajin,” kata Banuaran Ritonga, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara untuk pembentukan Provinsi Tapanuli.

Soal penetapan Siborongborong sebagai ibu kota provinsi, Chandra pun bermanuver. Mulanya, ia menjanjikan Kota Sibolga bakal menjadi ibu kota—kota di pesisir barat Sumatera yang relatif besar dan memiliki pelabuhan sendiri. Tapi tiba-tiba Candra menyatakan ibu kota provinsi berada di Siborongborong. Kota kecamatan ini bisa ditempuh dengan mobil selama delapan hingga sepuluh jam dari Medan. Menurut Chandra, Siborongborong lebih mudah dijangkau ketimbang daerah lain.

Menurut Panitia Pembentukan Pro­vinsi Tapanuli, Sibolga juga tak ideal sebagai ibu kota karena lahannya paling sempit dibanding banyak kota di Sumatera Utara. Siborongborong dianggap ideal karena tanahnya datar sehingga jika dibangun tak merusak ekosistem. Biar orang tidak kecewa, Chandra menjanjikan Sibolga sebagai pusat perdagangan.

GM Panggabean memiliki tanah luas di Siborongborong. Ia telah pula menyiapkan lahan 160 hektare di sana untuk menjadi kompleks perkantoran, perumahan, serta fasilitas umum dan so­sial. Selain itu, lapangan terbang dengan panjang landasan dua seperempat kilometer telah ada. Lapangan ini dapat didarati Boeing 737. Panitia Provinsi Ta­panuli juga menyiapkan Tapanuli Tengah sebagai kawasan ekonomi khusus.

Sayang, polisi tak mengizinkan Tempo mewawancarai Chandra. Tapi, sebelum ditahan, ia pernah mengatakan Provinsi Tapanuli bukan soal kekuasa­an. Provinsi ini untuk memacu Tapanuli agar tidak tertinggal oleh daerah lain. ”Jadi untuk kesejahteraan rakyat Tapanuli,” katanya.

Belakangan, gara-gara Chandra dianggap ingkar janji, Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah menarik dukungan. Dua daerah ini justru ingin mendirikan Provinsi Tapanuli Barat dengan menggandeng Pakpak Bharat, Dairi, Tapa­nuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, Padang Lawas, Padang Sidempuan, dan Nias. Pada saat yang sama, Nias juga mundur dan ingin berdiri sendiri sebagai provinsi.

Akhir tahun lalu bahkan muncul gagasan membentuk Provinsi Sumatera Tenggara. Pengusulnya lima kabupaten: Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. Jika rencana ini jadi terlaksana, Sumatera Utara tinggal Medan, Binjai, Langkat, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Asahan, Tanjung Balai, dan Labuhan Batu.

Usulan soal Sumatera Tenggara ini telah dimasukkan ke dewan perwakilan provinsi. Ada yang bilang Sumate­ra Teng­g­ara segera dibahas Dewan untuk meng­ganjal Tapanuli. Tapi ini di­bantah­ Banuaran. ”Sumatera Tenggara­ datang dengan ulos, Tapanuli tidak,” katanya. Ma­ksudnya, tak seperti Tapanuli yang memperjuangkan dengan ”keras”, Suma­tera Tenggara datang dengan baik-baik.

Gagasan membentuk provinsi baru pecahan Sumatera Utara telah mencuat sejak hampir 52 tahun lalu. Ini lahir dari pemikiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, A.N.P. Situmorang. Ia mengusulkan agar Sumatera Utara dibagi tiga. Ia belum menyebut apa nama yang tepat untuk tiga provinsi itu. Tapi pembagiannya adalah provinsi untuk Tapanuli Selatan, La­buh­an Batu, dan Asahan dengan ibu kota Labuhan Batu. Kedua, provinsi untuk Nias, Tapanuli Tengah, Tapanu­li Utara, dan Simalungun dengan ibu kota Sibolga atau Siantar. Ketiga, Deli Serdang, Karo, Langkat, dan Medan dengan ibu kota Medan.

Gagasan membentuk provinsi baru, terpisah dari Sumatera Utara, ini menurut guru besar antropologi Universitas Sumatera Utara dan Universitas Negeri Medan, Usman Pelly, lebih akibat kesenjangan ekonomi dan sosial.

Tapi, khusus Tapanuli, kata doktor dari University of Illinois, Amerika Serikat, ini, ada soal lain: masyarakat Tapanuli memiliki semangat untuk menjadi orang nomor satu di kalangan orang Batak. Ini sebagai konsekuensi untuk mendapatkan sahala, kehormatan.

Pada zaman Belanda, Tapanuli, yang ber­penduduk Kristen, dijadikan zona pe­nyangga bagi dua pusat Islam terkuat di Sumatera: Minangka­bau di selatannya dan Aceh di utara. Membentuk provinsi baru, kata Usman, bukan solusi terbaik. Yang lebih penting, Tapanuli di­perhatikan. ”Pe­merintah dan kelompok etnis lain perlu lebih sensitif soal pembagian kue ekonomi dan politik,” katanya.

Sunudyantoro, Soetana Monang, dan Sahat Simatupang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus