Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI depan rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Polri pekan lalu, eloknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak melempar rumor "ABS". Teka-teki "calon presiden asal bukan S" yang dilempar dari Istana Negara itu menimbulkan polemik yang tidak produktif.
Kita percaya bahwa benar ada informasi tentang petinggi TNI yang getol menyuarakan "asal bukan calon presiden S". Mungkin Presiden juga percaya bahwa "S" adalah dirinya. Pernyataan berikutnya mendukung yang pertama; menurut Presiden ada petinggi Polri yang diisukan membentuk tim sukses untuk calon presiden tertentu. Presiden mengaku tak mempercayai rumor tersebut, tapi disayangkan rumor telanjur diucapkan dalam pertemuan yang jarang itu.
Jika ia ingin bicara tentang netralitas TNI dan Polri, akan lebih elegan bila ia justru menyatakan tak akan memanfaatkan TNI dan Polri untuk mendukung Partai Demokrat dan pencalonannya sebagai presiden pada pemilu tahun ini. Ia bisa secara terbuka menyatakan tak akan menggerakkan tentara dan polisi demi kepentingannya, sembari meminta TNI setia pada prinsip netral yang telah dipegang kukuh. Publik tentu akan menyambut dengan bungah pernyataan Presiden itu.
Menghadapi manuver politik "ABS" itu, sebenarnya dengan mudah Presiden bisa memanggil Panglima TNI dan Kepala Polri. Presiden sebagai panglima tertinggi bahkan berwenang memberikan sanksi kepada anggota TNI dan Polri yang tak netral. Persoalan netralitas aparat negara itu dengan demikian bisa diselesaikan secara internal, bukan dengan melempar desas-desus kepada publik.
Juru bicara presiden, Andi Mallarangeng, memang menyebutkan pernyataan Presiden itu didasarkan pada pengalaman buruk Yudhoyono saat berlaga pada Pemilu 2004. Saat itu ada anggota TNI aktif yang mengerahkan anak buahnya agar tak memilih Yudhoyono. Kini kantor kepresidenan menerima pesan pendek bernada sama. Jelas tak ada gunanya menelan mentah-mentah pesan pendek dan kemudian mengangkatnya sebagai isu publik. Kontroversi "ABS" justru telah menyerang balik Yudhoyono.
Netralitas TNI dalam politik sudah sangat jelas. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 secara gamblang menyebutkan jati diri TNI. Disebutkan bahwa tentara profesional adalah tentara yang terlatih, terdidik, tidak berpolitik praktis, dan tidak berbisnis. Jadi sudah sangat terang bahwa politik TNI adalah politik negara. TNI dan Polri bukan partisan.
Kesadaran untuk tak berpihak pada calon presiden dan partai tertentu sudah ditunjukkan TNI sejak reformasi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Secara serius lembaga ini terus membenahi diri. Mereka telah menerima pembatasan hak-hak politiknya.
Adalah Yudhoyono yang merancang konsep netralitas TNI itu. Tak sepatutnya kini ia malah gamang terhadap konsep yang telah ia tuangkan sendiri. Tak pula ada gunanya jika pernyataannya itu dimaksudkan untuk sekadar menguji sikap pimpinan TNI terhadap netralitas yang telah digariskan.
Rumor itu juga menimbulkan suasana tak nyaman di kalangan tentara dan polisi. Beberapa mantan pemimpin TNI berkumpul dan mendiskusikan soal yang seharusnya sudah tak perlu dibahas lagi itu. Diharapkan lain kali Presiden lebih mempertimbangkan banyak aspek sebelum melempar pernyataan, apalagi yang dasarnya hanya pesan pendek yang ia terima.
Lebih baik Presiden memilih berkata-kata jelas dalam soal netralitas TNI dan Polri ini ketimbang terpancing oleh rumor tak produktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo