Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT bulan mendekam di penjara tak membuat Antasari Azhar berubah. Rambut dan kumis tebalnya tetap terpelihara rapi. Kamis pekan lalu, dari dalam sel tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berukuran 2 x 3 meter, ia menebar senyum kepada puluhan wartawan, fotografer, dan juru kamera televisi yang berebut mendekatinya. ”Kamu sekarang tambah gemuk,” ujarnya menunjuk seorang wartawan yang dikenalnya. Asap rokok tak henti-henti mengepul dari bibir Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini nonaktif itu.
Inilah persidangan pertama Antasari. Bersama tiga tersangka lainnya, Komisaris Besar Wiliardi Wizar, Sigid Haryo Wibisono, dan Jerry Hermawan Lo, ia didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen Iskandar, pada 14 Maret silam. Pria 42 tahun ini tewas dengan dua peluru bersarang di kepalanya.
Sekitar lima ratus polisi dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kepolisian Resor Jakarta Selatan, dan Kepolisian Sektor Pasar Minggu diterjunkan menjaga persidangan ini. Pengawalan paling ketat terjadi dalam sidang Wiliardi. Sekitar 20 polisi membuat pagar betis di depan ruang sidang bekas Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan ini. ”Kami diperintahkan berdiri di sini,” ujar seorang polisi dari Polres Jakarta Selatan.
Kendati hampir setiap hari menjenguk suaminya di tahanan, Ida Laksmiwati, istri Antasari, memilih tak datang ke pengadilan. Bersama dua putrinya, ia menonton sidang suaminya dari layar televisi di rumahnya, kompleks Giri Loka, Bumi Serpong Damai, Tangerang. Di rumah itu, tinggal pula beberapa kerabatnya dan beberapa pengawal Antasari. ”Dia sudah tahu isinya,” kata Juniver Girsang, koordinator pengacara Antasari.
Dakwaan itu hanya ”setebal” enam halaman. Di sana jaksa mendakwa Antasari, 56 tahun, bersama Wiliardi dan Sigid melakukan persekongkolan merencanakan pembunuhan Nasrudin.
Menurut Cirus Sinaga, koordinator jaksa yang membacakan dakwaan tersebut, rencana pembunuhan berawal dari teror yang dilakukan Nasrudin kepada Antasari. Nasrudin memiliki ”amunisi” meneror Antasari lantaran istri sirinya, Rhani Juliani, mengalami pelecehan seksual oleh Antasari pada Mei 2008. Saat itu Rhani menemui Antasari untuk menawari Antasari kembali menjadi anggota Modern Golf, Tangerang. Dengan terperinci ia menggambarkan adegan yang terjadi di Kamar 803 Hotel Gran Mahakam di kawasan Jakarta Selatan tersebut. ”Kemudian terdakwa membuka kancing dan ritssluiting celananya, lalu...,” demikian salah satu bagian dakwaan yang dibacakan dalam sidang.
Antasari, menurut jaksa, sudah melaporkan teror ini kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, dan Kapolri lalu membentuk tim yang diketuai Chaerul Anwar untuk menyelidiki laporan Antasari. Antasari juga sudah meminta penyelidik KPK, Budi Ibrahim, menyadap telepon Nasrudin dan Rhani. Belakangan Budi meminta penyadapan itu lebih baik dihentikan karena tidak ada indikasi kasus korupsi dan hanya membuang-buang waktu dan biaya.
Adapun tim Chaerul sudah mengambil foto-foto Nasrudin serta sempat menggerebek Rhani dan Nasrudin di sebuah hotel di Kendari. Tapi tim ini kemudian melepas keduanya karena tidak ditemukan tindak pidana dan keduanya bisa menunjukkan surat nikah. Dalam kesaksiannya kepada polisi—Tempo memperoleh dokumen kesaksian itu—Rhani menyebut Nasrudin tahu bahwa Antasari ada di balik itu semua. ”Dia sangat marah,” kata Rhani.
Tidak puas dengan hasil kerja tim Chaerul, Antasari lantas meminta tolong Sigid menghabisi Nasrudin. Sigid mengontak Wiliardi, dan ketiganya bertemu di rumah Sigid di Jalan Pati Unus 35, Jakarta Selatan. Di sinilah Antasari menyerahkan foto dan foto BMW yang dipakai Nasrudin kepada Wiliardi.
Rencana pembunuhan itu disusun. Wiliardi, yang dijanjikan Antasari akan diupayakan mendapat jabatan di Badan Reserse Markas Besar Polri, bertugas mencari para eksekutor. Lewat Jerry Hermawan Lo, Wiliardi dipertemukan dengan Eduardus Noe Ndopo (Edo). Edo lantas mengontak Hendrikus, yang kemudian merekrut Fransiskus Tadon Kerans (Amsi), Heri Santosa, dan Daniel. Ketiga orang itulah yang turun ke lapangan, setelah berlatih menembak di sebuah gudang kosong di daerah Batu Ceper, Tangerang. Dengan mengendarai Avanza sewaan dan sepeda motor Yamaha, mereka memepet BMW silver Nasrudin di Jalan Hartono Raya, Modernland, Tangerang, dan memuntahkan dua butir peluru ke pelipis kiri Nasrudin.
Untuk operasi ini semua, Sigid ditunjuk sebagai penyedia dana. Dana Rp 500 juta itu diambil sendiri oleh Wiliardi di kantor Pers Indonesia Merdeka, kantor Sigid, di Jalan Kerinci 63, Jakarta Selatan. Menurut jaksa, sebelum menyerahkan duit itu, Sigid menelepon Antasari, seraya menyatakan duit itu sebagai pinjaman dan wajib dikembalikan. Antasari, kata Cirus, menjawab, ”Nanti dicarikan gantinya.” Dengan bukti-bukti itulah jaksa menyatakan Antasari melakukan pembunuhan berencana, melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang ancaman hukuman maksimalnya adalah hukuman mati.
Ketika hakim menanyakan kepada Antasari apakah dia mengerti dakwaan itu, Antasari menjawab cepat, ”Saya tidak mengerti, sangat belum mengerti.” Menurut Antasari, dakwaan itu tidak jelas. ”Siapa yang membujuk dan siapa yang dibujuk,” ujarnya. Antasari juga menyanggah ucapan ketua majelis hakim Herri Swantoro yang menyebut ia mantan jaksa. ”Saya ini masih jaksa. Enam tahun lagi saya baru pensiun!”
Jawaban Antasari ini, yang menyatakan tak tahu isi dakwaan, membuat berang Cirus. ”Terdakwa mantan jaksa, mantan Ketua KPK, bagaimana bisa tidak paham dengan dakwaan yang sudah jelas,” kata Cirus. ”Dia hanya berpura-pura,” teriak Cirus.
Kepada Tempo, Cirus menegaskan dakwaan itu juga menunjuk Antasari otak pembunuhan tersebut. ”Walau dia lebih senior dari saya, saya tidak takut,” kata Cirus.
Di MATA tim pengacara Antasari, dakwaan itu penuh celah, bolong-bolong. ”Sangat vulgar, ini pembunuhan karakter,” kata Maqdir Ismail, pengacara Antasari lainnya. Jaksa, ujarnya, gegabah membuat dakwaan hanya berdasarkan pengakuan Rhani. ”Jadi, bagaimana bisa dipercaya?” katanya.
Menurut Mohamad Assegaf, juga pengacara Antasari, cerita mesum ini dimunculkan agar seolah-olah ada motif dendam dalam kasus ini. Motif, ujar Assegaf, unsur yang harus ada dalam dakwaan pembunuhan berencana.
Antasari, yang berpengalaman sebagai jaksa lebih dari 25 tahun, sebenarnya sudah membentengi soal balas dendam ini—motif yang bisa melemparnya ke penjara. Pada 6 Mei silam, saat penyelidiknya menanyakan apakah dia merasa difitnah dengan isu pelecehan yang dibuat Nasrudin, Antasari menyatakan, setelah ia bertemu dengan Nasrudin dan mengklarifikasi perihal pelecehan terhadap Rhani, dia tidak pernah terganggu.
Antasari menegaskan, sejak adanya tim Chaerul yang tugasnya selesai pada akhir Januari 2009, dirinya juga sudah merasa aman. Antasari juga ”memotong” hubungannya dengan Sigid dan Wiliardi. Ia menyatakan tak pernah meminjam uang Rp 500 juta kepada Sigid dan memberikan foto Nasrudin kepada Wiliardi.
Juniver Girsang memiliki senjata ampuh lainnya untuk memangkas tuduhan Antasari terlibat pembantaian Nasrudin. Antasari, kata Juniver, tak pernah berhubungan dengan para eksekutor, seperti Edo, Hendrikus, dan Fransiskus, yang kini diadili di Pengadilan Negeri Tangerang. Kepada polisi, Edo mengaku ia memang hanya berhubungan dengan Wiliardi. Surat dakwaan kepada para eksekutor itu juga tak menyinggung sama sekali nama Antasari. ”Jadi dakwaan terhadap Antasari ini sebenarnya dipaksakan,” kata Juniver.
Jaksa Cirus Sinaga yakin, Antasari terlibat kasus pembunuhan ini. ”Apa pun dalihnya, kami punya buktinya,” katanya. Menurut sumber Tempo di kejaksaan, pembuatan berkas dakwaan Antasari memang alot. Sedikitnya empat kali tim jaksa ”kasus pembunuhan Nasrudin”—terdiri atas 27 jaksa dari Jakarta, Tangerang, dan Bogor—mengembalikan berkas Antasari ke polisi untuk dilengkapi. Menurut sumber ini, pelecehan seksual yang dilakukan Antasari jauh lebih menyeramkan ketimbang yang dibacakan jaksa itu. ”Tapi Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak setuju, lantas dicoret.”
Sumber Tempo juga menyebut, selain Rhani, saksi ahli rekaman CCTV di rumah Sigid yang ”menangkap” pertemuan Antasari, Sigid, dan Wiliardi, jaksa juga akan mengeluarkan bukti percakapan Sigid dan Antasari pada 9 Februari 2009. Dalam percakapan yang direkam Sigid dengan alat perekam sebesar korek api yang ditaruh di bawah meja, Antasari mengeluh perihal sulitnya menghabisi Nero—sebutan Antasari untuk Nasrudin.
Kejaksaan juga akan mengandalkan pengakuan Sigid perihal keterlibatan Antasari. Dalam pemeriksaan pada 29 April 2009, misalnya, pengusaha ini menyebut inisiatif menghabisi Nasrudin itu berasal dari Antasari. ”Yang memiliki kepentingan menghilangkan nyawa Nasrudin adalah Antasari, karena keluarganya merasa diganggu,” kata Sigid. Hal ini dia sampaikan saat penyelidik menanyakan siapa yang memiliki kepentingan menghilangkan nyawa Nasrudin.
Cirus tak mau berkomentar soal bukti yang bakal dikeluarkan timnya. Adapun soal dakwaan yang direvisi, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Didiek Darmanto, mengakuinya. ”Yang jelas, kami sudah membuat dakwaan yang runtut dan lengkap,” katanya.
Bagi pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, dakwaan terhadap Antasari ini jauh dari lengkap. Menurut Rudy, seharusnya dakwaan itu memasukkan semua fakta dan bukti untuk membuktikan unsur-unsur yang disangkakan.
Rudy juga merasa heran dengan dakwaan yang hanya enam lembar. ”Dari pengalaman saya, untuk kasus penipuan saja setidaknya butuh sampai 15 halaman,” katanya. ”Karena unsur perbuatannya harus diuraikan dengan jelas.
Menurut Rudy, dakwaan terhadap empat terdakwa Kamis pekan lalu itu semestinya disatukan dalam satu berkas agar memudahkan pembuktian ada hubungan di antara mereka. ”Pemisahan berkas itu membawa peluang terjadinya penghilangan keterangan di antara mereka,” kata Rudy.
Ia juga menyoroti ”keberanian” jaksa yang mendakwa Antasari hanya dengan pasal 340, tanpa dilapisi pasal apa pun. Menurut Rudy, jika satu unsur saja yang disyaratkan pasal itu tak terbukti, Antasari akan bebas. Jika unsur permufakatan jahatnya, misalnya, tidak terbukti, ujar Rudy, dakwaan Antasari melakukan pembunuhan berencana otomatis gugur. ”Ini pasal berisiko,” katanya.
Bisa jadi, lantaran kualitas dakwaannya seperti itu, Antasari—bekas Direktur Penuntutan Pidana Umum Kejaksaan Agung—pekan lalu tampil percaya diri, banyak menebar senyum.
L.R. Baskoro, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo