Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN sulap, bukan pula sihir, tapi mendadak sepotong ayat raib dari Undang-Undang Kesehatan yang bulan lalu disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Bisa jadi ini menggelikan, aneh, dan mungkin tak terjadi di negara yang sistem hukumnya sudah mapan. Peristiwa memalukan itu menunjukkan betapa berani para penyeleweng beraksi—entah untuk melayani kepentingan siapa.
Yang lenyap misterius adalah ayat 2 pasal 113. Bunyinya: Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya. Ayat ini diduga rontok dalam perjalanan dari Sekretariat Dewan di Senayan menuju Sekretariat Negara. Ini tahap administratif sebelum undang-undang diteken oleh Presiden, kemudian diberi nomor dan masuk lembaran negara.
Sejak masih berstatus rancangan undang-undang, ayat itu telah memicu kontroversi berkepanjangan. Para ahli kesehatan masyarakat berada di barisan pro. Tapi suara kontra juga tak sedikit. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Temanggung, Jawa Tengah, misalnya, mengajukan keberatan atas ayat yang dianggap mengancam kelangsungan petani tembakau di daerahnya itu.
Rokok memang bisa menyebabkan kecanduan. Tapi mencantumkan status ini pada undang-undang bakal mengundang konsekuensi sangat berat. Peta industri rokok, periklanan, dan media bisa berubah. Dunia hiburan dan olahraga juga banyak ditopang industri rokok. Selama ini belanja iklan industri rokok yang besar menghidupi industri iklan dan media. Pada 2006, biro riset AC Nielsen menyebutkan industri rokok membelanjakan iklan senilai Rp 1,6 triliun—hanya 19 persen lebih kecil dari belanja iklan industri telekomunikasi.
Sebetulnya larangan mengiklankan produk adiktif sudah diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Namun ketentuan ini dianggap angin lalu lantaran tidak spesifik memasukkan rokok ke kategori adiktif. Namun, begitu Undang-Undang Kesehatan pada 2009 resmi menegaskan status adiktif itu, senjakala iklan rokok sudah terbayang.
Upaya menegaskan status dan membatasi iklan rokok pun sudah digelar. Sejak 2003, ratusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan draf Rancangan Undang-Undang Pengendalian Produk Tembakau. Tapi resistansi atas upaya ini begitu kuat dan hingga kini rancangan tersebut masih terkatung-katung.
Dalam situasi seperti itu, munculnya ayat penegas status adiktif di Undang-Undang Kesehatan 2009 bisa dibilang sebagai langkah maju. Melalui status ini para aktivis pengendalian tembakau bisa lebih punya alasan mendesakkan pembatasan iklan rokok.
Toh jalan masih panjang. Klausul rokok sebagai zat adiktif dalam UU Kesehatan 2009 raib sebelum diteken Presiden. Tak mungkin ini hanya salah ketik atau kesalahan administratif. Pihak yang merasa tak suka dengan munculnya ayat itu bisa datang dari kalangan industri rokok, biro iklan dan media, juga pemerintah yang selama ini mengandalkan pajak rokok.
Kasus ini harus diusut tuntas. Siapa pun yang terlibat wajib dikenai tindakan hukum. Menyunat sepenggal ayat adalah tindakan yang melecehkan sistem hukum nasional. Kredibilitas produk legislasi secara keseluruhan menjadi taruhannya.
Selain langkah hukum, ayat yang raib itu mesti dikembalikan ke tempat semula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo