Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pencinta teori konspirasi tentu akan tertawa-tawa menyaksikan apa yang Rabu pekan lalu terjadi di Markas Besar Kepolisian, Jakarta. Segalanya berjalan menurut perkiraan: polisi tidak akan mencelakakan polisi. Dan badan pengawasan di dalam tubuh kepolisian yang ditugasi memeriksa Komisaris Jenderal Susno Duadji itu pun tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali: tak ditemukan pelanggaran kode etik, profesi, dan pidana pada sosok Kepala Badan Reserse Kriminal itu.
Semua langkah dan jurus sepertinya telah dikerahkan untuk mendukung kesimpulan itu. Jenderal ini hanya diperiksa atas dugaan intervensi dalam pemeriksaan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi dan dugaan suap dalam penarikan dana Budi Sampoerna di Bank Century. Inspektorat Pengawasan tidak—atau belum—memeriksa Susno dalam kasus pertemuannya dengan Anggoro Widjojo pada 10 Juli 2009 di Singapura.
Pertemuan ini mencurigakan karena tiga hari sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Direktur Utama PT Masaro itu sebagai buron dalam kasus korupsi. Untuk itu pimpinan Komisi telah mengirim surat tentang penetapan buron itu ke kepolisian. Pertemuan pejabat tinggi polisi dengan seorang buron tersangka korupsi jelas melanggar aturan. Seorang warga negara biasa saja yang menemui buron dan tidak melapor ke penegak hukum pasti dituduh ikut menyembunyikan sang buron.
Pertikaian kepolisian lawan Komisi Pemberantasan Korupsi telah memasuki tahap yang memprihatinkan. Namun lebih memprihatinkan lagi bila kita menangkap logika di balik sikap Presiden yang beranggapan bahwa kasus Susno ini bagian dari persoalan internal kepolisian semata. Inilah sikap yang menunjukkan Presiden Yudhoyono seolah-olah berkeyakinan: terpilihnya tiga pemimpin sementara KPK—Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Achmad Santosa—merupakan solusi final atas konflik dua lembaga negara yang seharusnya bahu-membahu memerangi korupsi itu. Begitu Presiden berhasil menggenapi jumlah pimpinan Komisi—dari dua jadi lima orang—seakan otomatis berakhir pula pertikaian yang melelahkan itu. Tiga pemimpin Komisi berstatus tersangka (semuanya nonaktif), bahkan perkara Antasari Azhar telah disidangkan pekan lalu.
Sayang sekali, pemberdayaan komisi antikorupsi rupanya tidak masuk daftar sasaran kerja Presiden. Padahal lembaga yang sepanjang 2009 ini berhasil mengembalikan uang negara hampir Rp 5 triliun ini membutuhkan dukungan penuh Presiden—kalau ia masih berketetapan hati memberantas korupsi.
Patut diingat, perihal jumlah pimpinan Komisi bukan merupakan akar masalah kasus yang dikenal dengan sebutan buaya versus cicak ini. Akar masalah adalah serangan terhadap kerja Komisi, sedangkan isu jumlah pimpinan Komisi hanya akibat dari serangan itu. Konflik ini berangkat dari sangkaan kepolisian terhadap pimpinan Komisi, Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, bahwa keduanya telah menyalahgunakan wewenang dalam menetapkan dan mencabut larangan bepergian ke luar negeri.
Kini Inspektorat Pengawasan masih mempunyai tunggakan pekerjaan rumah. Presiden telah menyatakan masalah Susno itu urusan internal kepolisian. Tapi inspektorat ini mesti kembali memeriksa Susno atas dugaan penyalahgunaan wewenang lantaran ia telah menemui Anggoro di Singapura. Kalau menemui buron di luar negeri dianggap bukan pelanggaran, kita sudah sulit untuk berkata-kata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo