Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELEGRAM itu dikirim Duta Besar Marshall Green di Jakarta kepada Asisten Menteri Luar Negeri Bill Bundy di Washington. Dikirim melalui roger channel—saluran khusus penghubung asisten menteri bidang intelijen dengan para kepala diplomatik negara itu—pada 2 Desember 1965, Green melaporkan figur yang dianggap penting bagi misi mereka di Indonesia: Menteri Perdagangan Adam Malik.
Adam, ketika itu 48 tahun, dinilai sebagai tokoh di belakang layar Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh (Kap-Gestapu). Gerakan ini dilakukan masyarakat luas, tapi direkayasa militer untuk memburu orang-orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia. ”Melihat hasilnya, saya harus mengatakan program ini sangat berhasil,” kata Green dalam telegram itu.
Pak Menteri bukan pemimpin Kesatuan Aksi, tapi ia merupakan tokoh kunci dan promotor gerakan. Dia juga disebut sebagai tokoh pencari dana. Green menulis di awal telegram: ”Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan Rp 50 juta untuk Malik, sesuai dengan permintaannya, buat membiayai gerakan Kap-Gestapu.” Tanpa bantuan Amerika, Green menulis, Kap-Gestapu pasti akan terus berlanjut. ”Tapi di sisi lain, tak bisa dibantah, mereka sangat butuh duit.”
Agak sulit menentukan nilai Rp 50 juta ketika itu. Pada 11 September 1965, Bank Indonesia menetapkan kurs rupiah pada angka Rp 30 per dolar AS. Artinya, uang yang digelontorkan lewat Adam bernilai US$ 1,7 juta. Namun, kurs rupiah anjlok setelah Gerakan 30 September 1965. Pada 13 Desember 1965, nilai rupiah menjadi Rp 30 ribu per dolar AS. Pada 21 Desember 1965, pemerintah melakukan pemotongan uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Mulai 14 Januari 1966, nilai tukar rupiah dipatok pada Rp 45 per dolar AS.
Bantuan dana itu diberikan agar Adam berpikir bahwa Amerika setuju dengan peran yang dimainkannya dalam setiap aksi anti-PKI. Dengan duit di tangan, Adam juga dianggap bisa merapatkan hubungannya dengan militer. Menurut Green, kemungkinan terciumnya keterlibatan Amerika dalam misi ini sangat kecil. ”Sebagaimana operasi ’tas hitam’ yang selalu kita lakukan,” ia menulis. ”Tas hitam” adalah kata sandi untuk misi rahasia Amerika pada zaman itu.
Dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, membuka dokumen rahasia ini sejak Agustus 2001. Sempat ditutup menjelang kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Washington, dokumen itu kini bisa diunduh di situs Internet Departemen Luar Negeri Amerika. Penerbit Hasta Mitra bahkan telah mengunduh lengkap 374 dokumen itu dan menerbitkannya dalam buku berjudul Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965 pada 2002.
Tim Weiner, wartawan senior The New York Times, memakai dokumen itu untuk mengungkapkan keterlibatan CIA dalam operasi penghancuran Partai Komunis Indonesia yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Soekarno pada 1965. Versi bahasa Inggris, buku berjudul Legacy of Ashes, The History of CIA ini terbit tahun lalu. Isinya mengungkap sisi-sisi gelap operasi rahasia CIA. Buku ini membuat heboh Tanah Air setelah terbit dalam edisi bahasa Indonesia, bulan ini.
Untuk menyusun bagian operasi di Indonesia, Weiner mewawancarai Clyde McAvoy, mantan diplomat yang bertugas di Kedutaan Amerika di Jakarta pada 1961-1966. Menurut Weiner, sang diplomat bertemu dengan Adam di sebuah tempat rahasia dan aman. McAvoy pernah bertugas di Tokyo dan membantu merekrut seorang agen yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri Jepang. Ia bertugas ke Indonesia dengan misi penyusupan ke Partai Komunis Indonesia dan pemerintahan Soekarno.
”Saya merekrut dan mengendalikan Adam Malik,” McAvoy mengatakan kepada Weiner pada 2005. ”Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut.” Perekrutan ini dibantu oleh seorang pengusaha bekas anggota Partai Komunis Jepang, yang tinggal di Jakarta. Setelah perekrutan Adam ini, CIA meningkatkan operasinya. Ketika kemudian Soekarno jatuh, CIA terlibat dalam pembentukan triumvirat yang terdiri atas Adam Malik, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Mayor Jenderal Soeharto, ketika itu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Tiga serangkai ini pula yang membidani kelahiran Kap-Gestapu, gerakan yang membunuh sedikitnya 500 ribu orang yang dituding mendukung PKI di seluruh Indonesia.
McAvoy kepada Weiner mengaku bertemu dengan Adam sebelum pembentukan Kap-Gestapu. Ia memberikan 14 unit walkie-talkie di kedutaan kepada Soeharto, yang sekaligus dijadikan alat memonitor gerakan sang jenderal. Pada pertengahan Oktober 1965, Adam mengirim utusan ke rumah perwira politik kedutaan, Bob Martens. Adam mengenal perwira ini ketika menjadi duta besar di Moskow. Kepada utusan Adam, Martens menyerahkan daftar berisi 67 pemimpin Partai Komunis Indonesia. ”Sama sekali bukan daftar orang yang akan dibunuh,” kata sang diplomat.
Hubungan Adam dengan Washington tetap baik ketika Soeharto yang kemudian berkuasa menunjuknya menjadi Menteri Luar Negeri. Ia diundang berbincang-bincang selama 20 menit dengan Presiden Lyndon B. Johnson di Ruang Oval Gedung Putih. Dengan dukungan Amerika, Adam kemudian terpilih menjadi ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam dokumen lain yang tak dimasukkan ke buku Weiner, terdapat arsip notulan rapat para pejabat tinggi Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Dewan Keamanan Nasional, dan asisten khusus presiden. Dalam memorandum Wakil Presiden Humphrey kepada Presiden Johnson, 25 September 1966, disebutkan ia baru saja bertemu dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik di Sheraton Ritz Hotel, Minneapolis, Amerika.
Dalam pembicaraan tentang bantuan yang dibutuhkan Indonesia itu, Adam menyampaikan pesan Soeharto bahwa kehadiran Amerika di Vietnam berakibat langsung atas terjadinya perubahan di Indonesia. Pernyataan ini merupakan ”hadiah” Jakarta untuk Johnson, yang ketika itu terus dikritik karena kegagalan perang di Vietnam. Kepada Tempo, Weiner mengatakan, semua bukti itu menunjukkan bahwa Adam Malik bekerja sebagai agen untuk Amerika Serikat pada 1965-1966.
LAHIR pada 22 Juli 1917 di Pematangsiantar, Sumatera Utara, dari keluarga besar, Adam tumbuh dalam kehidupan penuh warna. Ia memimpin organisasi sopir di kampungnya ketika belum bisa menyetir. Tamat HIS (setingkat sekolah dasar), ia berhenti sekolah untuk bisa bergaul dengan teman-temannya. Sang ayah mengirimnya ke Madrasah Thawalib Parabek, Bukittinggi, pada 1930. Madrasah ini adalah pendidikan formal terakhir bagi anak ketiga dari 10 bersaudara ini.
Menurut putra pertamanya, Otto Malik, Adam sangat mengagumi Soekarno dan Tan Malaka, pendiri Partai Murba. Ia mendapatkan buku-buku Tan yang diselundupkan dari Singapura lewat kelompok pergerakan di Pematangsiantar. Adam juga memburu buku Tan dari Partai Republik Indonesia (Pari), yang didirikan Tan pada Juni 1927. Pada akhirnya, ia ikut memimpin Murba yang didirikan sang tokoh idola. Murba yang menganut sosialis-demokrat-nasionalis berseberangan dengan ideologi Partai Komunis Indonesia.
Adam yang dikenal dengan sebutan ”Bung Kancil” mengenal Bung Karno sejak persiapan Proklamasi 1945. Adam bergabung dengan kelompok Komite Van Aksi Menteng 31 bersama antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, Nitimihardjo, dan Pandu Kartawiguna. Kelompok ini menyebarluaskan Proklamasi 17 Agustus 1945, berdaulatnya Republik Indonesia, dan kekalahan Jepang.
Pada 1959, Soekarno mengangkat Adam menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kurang dari setahun, Presiden mengirim Adam ke Moskow sebagai Duta Besar Luar Biasa untuk Uni Soviet dan Polandia. Selama menjadi duta besar, Adam mempelajari kehidupan negara komunis itu. ”Bung berpendapat, praktek komunis tak sesuai dengan teorinya. Ajaran ini perlu dievaluasi,” kata Otto, kini 65 tahun.
Soekarno mengangkat Adam menjadi Menteri Perdagangan pada 1963. Menduduki posisi barunya ini, nama Adam banyak disebut dalam dokumen CIA. Pada sebuah telegram tertanggal 25 November 1964, tertulis Adam bersama-sama dengan Soeharto, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution, Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh, serta Brigadir Jenderal Sukendro, asisten intelijen Angkatan Darat, sangat berharap campur tangan Amerika ketika Soekarno berkonflik dengan Malaysia. Adam dan Chaerul Saleh—dua tokoh Murba—merupakan kekuatan yang berseberangan dengan Soebandrio-Partai Komunis Indonesia.
Ada juga memorandum intelijen CIA tanggal 2 Desember 1964 yang membahas pembentukan Badan Pelaksana Pro-Soekarnoisme. Dibentuk dengan dalih menyelamatkan Pancasila, gerakan ini sebetulnya ditujukan untuk membentuk kekuatan pengimbang Partai Komunis Indonesia di lingkaran Soekarno. Adam Maliklah pemimpin gerakan Pro-Soekarno yang juga melibatkan Chaerul Saleh ini.
Menurut memorandum itu, Adam bertemu dengan Howard Palfrey Jones, Duta Besar Amerika sebelum Green, pada 19 November 1965. Kepada Jones, Adam melaporkan bahwa gerakan Pro-Soekarnoisme telah didukung Nahdlatul Ulama, satu-satunya partai muslim yang aktif ketika itu. Soekarno terkesan hati-hati terhadap gerakan ini. Menurut Malik, tertulis dalam dokumen itu, petinggi NU pada 18 November telah meminta dan menerima persetujuan Soekarno untuk menyampaikan ide-ide non-komunis dalam kunjungannya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ada pula dokumen lain yang dikirim pada 4 November 1965. Isinya: ”Hatta, Adam Malik, dan lainnya, yang kita tahu dari CAS dan laporan lain memiliki kontak dengan para pemimpin Angkatan Darat, mungkin disimpan untuk periode post-Soekarno”. Menurut Tim Weiner, CAS adalah kode Departemen Luar Negeri untuk CIA. Tentu saja, dokumen-dokumen itu tidak memberikan kepastian bahwa Adam adalah agen CIA.
Menurut Nitimihardjo Hadidjojo N., penulis pidato Adam Malik, Bung Kancil memang pernah berhubungan dengan CIA. Mendapat perintah dari Soekarno untuk berunding soal Irian Barat dengan Belanda, Adam bergaul dengan Ellsworth Bunker, diplomat senior dan agen CIA yang mewakili Amerika Serikat sebagai mediator. Perundingan berlangsung pada akhir Maret 1962 di Middleburg Virginia.
Amerika berkepentingan agar tak terjadi perang di Irian Barat. Karena itu, Amerika menekan Belanda agar menarik pasukannya dari sana. Tapi Belanda kukuh ingin mendirikan Negara Papua di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kepada Bunker, Adam menyatakan, jika Belanda tetap menolak mundur, perang sulit dielakkan. Melalui sidang NATO di Athena, Amerika menekan Belanda agar menerima Irian Barat masuk Indonesia. Sebagai imbalannya, Amerika meminta Adam Malik menggalang kekuatan antikomunis. ”Tapi bukan berarti Bung adalah agen CIA,” tuturnya.
Hadidjojo, kini 61 tahun, meminta posisi Adam dilihat dalam konteks Perang Dingin. Kerja intelijen, katanya, selalu berusaha merangkul musuh lawan. Murba, partai Adam, merupakan musuh Partai Komunis Indonesia. ”Jadi, secara teori, semua musuh PKI adalah teman Amerika. Tapi kan tidak harus menjadi agen Amerika,” katanya.
Para tokoh, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla; anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution; juga mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono, menafikan kemungkinan Adam merupakan agen CIA. Namun seorang mantan pejabat intelijen senior di Tentara Nasional Indonesia menyatakan, bisa saja informasi itu benar. ”Mungkin bukan agen, tapi binaan: mereka yang direkrut untuk kepentingan jaringan intelijen CIA,” tuturnya.
Tim Weiner mengatakan, ”agen” adalah seseorang yang melakukan sesuatu atas permintaan perwira CIA. Adapun para perwira itu sering menyamar menjadi diplomat pada perwakilan Departemen Luar Negeri AS. ”Jadi sangat mungkin seorang agen asing mengira dia sedang berhubungan langsung dengan Departemen Luar Negeri, padahal dia sedang memberikan informasi kepada perwira CIA,” katanya.
AGEN atau bukan, Adam dikenal sebagai pribadi yang terbuka. Ketika menjadi wakil presiden, kawan-kawan lamanya bisa dengan mudah menelepon dan kemudian bertamu ke rumahnya. Ia selalu memenuhi permintaan para tamunya. Pernah suatu ketika, menurut cerita Joesoef Isak, temannya ketika menjadi wartawan pada 1950-an, seseorang dari Aceh minta duit untuk berobat. Adam langsung menulis memo kepada Direktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo agar orang itu dibantu.
Esok harinya, Direktur Rumah Sakit meminta konfirmasi apakah surat yang dibawa si pasien benar dari Adam. Wakil Presiden membenarkan dan kembali meminta agar si pasien dibantu. Sang direktur rumah sakit menyanggupi, tapi kemudian mengingatkan kelak akan ada ratusan pasien datang jika Adam selalu memberikan memo. Joesoef mengatakan, ”Adam lalu menjawab: tak usah kau pikirkan yang seratus pasien. Pikirkan saja yang satu orang itu.”
Joesoef juga menjadikan Adam tujuan mencari bantuan. Keluar dari penjara dengan tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia, ia datang bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mereka meminta uang, dan langsung diberi. Sebelum pulang, Joesoef mengatakan di rumahnya dan rumah Pramoedya belum ada telepon. ”Dia langsung memanggil sekretarisnya agar membantu pemasangan telepon untuk rumah kami,” tutur pemilik penerbit Hasta Mitra itu.
Dengan pembawaannya yang supel dan terbuka seperti itu, Joesoef tak menutup kemungkinan bahwa Adam benar menjadi agen CIA. Sambil mengepulkan asap rokoknya, pria 80 tahun itu menyatakan: ”Namanya juga intel, enggak mungkin ada yang jelas.” Tentu saja, tak pernah ada bukti perekrutan.
Budi Setyarso, Sunudyantoro, Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo