Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA Suhaimi Munaf, politikus Partai Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti) pada akhir 1950-an. Pandangan politiknya yang agak kiri membuat pria asal Sumatera Barat ini punya jaringan baik dengan para diplomat negara-negara komunis di Jakarta, saat itu. Dia sering melanglang buana, berkunjung ke Moskow, Beijing, dan Havana, Kuba.
Nasibnya berubah pasca-G30S pada 1965. Sejak itu, semua anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia diburu dan dibui, tak terkecuali Suhaimi. Pada Februari 1967, dia ditangkap dan baru bebas 20 bulan kemudian.
Selepas dari penjara, Suhaimi mengalami depresi. Ia kehilangan pekerjaan dan keluarganya berantakan. Suhaimi makin gelisah setelah tahu bakal dikirim ke Pulau Buru, nun jauh di Kepulauan Maluku, tempat ribuan simpatisan PKI dibuang tanpa proses pengadilan.
Saat itulah, agen Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) masuk. Mereka menawari Suhaimi pekerjaan dengan imbalan cukup dan perlindungan dari incaran para pengganyang komunis: dia diminta menjadi mata-mata. Dinas intelijen ini ingin mengintai isi perut kedutaan negara komunis di Indonesia, termasuk Uni Soviet, lewat Suhaimi. Terpojok dan tak punya pilihan, Suhaimi menyanggupi.
Awalnya, Suhaimi mengira dia hanya bekerja untuk Bakin. Belakangan, dia tahu bahwa semua informasi yang dia serahkan diteruskan ke dinas rahasia Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA). Dia bahkan mendapat nama kode baru dari CIA: Friendly/1.
Suhaimi Munaf adalah salah satu agen Indonesia pertama yang direkrut dalam operasi bersama CIA-Bakin pasca-1965. Kisahnya ditulis oleh pengamat militer Ken Conboy, dalam bukunya Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, terbit empat tahun lalu.
Pola Suhaimi diulangi dalam sejumlah rekrutmen berikutnya. Beberapa pentolan komunis yang ”insaf” ditampung menjadi agen rahasia untuk memata-matai kawan dekat mereka dulu.
KETERLIBATAN CIA di Indonesia bisa dilacak jauh sampai awal pendirian dinas intelijen negeri ini pada awal 1950-an. Conboy, dalam bukunya, memberikan informasi penting. Salah satunya: pada Februari 1952, pemerintah Indonesia setuju mengirim sejumlah pemuda untuk dilatih menjadi anggota paramiliter di Pulau Saipan, di tengah Samudra Pasifik. Pelatih mereka di sana adalah para agen CIA yang bekerja di bawah Unit Pelatihan Angkatan Laut Amerika Serikat.
Sebenarnya ada 50 pemuda yang disiapkan dari Nusantara. Lewat seleksi ketat, yang terpilih hanya 17 orang. Melalui rute perjalanan yang berliku-liku dan amat tertutup, dari pantai timur Semarang, Kalimantan, sampai Filipina, mereka lalu diterbangkan dengan pesawat amfibi ke Saipan. Di sana mereka berlatih menembak, kode morse, sampai metode analisis intelijen, selama dua bulan.
Kepada Tempo, Tim Weiner, wartawan penulis buku sejarah CIA, Legacy of Ashes, membenarkan keberadaan unit ini. ”Pulau itu lokasi pelatihan paramiliter yang dikelola CIA,” katanya. Seorang mantan pejabat senior intelijen Indonesia yang menolak disebut namanya juga membenarkan peran CIA dalam pelatihan para agen dinas rahasia Indonesia. ”Kerja sama pendidikan seperti itu memang ada,” katanya.
Para pemuda lulusan Saipan inilah yang kelak menjadi tulang punggung Badan Koordinasi Intelijen, dinas rahasia resmi pertama yang dibentuk oleh Presiden Soekarno, Desember 1958. Setahun kemudian, badan ini kemudian berubah menjadi Badan Pusat Intelijen, cikal bakal Bakin yang sekarang menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).
Punya andil dalam pendidikan para spion lokal ternyata bukan jaminan operasi CIA di Indonesia berlangsung mulus. Posisi politik Soekarno yang kala itu kerap berseberangan dengan Amerika Serikat membuat hubungan dinas intelijen kedua negara pun jadi renggang. Puncaknya, CIA secara diam-diam mendukung pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Permesta di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Maret 1957.
Saat itu CIA memasok dana, senjata, peralatan perang, sampai pilot untuk menerbangkan pesawat-pesawat tempur PRRI/Permesta. Sejumlah tokoh pemberontak, seperti Ventje Sumual, terang-terangan mengakui keterlibatan dinas rahasia Amerika ini. Ketika diwawancarai Tempo pada Maret lalu, Sumual—sekarang sudah 85 tahun—mengaku pada awalnya tidak tahu bahwa bantuan itu datang dari CIA. ”Saya hanya mengenalnya sebagai konsul Amerika di Singapura. Belakangan saya tahu dia kepala kantor CIA di sana,” katanya.
Sosok yang dimaksud Sumual adalah James Foster Collins. Sumual dan tokoh PRRI lainnya, seperti ekonom Sumitro Djojohadikusumo, secara khusus sempat mendatanginya di Singapura. ”Waktu itu saya berterus terang saja, kami perlu senjata,” kata Sumual. Collins langsung menyanggupi. ”Saya kaget ketika dia bilang, ’Its all free,’ semuanya gratis, tanpa syarat,” kata Sumual tertawa.
Gara-gara bantuan itu, santer beredar kabar bahwa pemberontakan PRRI/Permesta disokong Amerika, dan para pentolannya adalah agen CIA yang menyamar. Sumual membantahnya. ”Saya paham, banyak orang salah persepsi,” katanya. ”Amerika membantu kami demi mengamankan kepentingannya. Kalau kemudian Amerika meninggalkan kami dan membantu jenderal di Jakarta, itu juga demi kepentingan negara mereka sendiri,” katanya.
Fadli Zon, kawan dekat keluarga Djojohadikusumo, juga menolak tudingan kepada Sumitro. ”Pak Sumitro adalah tokoh sosialis yang independen. Tidak mungkin dia jadi antek CIA,” katanya.
MENJELANG masa-masa panas konfrontasi PKI versus militer pada September 1965, desas-desus mengenai keterlibatan agen CIA di Jakarta amat santer. ”Saat itu, ada yang menuding si anu agen CIA, atau si ini agen KGB,” kata wartawan senior Joesoef Isak, pekan lalu. Namun semua tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan.
Arief Budiman, akademisi yang juga mantan aktivis 1966, punya pengalaman soal ini. Pada awal 1960-an, dia dan sejumlah intelektual lain yang menggagas Manifes Kebudayaan sempat dituduh sebagai agen CIA karena menerima dana dari Congress for Cultural Freedom, sebuah yayasan nirlaba berbasis di Paris, Prancis. Tuduhan itu datang dari kelompok-kelompok pro-komunis.
Belakangan terungkap dana yayasan itu berasal dari Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan beberapa lembaga Eropa-Amerika. ”Tapi CIA memang berkepentingan menumpas komunis, mungkin saja mereka membantu,” kata Arief. ”Benar atau tidak, itu yang sulit dilacak.”
Pasca-Soekarno, memasuki era Orde Baru, keberadaan mata-mata CIA di Indonesia jadi lebih terkoordinasi. ”Kami tahu mereka ada di sini,” kata mantan Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, pekan lalu.
Kerja sama pun intensif diadakan, mulai dari tukar-menukar informasi, kerja sama penyediaan logistik, sampai mengadakan operasi bersama. Sejumlah peralatan penyadapan canggih yang dimiliki dinas rahasia Indonesia adalah sumbangan CIA. ”Selama kepentingan kita sama, kita bisa berkawan,” kata Hendropriyono.
Ada contoh konkret kerja sama intel kedua negara. Pertama, operasi pembebasan penumpang warga Indonesia yang disandera di pesawat terbang Woyla, Garuda Indonesia, di bandara Muangthai, April 1981. Yang lain, operasi penangkapan tersangka teroris asal Kuwait, Omar Al-Faruq, di Bogor, Jawa Barat, Juni 2002.
Wahyu Dhyatmika, Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo