Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#FF9900>Sedikit Nasi, </font>Banyak Minyak Rambut

Ia hangat dan banyak teman. Pengagum Tan Malaka dan Trotsky.

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI itu berjalan cepat meninggalkan pesawat Singapore Airlines di Bandar Udara Schippol, Amsterdam, Belanda. Badannya kurus, rambutnya kelimis. Dia, Wakil Presiden Indonesia Adam Malik, tiba tanpa protokoler: tak ada ajudan atau pasukan pengaman presiden menyertainya.

Hadidjojo Nitimihardjo, penulis pidato Adam yang sedang belajar di Belanda, menyambut kedatangannya. Anak tokoh Murba, Maroeto Nitimihardjo, ini mendapat kabar kunjungan Adam dari teman-teman di Jakarta.

Seketika Hadidjojo memanggil Adam dengan sebutan Bung. Tapi yang dipanggil tidak menoleh. Diulanginya panggilan itu dengan menyebut nama Adam, tapi sang wakil presiden juga tak menyambut.

Hadidjojo ingat: Adam kerap dipanggil Akoi di kalangan terbatas Partai Murba. Nama ini, kata dia, sekadar sebutan, tak punya arti khusus. Mujarab. ”Si Bung langsung menoleh,” kenang Hadidjojo, Kamis pekan lalu.

Adam tiba di Belanda hampir tiga puluh tahun silam, dalam perjalanan untuk menghadiri pertemuan Komisi Willi Brandt di Brussel, Belgia. Komisi ini bekerja untuk memperkecil jurang antara negara maju di belahan utara dan negara miskin di selatan. Brandt adalah Kanselir Jerman Barat yang berasal dari Partai Sosial Demokrat. Adam berkawan dekat dengan Brandt karena memiliki kesamaan ideologi: sosialis demokrat.

Joesoef Isak, 80 tahun, bekas wartawan harian Merdeka yang pernah 10 tahun dipenjara di Salemba karena dianggap mendukung Partai Komunis Indonesia, punya cerita lain. Ia mengenal Adam Malik sejak sama-sama wartawan. Adam Malik pendiri kantor berita Antara. Kedekatan keduanya, meski berideologi berbeda, tak membuat Joesoef sungkan menemui Adam saat itu, setelah keluar dari penjara Salemba pada 1977. Ketika itu Joeseof mendatangi Adam karena butuh uang.

Pada saat buku Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia akan terbit, Joesoef menyerahkan naskah awal ke Adam Malik yang saat itu wakil presiden. Adam menyatakan novel Pramoedya Ananta Toer itu bagus. Joesoef juga mendapat kabar dari Adam Malik, Ibu Tien Soeharto terpukau oleh novel berlatar belakang Wonokromo, Surabaya, itu. Bahkan Adam meminta buku itu menjadi bacaan wajib sekolah. Tapi, begitu buku itu beredar, Soeharto melarang karena dianggap berbahaya bagi Orde Baru. Joesoef menanyakan ihwal ini kepada Adam. ”Jawab dia, jangankan bukumu, aku pun bisa dibunuhnya (Soeharto),” kata Joesoef.

l l l

LAHIR pada 22 Juli 1917 di rumah berlantai dua di Jalan Pasar 48, Kedai Panjang, Pematangsiantar, Sumatera Utara, Adam Malik adalah anak ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya adalah Abdul Malik, pedagang kaya di Pematangsiantar.

Ketika kecil Adam sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS), satu-satunya sekolah bergengsi di Pematangsiantar. Tamat dari HIS, ia melanjutkan ke Sekolah Agama Parabek di Bukittinggi. Hanya satu setengah tahun di sana, ia balik kampung dan membantu orang tua berdagang. ”Tapi uang jualan buat nonton film dan untuk diberikan orang lain,” tulis Bachtiar Djamily dalam buku Hidup dan Perjuangan Adam Malik. Karena itu, Adam punya banyak teman.

Adam berminat pada ideologi sosialis sejak masih remaja di Pematangsiantar, setelah membaca buku Tan Malaka terbitan 1924 berjudul Menuju Republik Indonesia. Ia bersimpati pada Partai Republik Indonesia (Pari) yang dideklarasikan Tan di Bangkok, tiga tahun setelah terbitnya buku itu. Adam Malik mendaftar anggota Partai Nasional Indonesia tapi partai itu belakangan dibubarkan Belanda.

Selanjutnya, Adam masuk Partai Indonesia (Partindo). Ia lalu dipercaya sebagai komisaris atau se-tingkat ketua untuk Sumatera Timur. Ketika Partindo membuka cabang di Simalungun, Adam menjadi bendahara, sedangkan ketua dipegang Mohammad Kasim.

Adam kemudian menjadi Ketua Partindo Sumatera Timur, dan kantornya berpindah dari Medan ke Pematangsiantar pada 1934. Tahun itu juga, dua bulan Adam ditahan Belanda di Padangsidempuan akibat berpidato dalam rapat partai di Sipirok, Tapanuli Selatan.

Keluar dari penjara, Adam terus dimata-matai Belanda. Ayahnya yang aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia juga diintai. Tidak mau jadi beban keluarga dan ingin leluasa dalam pergerakan, Adam hijrah ke Jakarta. Berbekal koper berisi pakaian, buku, dan mesin ketik plus uang dua ringgit, Adam berlayar ke Jawa.

Tiba di Betawi, ia menemui Yahya Malik Nasution, bekas anggota Partindo yang kemudian masuk Pari. Adam banyak mendapat cerita tentang Tan Malaka dari Yahya. ”Sebagai anak muda, saya amat terpukau tokoh politik legendaris ini,” kata Adam Malik dalam otobiografinya, Mengabdi Republik.

Memujanya ideologi kiri, anak pertama Adam diberi nama nama Trotsky, tokoh komunis Soviet yang dikagumi Tan Malaka. Trotsky belakangan berganti nama Otto Malik, kini 65 tahun. Anak kedua, dua tahun lebih muda, ia beri nama Subakat, diambil dari nama tangan kanan Tan Malaka. Subakat belakangan berganti nama jadi Imron Malik.

l l l

BERSAMA Soemanang, Pandoe Kartawigoena dan Albert Manoempak Sipahoetar, Adam Malik mendirikan kantor berita Antara pada Desember 1937 di Pinangsia, Jakarta. Adam juga aktif dalam organisasi pemuda Menteng 31. Anggota organisasi ini antara lain Sukarni, Koesnaeni, Abdoel Moeloek, Armoenanto, Pandoe Wigoena, Maroeto Nitimihardjo, dan Syamsoeddin Can. Kelompok Sukarni inilah yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945.

Menurut Anwar Bey, 83 tahun, sekretaris pribadi Adam, Sukarni memanggil Adam dengan Bung Kancil. Sebutan ini diberikan karena Adam bertubuh kecil dan lincah. Adam muda juga mudah dikenali karena rambutnya yang kelimis oleh lumuran minyak rambut. Ia juga dikenal tak banyak makan. Oleh teman-temannya Adam kerap diledek sebagai orang yang sedikit makan nasi tapi banyak makan minyak rambut. ”Merek minyak rambutnya Brylcream,” kata Hadidjojo.

Adam memimpin Persatuan Perjuangan wilayah Yogyakarta, kelompok oposisi yang didirikan Tan Malaka di Purwokerto pada awal kemerdekaan. Pada 1946, ia mendirikan Partai Rakyat. Dua tahun kemudian, ia ikut mendirikan Partai Murba. Pada 1959, Adam Malik anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pada tahun yang sama, Soekarno mengangkat Adam Malik menjadi Duta Besar untuk Rusia dan Polandia. Dua tahun kemudian, Soekarno menunjuk dia menjadi ketua delegasi perundingan Irian Barat di Amerika berhadapan dengan Belanda.

Pada 1963 Soekarno mempercayai Adam menjadi Menteri Perdagangan. Dua tahun kemudian Adam menjadi Menteri Koordinator untuk Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin. Setelah 1965, ia dipercaya Soeharto menjadi Wakil Menteri Utama dan Menteri Luar Negeri. Pada 1971 ia diangkat Ketua Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setelah Pemilu 1977, Adam menjadi Ketua DPR-MPR. Setahun kemudian, Soeharto mengangkat Adam menjadi wakil presiden, menggantikan Sultan Hamengku Buwono IX.

Menikah dengan Nelly pada 1942, Adam dikaruniai lima anak. Ia meninggal di Bandung pada September 1984 karena kanker lever. Menjelang wafat, Adam mengkritik Soeharto yang ia anggap tidak mampu mengendalikan anak-anaknya.

Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus