Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#FF9900>PT PERUSAHAAN GAS NEGARA</font><br />Bila Gas Sesuai Pasar

Perusahaan Gas Negara meminta harga gas industri sesuai dengan mekanisme pasar. Pemerintah jangan lepas tangan.

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR itu datang dari Michael Baskoro. PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah untuk menjual gas dengan harga pasar. ”Kami (tinggal) menunggu waktunya,” ujar direktur komersial perusahaan pelat merah itu di Jakarta, Rabu pekan lalu.

Harga jual gas perusahaan itu memang dipatok pemerintah, menurut Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Tahun 2001. Harganya berbeda-beda untuk tiap industri, mengacu pada peraturan tentang harga jual gas bumi melalui pipa untuk konsumen selain rumah tangga dan pelanggan kecil. Dengan peraturan yang diterbitkan tahun lalu itu, ada industri yang mendapat harga di bawah harga pasar, tapi ada yang sudah mengikuti harga pasar.

Masalahnya, sejak awal tahun lalu, harga gas membubung. Pemasok gas itu merasa diperlakukan tidak adil, karena membeli gas dari produsen dengan harga pasar, tapi harga jualnya dikendalikan pemerintah pada US$ 5,5 per mmBtu (juta British thermal unit). ”Bagaimana bisa maju?” kata Michael.

Harga gas internasional memang kini sedang turun, seiring dengan merosotnya harga minyak mentah ke US$ 50,33 per barel untuk jenis Brent. Namun, menurut Sekretaris Perusahaan Gas Negara, Heri Yusup, tetap saja penggunaan harga pasar lebih baik. Data Bloomberg pekan lalu menyebutkan harga gas Henry Hub di pasar spot di level US$ 6,45 per mmBtu. ”Mekanisme pasar akan membuat iklim bisnis lebih sehat,” ujar Heri Yusup,

Kabar dari Perusahaan Gas Negara yang dibawa Michael mendadak membuat ketar-ketir beberapa industri. Maklum, rupiah sedang sakit keras—menjadi Rp 12.290 per dolar Amerika pada akhir pekan lalu. Tanpa harganya naik, biaya yang dikeluarkan industri itu akan lebih mahal karena pembelian gas menggunakan dolar. Salah satu industri yang mengaku bakal knock out terkena kebijakan harga baru ini adalah industri keramik, yang biasa membeli gas US$ 3,5 per mmBtu. ”Tanpa kenaikan harga gas pun, ongkos produksi sudah naik 20 persen. Apalagi jika harga gas naik 100 persen,” kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia, Achmad Widjaja.

Toh, beberapa industri mengaku siap jika harga pasar diberlakukan. Industri oleokimia, yang membayar gas hingga US$ 5,5 per mmBtu, misalnya. Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia Kris Hadisoebroto menyatakan, karena produk akhir industri ini—contohnya sabun dan produk aromatik lainnya—tetap dibutuhkan masyarakat, kebijakan baru itu tak menakutkan.

Industri baja juga tegar saja menanggapi kabar tersebut. Tanpa menyebut berapa harga jual gas kepada industri ini, Direktur Utama Krakatau Steel Fauzar Bujang memperkirakan harga gas memang bakal bergerak seperti di pasar. ”Dalam konteks jangka panjang, sesuai dengan kontrak pembelian 10 tahunan, ongkos produksi baja tidak naik drastis,” ujarnya.

Kontrak jangka panjang juga membikin industri pupuk anteng atas rencana perubahan harga itu. Dadang Heru Kodri, Direktur Utama PT Pupuk Sriwijaya, menyatakan kontrak jangka panjangnya dengan Pertamina sejak awal tahun ini mematok harga gas US$ 3,5 per mmBtu dan dieskalasi otomatis 2,5 persen per tahun. PT Petrokimia Gresik segendang-sepenarian. Pabrik yang mengambil gas dari lapangan gas Kodeco, Energi Mega Persada, dan Petro China itu mendapat harga US$ 2,7-4 per mmBtu.

Apa kata Perusahaan Listrik Negara—konsumen 80 persen gas yang disediakan Perusahaan Gas Negara? Pabrik listrik ini bahkan sudah lama menggunakan harga pasar. Untuk memasok Pembangkit Listrik Tenaga Gas Cirebon dan turbin uap Muara Tawar, Bekasi, Jawa Barat, misalnya, harga gas dibanderol US$ 5,61 per mmBtu.

Atas reaksi yang beragam mengenai rencana kenaikan itu, pengamat energi Kurtubi menilai harga gas industri idealnya menggunakan mekanisme pasar terkendali. Pemerintah hanya mengatur pada kondisi tertentu, misalnya jika harga minyak dan gas internasional melonjak tajam. ”Intervensi hanya menentukan batas atas dengan memperhatikan pembeli dan penjual,” ujarnya.

Saran Achmad Widjaya lebih saklek. Ia meminta pemerintah membantu dunia usaha dengan cara menolak niat Perusahaan Gas. ”Jangan cuma memikirkan kenaikan harga, tapi juga penalti saat kami merana dulu oleh krisis gas,” ujarnya. Selain itu, pemerintah ternyata belum memberikan lampu hijau. ”Diskusi saja belum,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi Evita Herawati Legowo. Nah, siapa yang kebelet?

R.R. Ariyani, Retno Sulistyowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus