Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=brown><B>Listrik</B></font><BR />Turun Setengah Hati

Pemerintah memotong tarif denda listrik seiring dengan melemahnya harga bahan bakar. Belum mendorong sektor riil.

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISMAIL Mandry begitu girang tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan tarif dasar listrik industri bakal dipangkas, Senin pekan lalu. Namun, sore harinya, kabar manis yang dirasa Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia itu lenyap. Dari Graha Sawala di Lapangan Banteng, Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mempersempit penjelasan Presiden. ”Yah, tak ada lagi angin segar,” kata Ismail.

Seusai rapat kabinet tersebut, Yudhoyono sempat menyebut penurunan tarif dasar listrik. Pertimbangannya harga bahan bakar yang menurun seiring dengan melemahnya nilai minyak dunia, yang kini bertengger di level US$ 40 per barel, jauh dari Juli tahun lalu yang sempat mencapai US$ 147. ”Ini untuk menurunkan biaya produksi,” kata Yudhoyono. Dia berharap langkah itu membuat sektor riil terus bergerak.

Menurut Sri Mulyani, penurunan yang dimaksud Presiden hanya saat beban puncak (daya maksimum), yaitu pada pukul 18.00-22.00. Itu pun bukan tarif dasarnya yang diturunkan, melainkan sanksi kelebihan pemakaian (disinsentif) dikurangi dari empat kali tarif menjadi tiga kali.

Hari berikutnya, woro-woro dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menguatkan penjelasan Lapangan Banteng. Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Jack Purwono mengatakan industri yang mendapat keringanan adalah golongan tiga, dengan daya 201 kilovolt ampere hingga 30 megavolt ampere, dan golongan empat, yang mempunyai daya di atas 30 mega. ”Tidak ada penurunan tarif dasar listrik,” kata Purwono.

Pemerintah boleh berujar kebijakan itu bakal memberikan stimulus. Namun, menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy, langkah setengah hati tadi tak banyak berarti. Pada industri tekstil yang beroperasi 24 jam, listrik memakan sekitar 18 persen dari total biaya produksi. Dalam hitungannya, pengurangan denda hanya memangkas biaya listrik paling banyak 5 persen.

Ismail satu kata. Menurut dia, sejak PT Perusahaan Listrik Negara memberlakukan tarif disinsentif, 200-an perusahaan dalam naungan asosiasi yang diketuainya menghentikan produksi pada jam itu. Sebenarnya, keputusan ini membuat kerja perusahaan tak efisien. Produksi juga berkurang. Tapi langkah pahit tadi diambil lantaran kocek perusahaan akan terkuras bila produksi tetap berjalan. Maklum, sepertiga lebih ongkos produksi akan habis untuk membayar listrik. ”Apa yang dihemat kalau kami sudah tidak beroperasi di waktu itu?” kata Ismail.

Karena itu, kalangan industri meminta pemerintah mencabut sistem disinsentif waktu beban puncak. Bila tidak, setidaknya penyedia listrik memberikan ganjaran bagi industri yang beroperasi pada saat permintaan menurun. Selain itu, biaya listrik di luar proses produksi, seperti pajak penerangan jalan, juga perlu dicabut. Bila ini terlaksana, tekstil dalam negeri bisa kompetitif.

Pengamat listrik Fabby Tumiwa berpendapat serupa. Dalam kalkulasinya, pengurangan denda itu tidak banyak mendorong sektor riil karena ongkos produksi hanya menyusut sekitar dua persen. Menurut dia, Rp 1,38 triliun yang diminta PLN sebagai kompensasi hilangnya pendapatan lebih baik digunakan untuk mempercepat proyek pembangkit listrik. ”Ini penting untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang,” kata Fabby.

Walau permintaan datang dari sana-sini, PLN tetap berkeberatan. Menurut Direktur PLN Jawa-Bali Murtaqi Syamsuddin, tarif beban puncak adalah salah satu kreasi direksi untuk mengontrol pemakaian. Sebelum hal tersebut diberlakukan pada pertengahan tahun lalu, pemadaman listrik kerap terjadi karena perusahaan pelat merah itu tak mampu memenuhi permintaan. Nah, begitu aturan ini diterapkan, sebagian besar industri mengalihkan waktu kerjanya atau mengurangi penggunaan. ”Kami tidak ingin byar-pet terjadi kembali,” katanya.

Murtaqi yakin pengurangan denda tetap memberikan stimulus. Apalagi PLN sudah melangkah lebih jauh. Dari rapat-rapat yang digelar pekan lalu, PLN memutuskan industri golongan dua yang mempunyai kapasitas 41,5 kilowatt hingga 200 kilowatt mendapat perlakuan sama. Dia memperkirakan ongkos produksi akan turun secara variatif mulai 2 persen hingga 12 persen.

Tuntutan penurunan tarif dasar listrik, menurut Murtaqi, juga sulit dikabulkan. Dengan harga minyak US$ 45 per barel, biaya pokok penyediaan listrik per kilowattnya Rp 1.023, jauh dari harga jual rata-rata yang hanya Rp 630. Menurut dia, sejumlah asosiasi melalui Kamar Dagang dan Industri Indonesia berkali-kali mendesakkan hal ini. ”Namun Presiden dan Menteri Koordinator Perekonomian menolak,” katanya.

Muchamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus