Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah*
Analisis tentang Kabinet Indonesia Bersatu II umumnya terganjal sebuah pertanyaan pendahuluan: benarkah hingga detik ini kabinet sudah selesai disusun Presiden? Saya khawatir jawabannya adalah belum—setidaknya hingga akhir Oktober 2010.
Sejak dengan telak memenangi Pemilu Presiden 2009 dalam satu putaran, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasrat menarik sebanyak mungkin partai politik ke dalam pemerintahannya. Lima partai penyokong awal Yudhoyono-Boediono yang menguasai 317 (56,6 persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat rupanya dinilai tak cukup.
Untuk sebagian, hasrat itu terlampiaskan dalam susunan kabinet yang diumumkan pada 21 Oktober 2009. Partai Golkar di bawah Aburizal Bakrie merapat ke Istana. Alhasil, saat ini pemerintahan secara formal disokong oleh enam partai yang menguasai 424 (75,7 persen) kursi DPR.
Namun kabinet beranggotakan 19 menteri partai dan 18 menteri nonpartai ini tampaknya hanya berhasil menyalurkan sebagian hasrat Presiden. Ada hasrat lain yang masih terpendam dan hanya bisa terendus lewat simbol-simbol yang samar.
Akomodasi enam kursi kabinet bagi Partai Demokrat, bagi saya, lumayan mengherankan karena terlalu banyak. Maka jangan-jangan ini sesungguhnya isyarat politik bahwa Yudhoyono masih mengharap bergabungnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Yudhoyono memang gagal menggaet wakil PDIP. Hingga detik-detik terakhir pengumuman kabinet, Megawati Soekarnoputri tak memberikan lampu hijau atas pinangan Yudhoyono ini. Enam kursi menteri Partai Demokrat bagi saya adalah isyarat bahwa Yudhoyono belum berhenti berikhtiar. Ada kemungkinan, dua dari enam kursi itu sesungguhnya dicadangkan Yudhoyono untuk wakil PDIP kelak.
Pertanyaannya, kapankah ”kelak” itu. Dugaan saya: 21 atau selambatnya akhir Oktober 2010. Pada 21 Oktober tahun depan, sesuai dengan kontrak kinerja yang sudah ditandatangani para menteri, Yudhoyono punya alasan mengevaluasi kinerja para menteri. Inilah fasilitas politik paling aman dan nyaman bagi Yudhoyono untuk merombak kabinetnya.
Memecat menteri dari Partai Demokrat adalah pilihan paling aman bagi Presiden. Jero Wacik bahkan bisa jadi tak merasa diberi sanksi jika diberhentikan tahun depan untuk memberikan jalan masuk, misalnya, bagi salah satu Ketua PDIP Puan Maharani. Sebab, dengan segenap keterbatasan prestasinya selama 2004-2009, perpanjangan jabatan menteri selama satu tahun untuk Jero Wacik adalah ganjaran atau bonus yang sudah lebih dari cukup.
Lalu tinggal satu lagi pekerjaan rumah Yudhoyono: mengosongkan satu kursi lain untuk tokoh PDIP lainnya, misalnya Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung. Jika Presiden berbaik hati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bisa jadi pilihan. Jika Presiden masih ingin memetik keuntungan ekonomi-politik dari penguasaan departemen itu—sebagaimana ia peroleh selama era Purnomo Yusgiantoro—Departemen Perhubungan bisa menjadi alternatif lain. Jika skenario terakhir ini yang berjalan, Freddy Numberi (satu-satunya wakil Papua dalam kabinet, yang juga dikenal sebagai loyalis Presiden sebagaimana halnya Purnomo), boleh jadi akan ”ditendang naik” ke Departemen Energi.
Tidak diperlukan perdebatan sengit untuk menyimpulkan bahwa Yudhoyono tak memperbaiki strateginya (yang keliru) selama ini. Ia berusaha merangkul sebanyak mungkin partai untuk koalisi yang setambun mungkin.
Begitulah, selama termin pertama pemerintahannya, pada titik paling puncak Yudhoyono didukung sepuluh (dari 16 partai) yang menguasai 76,4 persen kursi DPR. Tetapi, selama periode sama, pemerintahan Yudhoyono memanen delapan hak angket dari DPR—berbanding satu hak angket selama era Megawati.
Bersualah kita dengan sebuah paradoks. Yudhoyono sukses mengumpulkan banyak partai, namun gagal mengelola disiplin dalam koalisi. Terbuktilah bahwa mengumpulkan partai tak sama maknanya dengan mengefisienkan dan mensukseskan langkah dan kebijakan pemerintah. Koalisi boleh tambun namun tetap bisa membikin repot dan menguras energi.
Tanpa penguatan kepemimpinan dan perubahan langgam kerja Presiden, mudah diduga bahwa kerepotan semacam itulah yang bakal terulang selama termin kedua Yudhoyono. Bahkan kita ternyata tak perlu waktu lama untuk membuktikan masuk akalnya dugaan ini.
Ketika kabinet dan persekutuan partai-partai dalam pemerintahan Yudhoyono-Boediono belum seumur jagung saat ini, partai penyokong pemerintahan berbondong-bondong menyokong hak angket DPR tentang skandal Bank Century. Berkoalisi ternyata tak selalu berarti saling sokong. Saling serang bisa terjadi di dalam satu kandang.
Apakah teori saling serang satu kandang itu masih berlaku manakala hari-hari ini Partai Demokrat menunjukkan gejala berubah haluan, mendukung hak angket itu? Jawabannya: tidak. Perubahan haluan Partai Demokrat tak mengubah fakta centang-perenangnya disiplin koalisi tambun ala Yudhoyono. Perubahan itu malah menggarisbawahi dua hal lain.
Pertama, Partai Demokrat tampaknya ingin merebut kendali atas penggunaan hak angket. Dengan merebut kendali, mereka bisa berharap bahwa resistansi politik bisa lebih terkelola dan skandal Bank Century tak jadi bola api liar yang setiap saat mengancam Istana Presiden.
Kedua, dengan menyokong penggunaan hak angket itu, Partai Demokrat berkemungkinan merendahkan bidikan DPR dari Presiden ke ”sekadar” mantan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan. Jika benar begitu, Partai Demokrat lagi-lagi menjadi penyokong ”disfungsi presiden” yang membentuk gejala ”presiden mengambang” (floating president).
Gejala ”presiden mengambang” terlihat tegas melalui pidato Presiden tentang kasus Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto, 23 November lalu. Presiden terkesan lari dari tanggung jawabnya sebagai pengambil keputusan eksekutif dalam perkara Bank Century.
Pemberian dana talangan untuk Bank Century tak bisa dilokalisasi sebagai keputusan Gubernur Bank Indonesia dan/atau Menteri Keuangan. Ia adalah sebuah keputusan eksekutif yang tanggung jawabnya ada di tangan presiden. Ketika Yudhoyono menghindar dari tanggung jawab ini, tahulah kita bahwa drama ”presiden mengambang” ternyata berlanjut.
Koalisi tambun yang tak disiplin, disfungsi presiden, dan gejala presiden mengambang adalah sisi-sisi yang sungguh mencemaskan berkaitan dengan kabinet Yudhoyono-Boediono dan masa depannya. Menegasnya sisi-sisi ini hari-hari ini membikin siapa pun sebaiknya tak terlalu tergesa membuat proyeksi mengenai masa depan yang jauh dari kabinet ini. Sebab, jangan-jangan kabinet ini sudah harus menjalani masa suram dalam masa depannya yang sangat dekat.
*CEO PolMark Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo