Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saatnya Buka-bukaan

Mulai Mei 2010, semua informasi publik kecuali rahasia negara bebas diakses masyarakat. Agar publik jadi pengawas pembangunan.

30 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peristiwa ini terjadi pada Juni 2006. Seorang bapak, warga Kecamatan Cipanas, Banten, muncul di pintu kantor Komisi Transparansi dan Partisipasi, Kabupaten Lebak, Banten. Bapak itu mengeluh, anaknya yang duduk di bangku SMP dua kali tinggal kelas. Dia ingin Komisi menanyai guru anaknya.

Tentu saja lima komisioner di kantor itu kebingungan. Mereka dibentuk untuk mengawal Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan Kabupaten Lebak. Tugas mereka memastikan tidak ada informasi pembangunan yang ditutup-tutupi oleh pemerintah daerah dan pihak mana pun. Itu tak ada kaitannya dengan urusan naik atau tinggal kelas.

"Tapi, enggak tega menolak, akhirnya kami berusaha mempertemukan dia dengan guru anaknya," kata Charis Kaddafi, salah seorang komisioner. Dalam pertemuan, guru menunjukkan semua hasil ulangan dan ujian siswa itu. Ternyata nilai anak bapak itu memang tak cukup untuk naik kelas.

Banyak warga Lebak yang belum sepenuhnya paham soal Perda Transparansi dan Komisi Transparansi. Toh, menurut Robert Chandra, Asisten II Bupati Lebak, banyak hal baik terjadi sejak Perda Transparansi mulai diberlakukan. Misalnya, kini Lebak punya kantor pelayanan terpadu bagi penduduk yang hendak mengurus izin dan surat-surat lain. Di sana, semua persyaratan, termasuk biaya dan jangka waktu pengurusan, diumumkan secara terbuka. Tak ada sogokan di bawah meja. Jika ada aparat yang coba-coba "bengkok", penduduk bisa langsung melapor kepada Komisi. Langkah ini, menurut Robert, punya pengaruh pada investasi. "Dari Rp 235 miliar pada 2004, pada 2008 lalu investasi di sini meningkat hingga Rp 5,8 triliun," katanya.

Keberhasilan Lebak memberikan harapan besar pada UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang secara nasional berlaku pada Mei 2010. Undang-undang ini mengikat semua lembaga negara dan lembaga publik yang menggunakan uang negara.

Sebenarnya, ketika meloloskannya pada 2008, Dewan ingin undang-undang ini berlaku seketika, tapi pemerintah meminta waktu untuk persiapan dan sosialisasi. "Itu karena implikasinya luas," kata Freddy M. Tulung, Kepala Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika-departemen yang ditunjuk mempersiapkan pelaksanaan UU Keterbukaan. Salah satu implikasinya, menurut Freddy, definisi lembaga publik melebar, meliputi semua lembaga, bahkan yayasan, yang menggunakan uang publik. "Ini kan banyak. Mereka juga toh harus disiapkan," katanya.

Paling tidak, menurut Freddy, akan ada bagian khusus di masing-masing lembaga yang melayani permintaan informasi publik. "Jadi warga tahu kalau mau minta informasi harus ke mana," kata Freddy.

Yang dimaksud dengan informasi publik, menurut UU Keterbukaan, antara lain informasi mengenai badan publik, program kerja, anggaran, dan pembiayaan. Menurut Freddy, ini termasuk informasi mengenai pelayanan publik. "Semuanya harus dibuka, berapa biayanya, persyaratannya apa saja, selesainya berapa," katanya.

Untuk menggalang partisipasi, sekaligus "mengawal" pelaksanaan transparansi, Juli lalu telah dibentuk Komisi Informasi. Anggotanya tujuh orang: Abdurahman Ma'mun, Amiruddin, Ramli Amin Simbolon, Henny S. Widyaningsih, Ahmad Alamsyah Saragih, Dono Prasetyo, dan Usman Abdhali Watik.

"Sekarang kami sedang menyusun petunjuk teknis permintaan dan pemberian informasi publik," kata Dono Prasetyo. Pokoknya, menurut Dono, prosedur permintaan informasi harus mudah dan, kalau perlu, tanpa biaya agar bisa diakses siapa saja.

Kini pejabat tak punya alasan untuk tidak membuka informasi publik yang diminta, kecuali yang dianggap sebagai rahasia negara. "Dulu kita tidak pernah tahu bagaimana hasil ujian surat izin mengemudi, kenapa lulus atau kenapa tidak lulus. Sekarang semua bisa kita minta kepada polisi," kata Dono.

Komisi Informasi menerima semua pengaduan dan keluhan menyangkut transparansi informasi publik. "Kalau nanti ada yang enggan memberikan informasi publik, lapor saja ke Komisi Informasi," kata Dono. Menurut dia, mereka tengah membentuk Komisi Informasi di daerah-daerah.

Selain Lebak, setidaknya 11 kabupaten/kota telah memiliki peraturan daerah tentang transparansi. Malah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, sudah punya kantor pelayanan terpadu sejak 2002. Di sana semua perizinan dan pengurusan surat dilayani secara cepat, terbuka, dan murah. Hasilnya, tiga tahun sejak kantor pelayanan ini didirikan, nilai investasi di daerah itu naik hingga 61,3 persen. Jumlah industri dan tenaga kerja yang terserap pun naik sekitar 30 persen.

Di Kebumen, masih di Jawa Tengah, melalui radio, pemerintah daerah secara rutin menggelar acara "Selamat Pagi Bupati". Dalam siaran yang menghadirkan bupati ini masyarakat boleh mengadukan perkara pembangunan melalui pesan pendek, surat elektronik, atau telepon. Biasanya semua pengaduan langsung ditindaklanjuti.

Di Solok, Sumatera Barat, lain lagi. Sejak Perda Transparansi disahkan pada 2004, semua pejabat daerah harus meneken pakta integritas. Dalam pakta itu mereka berjanji tidak "nakal" selama bertugas. Ini ditandatangani pada saat pelantikan dan ada sanksi bagi yang melanggar.

Contoh lain: Pemerintah Kota Surabaya. Agar transparan, sejak 2003, tender dan pengadaan barang mereka lakukan melalui sistem e-procurement. Situs mereka (www.surabaya-eproc.or.id) dengan peranti lunak yang menghubungkan 23 dinas, lima badan, empat kantor, dan sembilan bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dan DPRD Kota Surabaya itu dikunjungi 50-85 ribu orang per hari.

Dengan pengalaman positif di berbagai daerah itu, menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki, pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi Publik merupakan langkah bagus mendorong pemerintah agar lebih bersih. Soalnya, menurut Teten, ini seolah mempercayakan fungsi pengawasan pembangunan kepada masyarakat. "Apalagi fungsi pengawasan konvensional yang melekat pada BPK dan lainnya ternyata tidak efektif," katanya.

Aktivis antikorupsi ini optimistis transparansi dalam perencanaan pembangunan, anggaran, perizinan, dan bentuk pelayanan publik lain akan memperkuat gerakan sosial antikorupsi. "Tinggal mendorong masyarakat, terutama LSM dan kelompok kepentingan lainnya, berpartisipasi aktif dalam pengawasan ini," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus