Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Penjara Sukamiskin, Bandung, tempatnya ditahan selama ini, bekas Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mendapat tamu istimewa. Siang, awal September lalu, terpidana kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia ini didatangi auditor investigasi kasus Bank Century. Kepada Burhanuddin, auditor Badan Pemeriksa Keuangan itu meminta diterangkan kronologi persetujuan merger Bank CIC Internasional, Bank Danpac, dan Bank Pikko yang kemudian menjelma menjadi Bank Century pada Desember 2004.
Tak hanya Burhanuddin yang didatangi aparat BPK. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan, yang kini mendekam di Rumah Tahanan Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, juga kedatangan tamu serupa. Menurut sumber Tempo, mereka meminta besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kini tengah menjalani hukuman penjaranya empat setengah tahun itu juga menjelaskan proses munculnya Century. Pengacara Aulia, Amir Karyatin, membenarkan soal ini. Tapi apa detail pertanyaan auditor itu, Amir menolak berkomentar. ”Saya tak berhak karena hanya diberi mandat untuk kasus Yayasan BI,” katanya.
Persetujuan merger Bank CIC, Danpac, dan Pikko merupakan bagian dari audit investigasi kasus Bank Century. Temuan BPK mengejutkan. Bank Indonesia dinilai tak tegas dan kurang hati-hati dalam menetapkan aturan persyaratan akuisisi dan merger. Bank sentral itu juga dituding tak tegas menerapkan ketentuannya sendiri atas pelanggaran yang dilakukan Century.
Ini semua diawali akuisisi oleh Chinkara Capital (milik Hesham al-Waraq dan Rafat Ali Rizvi) atas Bank Pikko dan Danpac. Akuisisi itu lalu dilanjutkan dengan merger Bank Pikko, Danpac, dan CIC. Aksi korporasi ini dibahas dalam rapat Dewan Gubernur pada 27 November 2001. Adapun peserta rapat: Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, Deputi Gubernur Senior Anwar Nasution, Deputi Gubernur Aulia Pohan, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, dan Deputi Gubernur Achjar Ilyas.
Hasil audit BPK menyebutkan akuisisi Danpac dan Pikko tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia lantaran banyak persyaratan belum dipenuhi. Misalnya, rancangan akuisisi belum dipublikasikan dalam surat kabar, Chinkara tak bisa menyampaikan laporan keuangan tiga tahun terakhir, dan rekomendasi dari negeri asal Chinkara di Kepulauan Bahama tak jelas. Fakta ini diabaikan Bank Indonesia. Pada 6 Desember, bank sentral resmi memberikan izin merger Danpac, Pikko, dan CIC menjadi Century.
Menurut BPK, pemberian merger dipermudah karena ada catatan Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 (DPwB1) Sabar Anton Tarihoran kepada Aulia Pohan dan Anwar Nasution pada 22 Juli 2004. Antara lain, Bank Indonesia mengubah status surat-surat berharga menjadi lancar dari semula macet. Alhasil, kewajiban Hesham dan Rafat menyetor modal dan rasio kecukupan modal (CAR) seolah-olah memenuhi syarat. Hasil uji kepatutan atas Rafat yang sebelumnya tak lulus juga ditunda dulu realisasinya.
Menurut Anwar Nasution, pada rapat Dewan Gubernur pada 27 November 2001, ia mengusulkan CIC, Pikko, dan Danpac dibubarkan karena banyak melakukan pelanggaran. Tapi Direktur Pengawasan Perbankan, kata dia, meminta lebih baik digabung saja agar Bank Indonesia bisa lebih ketat mengontrol. ”Saya bertanya apa benar jika tiga bank itu digabungkan bisa lebih baik,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Direktur Pengawasan, menurut dia, yakin setelah merger, bank itu bisa lebih baik.
Dalam rapat Dewan Gubernur April 2004, kata Anwar, dia juga meminta syarat rasio kecukupan modal delapan harus terpenuhi. Selain itu, perbaikan manajemen. ”Saya juga minta diselidiki kepemilikan sahamnya,” kata Anwar. Pada 22 Juli 2004, dua hari menjelang pensiun dari Bank Indonesia, menurut Anwar, dirinya didatangi Sabar Anton. Ia menyatakan Gubernur Bank Indonesia ingin proses merger terus dilaksanakan. ”Kalau bos menghendaki, mau bilang apa?” katanya. ”Setelah itu, saya pensiun, tak ikut lagi.”
Kepada auditor yang menemuinya di penjara, Burhanuddin, yang memimpin Bank Indonesia pada 2003-2008, memberi petunjuk penting. Dia menyatakan tak pernah memberikan disposisi merger CIC, Pikko, dan Danpac mutlak dilakukan. ”Ada manipulasi yang dilakukan Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1 (Sabar Anton Tarihoran),” tulis BPK dalam hasil audit investigasinya. Sabar Anton belum dapat dimintai konfirmasi. Tapi, kepada BPK, Sabar Anton mengakui telah terjadi salah kutip pendapat dari salah satu deputi gubernur lain.
Perjalanan Century sendiri terseok-seok. Setahun setelah merger, Century mengalami problem likuiditas dan permodalan. Permasalahan utama Century, kata BPK, adalah kepemilikan surat-surat berharga berkualitas rendah senilai US$ 203 juta. Sekitar US$ 116 juta dari surat-surat berharga itu dipegang Rafat dan Hesham. Penyakit lama yang dibawa dari Bank CIC ini mengakibatkan Century melanggar batas maksimal pemberian kredit dan posisi devisa neto. Rasio kecukupan modal Century minus 132,58 persen pada 28 Februari 2005.
Anehnya, Bank Indonesia justru menyetujui agar Century tak perlu melakukan pencadangan (provisi) surat-surat berharga itu sebesar 100 persen. Dengan rasio kecukupan modal di bawah delapan persen, menurut BPK, seharusnya sejak Oktober 2005 Century masuk pengawasan khusus, bukan pengawasan intensif. Century baru masuk pengawasan khusus pada 6 November 2008 menjelang diambil alih Lembaga Penjamin Simpanan.
Kadar pengawasan intensif memang lebih longgar ketimbang pengawasan khusus. Bank dalam pengawasan khusus adalah bank yang tengah mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan yang bisa membahayakan kelangsungan usahanya. Jika enam bulan pemegang saham tak bisa mengatasinya, akan dinyatakan sebagai bank gagal. Adapun bank dalam pengawasan intensif adalah bank yang hanya mengalami kesulitan likuiditas dan tak ada batas waktu yang tegas kapan pemegang saham harus menyelesaikan kewajibannya. ”Bank Indonesia menjadi tak punya kekuatan memaksa pemegang saham menyelesaikan masalahnya,” tulis BPK.
Dalam audit investigasi itu, Bank Indonesia menyatakan Century tak masuk pengawasan khusus lantaran Rafat dan Hesham telah berkomitmen menjual surat-surat berharga tadi. Keduanya menandatangani perjanjian asset management agreement dengan Century. Rafat berjanji akan menyelesaikan surat berharga itu dengan jaminan deposito senilai US$ 220 juta di Dresdner Bank, Zurich, Swiss. Dian berjanji menyetor duit segar ke Century secara bertahap hingga 2010. ”Banknya (Dresdner) bagus. Jaminan dari pemegang saham juga ada,” kata seorang pejabat BI kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. ”Alhasil, surat berharga itu dianggap likuid dan bisa menambah CAR.”
Kepada Tempo, Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi menyatakan Bank Indonesia sebenarnya sudah mengawasi ketat Century. Sejak 2005 hingga 2008, berkali-kali Bank Indonesia memperingatkan manajemen Century, Rafat, dan Hesham agar menyelesaikan problem likuiditas dan permodalan. Dokumen yang dimiliki Tempo menunjukkan sedikitnya ada 10 surat peringatan Bank Indonesia kepada Century atas masalah itu sejak Oktober 2005 sampai dengan Oktober 2008. Rafat dan Hesham pun berkali-kali diminta memenuhi janji mereka.
Adapun Deputi Gubernur Siti Ch. Fadjrijah pernah menyebutkan Bank Indonesia juga berkali-kali meminta Century agar mencari investor baru. Beberapa investor sudah pernah difasilitasi, antara lain Kuwait Finance, Korean Shinhan Bank, Maybank, Hana Bank, HSBC, dan PT Sinar Mas Multiartha.
Tapi rupanya ”penyakit” Century sudah makin parah. Belum lagi investor baru masuk, Century sudah oleng dan nyaris ambruk. Langkah Bank Indonesia memasukkannya ke pengawasan khusus pada 6 November tak bisa menolong. Akhirnya, bank ini digerojok duit segar Rp 6, 7 triliun oleh Lembaga Penjamin Simpanan, tindakan yang dinilai ngawur dan kini jadi isu panas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Padjar Iswara, Fery Firmansyah, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo