Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjumpaan sejarawan Sri Margana dengan Blambangan dimulai pada 2002. Lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 15 Oktober 1969, itu menemukan bahwa kerajaan di timur Jawa ini memiliki peran sangat penting dan krusial dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, Blambangan tak dipedulikan. Dari keprihatinan ini, ia melakukan penelitian tentang Blambangan sepanjang sekitar lima tahun, yang kemudian dituangkan dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, berjudul Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c 1763-1813.
Langkah dosen sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu menguak Blambangan tak berhenti di situ. Awal Juli lalu, bersama arkeolog sealmamaternya, Profesor Inajati Adrisijanti, dan masyarakat setempat, Margana mencoba menguak bekas Kerajaan Blambangan di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Banyuwangi, Jawa Timur.
Dan sepanjang Agustus-Oktober mendatang, Margana berada di Belanda untuk menyelesaikan penelitiannya tentang sejarah kebudayaan Banyuwangi. Penelitian itu meliputi kebudayaan Banyuwangi sejak masa Hindu hingga kontemporer, yang mencakup perkembangan penduduk, linguistik atau bahasa, kebudayaan, arsitektur, pemikiran dan filsafat, historiografi, religi, dan seni.
Berikut ini petikan wawancara Ika Ningtyas dari Tempo dengan Margana melalui surat elektronik.
Mengapa Anda tertarik meneliti Kerajaan Blambangan?
Pertama karena Kerajaan Blambangan memiliki tradisi sejarah yang kuat dan panjang serta mempunyai peran penting dalam membangun karakteristik masyarakat lokal. Kedua karena hingga saya memulai kajian ini sejarah Kerajaan Blambangan belum dikaji secara serius oleh para sejarawan.
Anda meneliti Kerajaan Blambangan periode 1763-1813. Apa yang terjadi pada periode tersebut?
Ini periode penting, ketika Kerajaan Blambangan yang didirikan sezaman dengan Kerajaan Majapahit ini akhirnya runtuh menjelang kedatangan VOC di wilayah itu. Dan sejak itu, wilayah yang selama berabad-abad menganut Hindu ini diislamkan oleh Belanda.
Periode itu juga penting untuk menunjukkan peran penting rakyat Blambangan di tengah-tengah intervensi VOC. Selama periode itu, beberapa kali pemberontakan melawan VOC muncul. Dan peperangan beruntun ini memperparah penyusutan populasi di Blambangan.
Itu juga suatu periode yang mendahului lembaran baru dalam sejarah Blambangan atau Banyuwangi, ketika orang-orang Jawa dan Madura menjadi penduduk penting di wilayah ini, melebihi penduduk aslinya, dan semakin kuatnya Islam di wilayah ini.
Apa fakta sejarah terbaru yang Anda temukan dalam penelitian itu?
Banyak, di antaranya yang penting adalah islamisasi Blambangan dilakukan Kompeni, dengan kekuatan politik, untuk memutus dukungan Bali terhadap perlawanan rakyat Blambangan terhadap Kompeni. Kedua, masyarakat Blambangan sebenarnya masyarakat yang terbuka dan egaliter. Sejak awal, mereka tidak anti-Islam atau Hindu, tapi anti terhadap penindasan dan penjajahan. Dan jatuh-bangunnya Kerajaan Blambangan lebih karena faktor internal, yaitu perang saudara, terutama perang suksesi, dan rakyat sangat mudah dipecah belah dengan isu-isu religius dan ideologis.
Selama ini Kerajaan Blambangan lebih populer sebagai cerita rakyat, legenda, atau mitos. Mengapa?
Karena, sebelum saya melakukan penelitian ini, tidak ada kajian yang serius dan luas tentang sejarah Blambangan. Sejarah Blambangan bahkan satu episode pun tidak disebut dalam buku induk Sejarah Nasional Indonesia yang enam jilid itu. Padahal buku ini menjadi rujukan bagi pelajaran sejarah di seluruh Indonesia, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sehingga wajar, sejauh yang berkaitan dengan ”kata Blambangan”, orang lebih mengenalnya dalam dongeng atau teater rakyat daripada dalam buku sejarah.
Cerita Damarwulan-Menakjingga seolah memberikan label negatif terhadap Kerajaan Blambangan. Menurut Anda?
Itu karena faktor sejarah dan siapa yang menciptakan label ini. Naskah Damarwulan versus Menakjingga adalah karya seorang pujangga dari Surakarta, yang notabene mengklaim diri sebagai keturunan Majapahit. Dari perspektif keturunan Majapahit, Menakjingga adalah pemberontak.
Demikian juga, semasa kejayaan Mataram, Blambangan digambarkan sebagai vassal yang selalu berulah dan sulit ditaklukkan. Anda bisa membayangkan image seperti apa yang hendak dibangun oleh musuh Anda tentang diri Anda. Tentu yang negatif. Image negatif ini dibangun sebagai sinisme sekaligus legitimasi siapa yang paling powerful dan benar secara moral politik.
Tak banyak ditemukan benda dan bangunan peninggalan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi dan sekitarnya. Apa faktornya?
Pertama, faktor alam: bencana alam seperti meletusnya Gunung Merapi pada akhir abad ke-19. Kedua, perang. Semasa revolusi kemerdekaan, wilayah Macan Putih terutama sebagai markas tentara Republik menjadi sasaran serangan udara Belanda, sehingga banyak peninggalan di sini hancur.
Faktor ketiga, pencurian. Banyak penggalian ilegal benda sejarah dilakukan dan hasilnya diperdagangkan, terutama ke Bali. Keempat, kecilnya kesadaran sejarah masyarakat sehingga mereka tak memahami secara benar nilai sejarah yang ada. Banyak bangunan, terutama rumah dan tempat umum, dibangun di atas situs. Kelima, lemahnya perhatian pemerintah terhadap benda cagar budaya di Banyuwangi. Dan yang terakhir, masih minimnya perhatian para intelektual, terutama sejarawan dan arkeolog, untuk melakukan penelitian historis dan arkeologis di Banyuwangi.
Seberapa penting kedudukan Kerajaan Blambangan terhadap sejarah nasional Indonesia?
Peran Kerajaan Blambangan tidak kalah penting dibanding kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, terutama jika dikaitkan dengan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. Sekarang masalahnya adalah soal penulisan sejarah. Peran itu baru bisa digali lebih dalam jika penelitian yang lebih dalam dan luas dilakukan.
Lantas mengapa tak banyak orang tahu Kerajaan Blambangan?
Secara historiografis, pengungkapan sejarah Blambangan masih dalam tahap yang sangat awal. Perlu waktu yang lebih panjang dan penelitian yang lebih luas untuk bisa memasukkan sejarah Blambangan ke dalam kurikulum sejarah nasional. Tentu tantangannya semakin berat mengingat pelajaran sejarah di sekolah-sekolah mulai dikurangi. Tapi, dengan penerbitan-penerbitan independen di luar kurikulum sejarah nasional, sejarah Blambangan lambat-laun akan dikenal luas. Saya selalu optimistis tentang hal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo