Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOROT ketiga pasang mata itu sangat tajam. Raut muka mereka menunjukkan watak yang keras. Dua di antaranya tampak masih berusia muda. Mereka memakai ikat kepala layaknya kesatria.
Itulah sketsa wajah tiga prajurit Blambangan—Wong Agung Wilis, Rempeg Jagapati, dan Sayu Wiwit—yang digambar oleh pelukis Banyuwangi, Kojeng, pada 2007. Sketsa wajah yang disimpan di Museum Blambangan, Jalan Ahmad Yani, Banyuwangi, Jawa Timur, itu dibuat saat Tim Pengajuan Pahlawan Nasional Blambangan mengusulkan ketiga prajurit tersebut sebagai pahlawan nasional ke pemerintah pusat.
Menurut salah satu anggota Tim Pengajuan, Hasan Basri, sketsa wajah itu dibuat dengan perantara sepasang suami-istri pelaku supernatural, Agus Mursyidi dan Dewi. Di belakang gedung Museum Blambangan, Agus-Dewi mendiktekan sosok ketiga prajurit itu kepada sang pelukis dari apa yang mereka lihat di alam lain. ”Sama atau tidak dengan wajah sebenarnya belum pasti. Yang jelas, gambar itu sesuai dengan karakter yang kita baca dalam literatur,” kata Hasan.
Sayangnya, pemerintah melalui Kementerian Sosial menolak usulan pahlawan dari Banyuwangi tersebut. Alasannya, tutur Hasan, tulisan pendukung yang dibuat Tim Pengajuan dinilai terlalu banyak mitosnya, dan sumber-sumbernya kurang kuat.
Wong Agung Wilis, Jagapati, dan Sayu Wiwit merupakan sosok prajurit Blambangan yang tampil berani dalam melawan dominasi asing. Ketiganya keturunan Tawang Alun II, raja terbesar Blambangan. Wilis pernah menjadi patih raja terakhir Blambangan, Danuningrat, yang kemudian memilih mengasingkan diri selama empat tahun. Ia memutuskan kembali ke Blambangan sesaat setelah VOC menjalankan kekuasaannya di Blambangan pada 1767. Ia menghimpun kekuatan rakyat lokal untuk melawan VOC yang mewajibkan kerja rodi. Pemberontakan selama setahun itu berakhir dengan dibuangnya Wilis beserta pengikutnya ke Pulau Banda.
Perjuangan Wilis kemudian menginspirasi penerusnya, Rempeg Jagapati dan Sayu Wiwit. Tidak puas terhadap pemerintahan Bupati Jawa tunjukan VOC yang ternyata korup, Jagapati menghimpun rakyat Blambangan di benteng Bayu. Ribuan penduduk rela meninggalkan desa mereka untuk bergabung dengan Jagapati. Meletuslah pertempuran paling besar melawan VOC selama periode Blambangan pada 1771 dan 1772. Jagapati dan Sayu Wiwit gugur dalam pertempuran itu.
Menurut sejarawan dan peneliti dari Universitas Jember, Jawa Timur, Edi Burhan Arifin, pertempuran itu merupakan puncak perlawanan prajurit Blambangan terhadap Belanda. Pertempuran yang meletus pada Desember 1771 itu dikenal sebagai Puputan Bayu. Perang besar itu berlangsung di kawasan Bayu (sekarang masuk wilayah administratif Kecamatan Songgon, Banyuwangi).
Bila merunut catatan dokumen pemerintah Belanda, perang besar itu terjadi dalam dua tahap. Setiap tahap berlangsung sengit, kejam, dan mengerikan. Tahap pertama terjadi sepanjang 3 Agustus hingga 20 Desember 1771. Sedangkan perang tahap kedua berlangsung selama 2-12 Oktober 1772.
Dalam dokumen yang ditulis J.K.J. de Jonge pada 1883, yang mengutip surat Gubernur Jenderal Reiner de Klerk kepada pemimpin VOC tertanggal 31 Desember 1781, Puputan Bayu yang berlangsung sekitar 1 tahun 4 bulan itu membuat pemerintah kolonial Belanda harus mengeluarkan dana yang luar biasa besar. Setidaknya dana yang dikeluarkan setara dengan 80 ton emas.
Yang jelas, perang yang juga dikenal sebagai ”perang habis-habisan” itu menunjukkan karakter khas prajurit Blambangan yang tidak mau begitu saja takluk atau ditaklukkan oleh pihak luar. Menurut Edi, gambaran tentang prajurit dan orang Blambangan itu juga sudah ditulis seorang antropolog dan pengelana Belanda, John Scholte, dalam Gandroeng van Banjoewangi. Scholte menyatakan prajurit dan rakyat Blambangan merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan berkepribadian serta berkembang dengan cepat, berpegang kuat pada adat-istiadat, tapi juga mudah menerima peradaban baru.
Edi juga merujuk catatan seorang pengelana Portugis, Tome Pires, yang menyatakan rakyat Blambangan sebagai rakyat yang mempunyai sifat warlike alias suka berperang dan selalu siap tempur, yang selalu ingin dan berusaha membebaskan wilayahnya dari kekuasaan pihak lain.
Begitulah. Sebenarnya, kisah keberanian dan ketangguhan prajurit Blambangan sudah menjadi buah bibir sejak Blambangan dipimpin Raja Bre Wirabumi, saat masih menjadi bagian dari Majapahit. Perselisihan Bre Wirabumi dan Raja Majapahit Wikrawardhana mengakibatkan perang saudara pada 1404-1406 atau dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang inilah yang menurut sejumlah ahli sejarah menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit.
Dengan runtuhnya Majapahit, Blambangan bertahan hingga hampir tiga abad menjadi kerajaan Hindu terakhir di Jawa. Dalam perjalanannya, Blambangan kemudian menjadi rebutan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak dan Mataram; kerajaan-kerajaan Hindu di Bali, seperti Gelgel, Buleleng, dan Mengwi; serta Inggris dan Belanda. Selama hampir tiga abad bertahan itu, Blambangan kerap diliputi peperangan.
Prajurit Blambangan kemudian dipercaya tangguh dan sakti sehingga tidak terkalahkan. Bahkan, menurut sejarawan Sri Margana, mitos yang berkembang di Mataram saat itu: prajurit Blambangan kebal terhadap senjata, sehingga dijadikan ajang uji coba senjata-senjata baru yang dibuat Mataram, baik keris maupun tombak. Jika mampu membunuh orang Blambangan, senjata itu dianggap sakti dan layak dipakai perang oleh Mataram.
Margana menambahkan, prajurit Blambangan itu kabarnya kebal karena para ibu mereka selalu meminum ramuan daun rajegwesi saat menyusui—sehingga air susu para ibu di Blambangan berwarna indigo atau jingga.
Suhalik, penulis buku Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi, yang diterbitkan Pusat Studi Budaya Blambangan, mengisahkan, saat penyerangan besar-besaran Mataram ke Blambangan, banyak perempuan Blambangan yang ditangkap dan dijadikan inang untuk menyusui dan mengasuh putra-putra Raja Mataram. ”Lelakinya juga dijadikan budak untuk membangun ibu kota Mataram,” katanya.
Meski begitu, Margana sangsi terhadap mitos-mitos tersebut. Menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada ini, fakta yang diperoleh dari hasil penelitiannya adalah prajurit Blambangan tangguh karena lebih menguasai medan peperangan. Mereka berperang secara gerilya: menyerang mendadak kemudian bersembunyi, serta membuat perangkap dan jebakan di jalan-jalan dan di atas pohon. ”Musuh sering diarahkan ke suatu tempat di mana perangkap-perangkap telah disiapkan,” ujarnya.
Selain itu, tutur Margana, prajurit Blambangan kuat karena selalu mendapat dukungan prajurit dari Bali. Kerajaan-kerajaan di Bali sangat berkepentingan mempertahankan Blambangan sebagai benteng terakhir untuk menghambat islamisasi di Pulau Jawa, yang diperkirakan akan merambah ke Pulau Dewata.
Margana mengatakan pemberontakan yang dilakukan rakyat Blambangan semata-mata untuk melawan penindasan dan ketidakadilan penguasa asing. ”Semua cerita kekuatan prajurit Blambangan itu berkaitan dengan perlawanan mereka terhadap intervensi penjajah, baik Majapahit, Mataram, Bali, maupun VOC.”
Ika Ningtyas, Mahbub Djunaidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo