Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
19 Mei 1824.
Bulan puasa. Gua Secang, Selarong. Mata pangeran itu terpejam. Namun antara tidur dan sadar, ia melihat ada sosok berpakaian haji di depannya. Lelaki itu terpana.
"Aku tak mengenal Anda, dari mana gerangan Anda?
"Aku tak punya rumah. Aku datang karena diutus menjemput Anda yang mulia," jawab sosok itu.
Pangeran itu bertanya lanjut:
"Siapa nama yang menyuruh Anda itu dan di mana tinggalnya?"
Sosok misterius itu menjawab tenang:
"Sesungguhnya, ia tak punya rumah. Seluruh tanah Jawa ia anggap rumahnya.
Dia adalah yang menyandang gelar Ratu Adil, dialah yang mengutus saya."
Inilah penampakan yang amat menentukan bagi Diponegoro. Setahun setelah mengalami peristiwa penampakan di Selarong itu, ia angkat senjata. Perang itu dalam sejarah kolonial Belanda dianggap sangat menguras energi dan merugikan. Disertasi sejarawan Peter Carey, The Power of Prophecy Prince Diponegoro and the End of an Old Order in Java 1785-1855, yang diterjemahkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) sebagai Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, menjelaskan hal itu. Lebih dari 1.000 halaman tebalnya. Hal-hal detail dari Diponegoro yang tak pernah kita ketahui tersaji dalam buku ini.
Carey menggabungkan data arsip Inggris, Belanda, karya peneliti lain tentang Jawa, serat Jawa, dan surat-surat Diponegoro. Seperti kita ketahui, Raffles pernah menguasai Yogya. Ia pernah menjarah isi istana Yogya—termasuk semua dokumennya, yang kemudian disimpan di Inggris. Carey banyak memanfaatkan data itu. Ia juga menggunakan babad Diponegoro—suatu catatan harian yang dibuat Diponegoro saat dalam pengasingan di Makassar. Ada berbagai versi babad itu: versi Yogya, versi Surakarta, dan sebagainya. Peter mempelajari semuanya. Penampakan yang dikutip di atas adalah penggalan dari catatan itu.
Dalam "biografi"-nya tersebut, Diponegoro menceritakan sebelum perang ia mengalami peristiwa penampakan. Ia melakukan tirakat di makam Sunan Kalijogo di Kadilangu dan Masjid Agung Demak. Dia pun berziarah ke makam para leluhurnya di Imogiri. Di Gua Langse, Diponegoro merasa bertemu dengan Ratu Kidul, yang kelak menjanjikan bantuan untuk memusnahkan tentara Belanda. Namun janji bantuan ini ditolak oleh Diponegoro. Dia pun mengalami penglihatan bertemu dengan Wali Wudar—wali-wali yang memangku jabatan dunia rohani.
Diponegoro pun menanggalkan baju surjan berkerah tinggi, kain, dan penutup kepala dari batik tulis. Sarung kasar, baju putih tanpa kancing tanpa kerah, dan sorban menjadi pakaian yang melekat di tubuhnya.
Salah satu yang menarik dari disertasi Peter Carey, selain mengungkap hal-hal pribadi Diponegoro yang sifatnya mistis itu, ia menyajikan data sosial dan ekonomi serta intrik politik di kalangan istana Yogya dan penguasa Belanda menjelang pemberontakan Diponegoro. Menurut Carey, pada tahun-tahun menjelang pemberontakan itu keadaan ekonomi di Yogya dan Jawa Tengah sangat parah. "Ekonomi porak-poranda karena Belanda yang kemaruk ingin lekas-lekas untung dalam waktu singkat," kata Carey.
Menurut Carey, terjadi pemiskinan petani Jawa. Cukai naik empat kali lipat. Pedagang Tionghoa memainkan harga barang pangan. Peter bahkan mampu menyajikan data perbandingan harga beras (dalam gulden) di Yogya pada 1804-1826 dengan data harga beras seluruh Jawa pada 1817-1825. Di situ kita bisa melihat fakta, sebelum Diponegoro melakukan perlawanan pada 1830, beras yang dijual rata-rata berkualitas buruk.
Peter kemudian menyajikan analisis bahwa krisis ekonomi itu akhirnya memicu krisis sosial di pedesaan Jawa. Ia mencatat muncul pemberontakan kecil-kecilan, gerakan Ratu Adil yang dilakukan oleh kalangan biasa. Pada 1817, di Bagelen timur, Yogya, misalnya muncul seorang sosok bernama Raden Mas Umar Mahdi, yang menyatakan diri sebagai Imam Mahdi. Ia menyeru semua penduduk Bagelen, baik Jawa maupun Tionghoa, tunduk kepadanya. Ia memimpin 50 pengikut yang membawa tombak, pedang, atau keris untuk menyerang pedagang Tionghoa dan penjaga gerbang cukai. Ia ditangkap dan dihukum cambuk.
Pada Juli tahun itu juga, sekitar 4.000 orang Jawa datang di Ketonggo, Madiun, Jawa Timur. Mereka mengumpulkan padi untuk menyambut pemimpin baru yang dipercaya datang tak lama kemudian. Bermacam ramalan tentang Ratu Adil tumbuh subur. Salah satu yang ditakuti oleh pemerintah Belanda adalah ramalan Iman Sampurno. Ia mengatakan akan datang wabah kolera dan sampar pada 21 Oktober 1819 sampai 8 Oktober 1820. Sampar besar ini dinilai sebagai salah satu tanda munculnya Ratu Adil. Ramalan itu ternyata benar. Pada tahun-tahun itu, meski waktunya tak pas benar, terjadi musibah besar di Asia. Wabah kolera masuk dari India melalui Pulau Pinang dan Malaka, hingga masuk ke Jawa. Pada 1821, tanah Jawa juga dilanda musim panas yang mengerikan. Cuaca kering, kemarau berkepanjangan, gagal panen di mana-mana. Pada 1822 Gunung Merapi meletus.
Carey mencatat serangkaian pemberontakan muncul pada Januari dan Februari 1822 tersebut. Misalnya makar seorang pangeran bernama Diposono. Tubuh lelaki ini kecil dan cacat. Ia menderita sakit jiwa, tapi mahir dalam ilmu nujum dan primbon. Ia ingin melawan Belanda dan Tionghoa serta menjadi penguasa keraton. Dengan perantara seorang petualang dari Surakarta bernama Jokomulyo, ia menghimpun dukungan aneka macam pentolan begal dan perampok di Kedu, Jawa Tengah. Juga seorang dukun perempuan pengelana bernama Embok Kajen, yang menampilkan diri sebagai Raden Ayu Guru. Dua pemberontakan hendak dilakukannya serentak di Kedu selatan dan di Yogya selatan. Namun Residen Kedu Pieter Le Clercg dengan pasukan polisi berkudanya sebanyak 150 orang mampu menangkap Diposono beserta pengikutnya di Desa Menayu, dekat Candi Borobudur-Mendut.
Carey menyebut gerakan Ratu Adil kecil ini merupakan pendahuluan dari pemberontakan besar Diponegoro pada 1825. Diponegoro sejatinya menjadi satria yang ditunggu-tunggu. Banyak orang menganggap ia sesungguhnya tokoh yang disebut oleh Iman Sampurno sebagai seorang manusia Mataram sejati.
Pangeran Diponegoro, sejauh deskripsi Carey, mempunyai pribadi sangat berwarna. Dia lahir di keraton pada 11 November 1785 menjelang fajar pada Jumat Wage. Saat kecil dia bernama Raden Mustahar. Ia tumbuh besar di kalangan pesantren dan rakyat jelata sejak usia tujuh tahun di Tegalrejo dan menjadi wali Sultan ketiga. "Dia hidup di empat dunia yang beragam dan lincah bergerak di dalamnya," ujar Carey.
Hidup di Tegalrejo diasuh eyang buyutnya, Ratu Ageng, yang keturunan Raja Bima. Dia menjadi sosok saleh yang sangat merakyat dan tak segan turun tangan ikut panen di daerah Selarong. Ia juga dikenal sebagai pekerja yang mengelola tanahnya dengan manajemen yang selalu rapi. Dalam hal keuangan, Diponegoro sangat teliti. Ia juga tidak boros, baik sebelum perang, selama perang, maupun di pengasingan. Sebagai wali dan penasihat ayahnya, Sultan ketiga Yogyakarta, dia bisa bergaul, bernegosiasi, dan tahu adat-istiadat Belanda dan Eropa pada umumnya. Ia pun kenal baik dengan beberapa petinggi Belanda.
"Ia banyak dipengaruhi kehidupan pesantren, tapi dia Jawa tulen," ujar Peter. Ia, misalnya, karena pengaruh kejawaannya, tidak menolak minum anggur. Diponegoro dikenal menyukai anggur Afrika Selatan. Diponegoro dipandang Carey bukan sebagai reformis seperti gerakan Wahabi Imam Bonjol di Sumatera Barat. Peneliti dari Universitas Oxford ini melihat Diponegoro adalah sosok dalam perang saudara di Inggris. Dalam perang ini, muncul sosok Kristiani Protestan yang menjadi ciri khas Inggris sebagai negara. "Sama seperti Jawa, boleh disebut Islam Jawa."
Peter mengatakan penghayatan agama Diponegoro bukan penghayatan dogmatis. Meski mendasarkan pada agama, perjuangan Diponegoro bukan seperti model Usamah bin Ladin di Afganistan. Peter menuturkan, jika saja sistem ekonomi saat itu menguntungkan pribumi, tidak akan muncul pemberontakan massal. Tatkala bernegosiasi dengan Belanda pun Diponegoro memberikan beberapa opsi. Tawarannya, Belanda bisa tetap berada di Jawa dan bekerja secara administratif di kerajaan pribumi, kembali ke Belanda, atau tetap di tanah Jawa tapi hanya berdagang dan menetap di wilayah pesisir, yakni di Batavia dan Semarang.
Diponegoro juga meminta, jika menyewa tanah, Belanda harus membayar dengan wajar; jika membeli rempah, juga harus membayar dengan harga pasaran dunia. Ia meminta sistem perdagangan yang adil dan terbuka. "Dia punya pandangan yang jernih, bukan orang yang picik, dan tahu keadaan rakyatnya," ujar pria kelahiran Burma ini.
Diponegoro dalam babadnya juga mengakui sebagai manusia biasa yang tidak sempurna. Dia mengaku mudah tergoda dengan perempuan. Diceritakan, suatu ketika dia pun tergoda dengan tukang pijat Tionghoa ketika dia lari menghindari kejaran Belanda.
Diponegoro dalam hidupnya pun mempunyai banyak istri: Raden Ayu Supadmi, Raden Ayu Madubronto yang mendampinginya perang, dan setelah itu menikah lagi dengan tiga perempuan lain. Salah satunya Raden Ayu Retnaningsih, yang mendampingi hingga ke pembuangan di Manado dan Makassar. Dalam bukunya ini, Peter Carey bahkan menemukan data nama-nama anak Diponegoro yang tak diketahui ibunya. Anak-anak ini semua lahir di Makassar dan meninggal di Makassar, serta dikubur di makam Diponegoro kini.
Peter juga melihat pangeran yang meninggal pada 8 Januari 1855 itu menuliskan babadnya dengan cara tidak memuji diri sendiri dan keluarganya. Pangeran Diponegoro tahu keluarganya tercerai-berai, ada yang gila, miskin, dan mati dibunuh. Keluarganya menjadi semacam keluarga sial. "Dia menerima, menempuh itu untuk melakukan darmanya—seperti Karna di Baratayuda, atau Sukarno," ujar Carey.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo