Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo harus terengah-engah menaiki ratusan anak tangga untuk melihat dua cerukan sempit (Gua Putri dan Gua Kakung) di sebuah tebing bukit berkapur di kawasan Bantul, Yogyakarta, yang selama ini terkenal dengan sebutan Gua Selarong.
Tebing kapur setinggi 100 meter yang terlilit akar-akar pohon adem mati (pohon yang daunnya selalu rontok saat kemarau) itu adalah lokasi persembunyian Pangeran Diponegoro bersama pasukannya saat Perang Jawa (1825-1830).
Gua Kakung merupakan tempat tinggal Pangeran Diponegoro dan pasukannya, sementara Gua Putri ditempati Raden Ayu Retnaningsih dan pembantu perempuannya, yang juga ikut berperang.
Dua gua ini sebenarnya secara akal sehat tak muat disesaki ratusan anak buah Pangeran. Gua Kakung, misalnya, hanya cerukan tebing berdinding batu hitam seluas 3 x 4 mater. Tingginya cuma dua meter pula. Sedangkan Gua Putri, yang tertutup rapat oleh pagar besi, memiliki mulut sepanjang 7 meter, dalam 2 meter, dan tinggi 2,5 meter saja. "Banyak kelabang dan ular kecil di sana," kata Sugimin, petugas kebersihan Gua Selarong.
Sarimin, juru kunci gua ini, yang mengaku biasa mengantar peziarah mistis ke tempat itu, percaya dua cerukan tadi hanya sempit di alam nyata, tapi sebenarnya luas di dunia gaib. "Pengunjung yang suka meremehkan tempat ini bisa kesurupan atau kena bencana di tempat," kata kakek 80 tahun yang mengaku sering diminta rombongan pencari berkah memandu bersemadi.
Di kawasan itu juga terdapat makam Kiai Secang dan Nyai Secang, pasangan pengikut utama Pangeran Diponegoro. Makam pasangan ini sering menjadi lokasi semadi. Sarimin mengatakan masa booming semadi di Selarong terjadi pada 2009, yaitu pada masa mendekati pemilihan calon legislator.
Akan halnya bekas kediaman Pangeran Diponegoro di Kelurahan Tegalrejo, Yogyakarta, yang kini menjadi monumen Diponegoro, malah menjadi lokasi favorit ngunduh mantu alias pesta pernikahan. Sebab, di situ ada joglo berkapasitas ratusan orang. "Bulan Oktober lalu, ada 28 kali pesta pernikahan selama sebulan," kata Slamet Wiroatmojo, yang mengelola kompleks monumen itu sejak 1973.
Slamet mengatakan biaya sewa joglo itu murah, hanya Rp 2 juta sekali pakai. Jika ada tamu yang mau menginap, tersedia 14 kamar dengan harga sewa Rp 85 ribu per hari. Tahun ini, joglo itu sempat disewa salah satu keturunan Pangeran Diponegoro asal Manado yang menikahi gadis Yogyakarta. "Kalau anak sekolah jarang, paling pas musim liburan saja," tutur Slamet.
Di area itu terdapat bangunan museum yang berisi ratusan keris, tombak, pedang, dan tameng milik pasukan Pangeran Diponegoro. Baik joglo, museum, maupun penginapan dibuat secara bertahap mulai 1968. Yang asli di kompleks ini sesungguhnya hanya tembok jebol bekas rumah Diponegoro.
Slamet mengatakan pinggiran sisi tembok jebol makin banyak tercuil batu batanya. "Banyak yang bersemadi di sini mengambil pecahan batu bata untuk jimat," ujarnya.
Bekas rumah Diponegoro sering digunakan sebagai tempat pesta perkawinan, demikian juga bekas tempat penangkapan Diponegoro, yang kini menjadi museum Diponegoro di Magelang. Bangunan itu hanya berjarak lima menit dari Alun-alun Kota Magelang. "Halaman dan teras bangunan ini memang sering dipakai untuk menggelar acara nikahan buat yang suka standing party," kata Joko Suryo, anggota staf Badan Koordinasi Wilayah II Provinsi Jawa Tengah, institusi pemerintah yang menempati bangunan tersebut.
Di sana terdapat sebuah ruangan berukuran sekitar 5 x 6 meter berarsitektur khas Eropa. Tinggi langit-langitnya sekitar tujuh meter dan masih mempertahankan lonjoran papan-papan kayu jati. Di ruangan itu terdapat empat buah kursi dan satu meja. Salah satu kursi diletakkan dalam sebuah lemari kaca setinggi dua meter dan ditutup kain kafan. Kursi itu merupakan tempat duduk Pangeran Diponegoro ketika berunding dengan Jenderal Markus de Kock, perwira yang saat itu menjadi panglima angkatan perang Belanda di Jawa Tengah.
Di sisi kanan kursi kayu jati itu, tepatnya di bawah tumpuan lengan, terdapat bekas cukilan sepanjang satu sentimeter secara vertikal dan sekitar dua sentimeter arah horizontal. Cukilan itu diyakini sebagai bekas cengkeraman kuku tangan Diponegoro, yang memendam emosi begitu tinggi saat berunding dengan De Kock.
Selain kursi Diponegoro, di situ ada jubah putih yang, konon, dipakai Diponegoro saat perundingan. Jubah itu terbuat dari kain santung asal Tiongkok. Diletakkan di salah satu sudut ruangan dan diletakkan dalam lemari kaca besar setinggi 2,5 meter.
Joko menuturkan panjang jubah itu 160 sentimeter. Namun, ketika dipakai Diponegoro, panjang jubah itu hanya menyentuh lututnya. Ini menunjukkan Diponegoro memiliki perawakan tinggi setara dengan tinggi badan sebagian besar orang Eropa. Selain jubah, ada kitab Takrib (Arab gundul) tulisan tangan Kiai Nur Iman, yang diterjemahkan Kiai Melangi dari Sleman, Yogyakarta. Kitab itu diyakini sering dibawa Diponegoro semasa hidup. Ada juga sebuah balai-balai dari wilayah Gombong, Jawa Tengah, yang dulunya dipercaya sering dipakai Diponegoro menunaikan salat.
Di tempat Diponegoro ditahan dan wafat di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, juga tak banyak yang bisa dilihat. Penjara itu sekarang bahkan tertutup untuk publik karena direnovasi. Penjara Pangeran Diponegoro berbentuk tapal kuda atau doom setinggi sekitar lima meter dan luas tujuh meter persegi. Di bagian tengah terdapat pintu dengan jeruji besi dan pintu pendek setinggi sekitar satu meter. "Jika ingin melewatinya, badan harus membungkuk," kata Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar Muhammad Said.
"Tidak ada yang tahu pasti seperti apa isi tahanan itu. Namanya penjara, biasanya kosong," tutur arkeolog Universitas Hasanuddin ini. Benteng Fort Rotterdam terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar. Konon, kata Said, saat laut pasang, air bisa sampai di dalam penjara dan Diponegoro dibiarkan meringkuk di dalamnya sebagai bentuk penyiksaan. "Tapi penelitian secara ilmiah belum menemukan seperti itu."
Diponegoro meninggal pada 1855. Makamnya kini terletak di Jalan Diponegoro, Makassar, sekitar enam kilometer dari Fort Rotterdam. Makam Diponegoro, yang terletak di Kampung Melayu, telah mendapat sentuhan bangunan modern tapi tidak menghilangkan dimensi bangunan arsitektur khas Jawa, seperti atap joglo pada makam Pangeran Diponegoro dan istrinya, Raden Ayu Retnaningsih. Makam ini dirawat dengan baik oleh keturunan keempat Diponegoro, Raden Muhammad Saleh.
Saleh bercerita keturunan Diponegoro sudah ada tujuh generasi. Di Makassar, mereka pernah bermukim di Kampung Melayu atau di sekitar makam ini. Menurut Saleh, catatan pribadi Diponegoro dari benteng pernah ada. Disalin ke dalam tulisan Arab berbahasa Jawa dan dipegang beberapa keturunan yang tinggal di Makassar. Namun kemudian diberikan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, yang berkantor di Benteng Rotterdam. Catatan itu semua disatukan dan akhirnya diberikan kepada pemerintah Magelang.
"Kami harus terus menjaga makam dan sejarah perlawanannya. Keluarga khawatir, jika diamanahkan kepada yang bukan keturunannya, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Saleh.
Addi Mawahibun Idhom, Pribadi Wcaksono (Yogyakarta), Abd. Aziz (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo