Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Adventures of Tintin:
The Secret of the Unicorn
Sutradara: Steven Spielberg
Skenario: Steven Moffat, Edgar Wright, Joe Cornish Berdasarkan Les Aventures de Tintin karya Herge (Georges Remi)
Pemain: Jamie Bell (Tintin), Andy Serkis (Kapten Haddock), Daniel Craig (Red Rackham/Sakharine), Nick Frost, Simon Pegg
Tintin yang kita kenal adalah wartawan muda asal Belgia yang tak pernah kunjung tua, tak terikat oleh media apa pun, dan tak pernah terlihat mengirim laporan atau berkomunikasi dengan keluarga. Dia seorang wartawan investigasi yang tak pernah punya kekasih, apalagi istri, dan tak ada nama belakang—karena itu, keluarganya pun tak jelas. Satu-satunya sahabat yang selalu mengikutinya seperti bayang-bayang adalah anjing terrier Snowy (dalam komik asli berbahasa Prancis, anjing itu bernama Milou), yang cerdik, nakal, dan setia.
Georges Remi alias Herge telah berhasil mengajak pembacanya berpuluh-puluh tahun ke berbagai negara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Titik beratnya adalah petualangan. Pekerjaan Tintin sebagai wartawan hanyalah sebuah medium. Dan kita dibimbing tangan Herge ke dunia imajinasi yang begitu dahsyat tak tertandingi. Pada masanya. Setelah itu, kita semua berangkat dewasa, dan alam imajinasi kita diisi berbagai kisah petualangan lainnya. Steven Spielberg lantas mengguncang kita dan mengingatkan lagi bahwa dulu, di pojok hati kita, ada seseorang bernama Tintin.
Tak kurang dari 30 tahun lamanya, Spielberg akhirnya memutuskan mewujudkan cinta lamanya ke layar lebar. Karakter Tintin yang disemprot ke atas layar adalah teknologi tiga dimensi, sesuatu yang tak terbayangkan Herge. Spielberg memilih The Secret of Unicorn sebagai pembuka awal film yang diharapkan menjadi film blockbuster tahunan pengganti Indiana Jones, yang jelas sudah saatnya dipensiunkan dari bioskop. Spielberg menggabungkan beberapa adegan dan subplot dari komik lain agar jalan cerita film pertama Tintin ini menjadi lebih lengkap dan kental.
Film dibuka oleh adegan Tintin di pasar loak yang menemukan sebuah model kapal unicorn yang mempunyai sejarah panjang. Melalui riset di perpustakaan, Tintin menemukan data bahwa sesungguhnya ada tiga model kapal unicorn yang masing-masing menyimpan sehelai peta kode yang diperebutkan banyak pihak, terutama Sakharine (Daniel Craig). Tugas Tintin adalah mencari ketiga helai peta kode itu sebelum Sakharine menemukan dan meraup seluruh harta karun yang sesungguhnya warisan moyang Kapten Archibald Haddock (Andy Serkis). Dalam kisah ini pula kita akan berkenalan dengan masa lalu Haddock dan Sakharine, yang lantas berujung pada persahabatan awal Tintin dengan kapten yang napasnya berbau wiski itu.
Menyaksikan Tintin dalam tiga dimensi dengan suara aktor Jamie Bell bersama para tokoh kesayangan kita, kapten Haddock, pelaut yang gemar bersumpah-serapah; pasangan detektif dungu Thompson dan Thomson (dalam bahasa Prancis, nama mereka Dupont dan Dupond); serta kemunculan penyanyi opera Bianca Castafiore, yang jeritannya membuat Haddock dan Snowy menderita, itu rasanya seperti bertemu dengan pacar lama. Untuk generasi pembaca Tintin seperti saya (yang berkenalan dengan Tintin dari penerbit Djambatan), menemui Tintin seperti bertemu dengan kekasih lama yang begitu kita cintai tapi putus entah gara-gara apa: kita tersedak, terpana, terjerat kembali oleh kenangan manis, meski bentuk sang kekasih lama itu sudah tak lagi seperti bayang-bayang masa lalu.
Tintin dan gengnya itu hidup di alam imajinasi pembaca masing-masing. Kapten Haddock, Profesor Calculus (yang belum muncul dalam film ini), Snowy, dan pasangan detektif dungu itu seperti menjadi penghuni setia lemari imajinasi kita. Herge memberi injeksi cerita dan pembaca adalah "sutradara", yang memainkan para tokohnya di layar kepala sendiri. Ketika Spielberg mewujudkannya 30 tahun kemudian—saat berbagai film petualangan pasca-Indiana Jones, Pirates of the Caribbean, bahkan Harry Potter sudah merajai dunia imajinasi kita, sulit menerima film ini sebagai "kekasih abadi".
Tintin arahan Spielberg seperti wartawan yang rajin suntik botoks karena wajahnya begitu licin hampir tanpa ekspresi. Dari berbagai karakter di sekelilingnya yang penuh warna, sejarah, dan cerita, Tintin justru muncul sebagai sosok yang paling netral, paling logis dan… sesaat mulai membosankan. Humor selalu tampak ketika Haddock mulai mabuk, atau Snowy menunjukkan wajah protes (bahkan anjingnya saja mempunyai ekspresi yang lebih beragam daripada tuannya), atau saat pasangan detektif goblok memamerkan ketololannya. Tapi tentu saja bukan Spielberg dan Peter Jackson jika tak mampu menciptakan adegan-adegan laga yang seru. Rasa retro—karena Tintin hidup pada masa yang belum melibatkan Internet, telepon seluler, dan segala yang supermodern—diaduk dalam teknologi yang sangat maju hingga saat Tintin terlibas beberapa mobil yang ngebut, atau saat Tintin berkejaran dengan burung yang mencuri ketiga helai peta di Maroko, atau saat Tintin dan kapten Haddock berjibaku di atas kapal yang terhantam badai, penonton ikut terlibat sepenuhnya di dalamnya. Air laut, burung, dan segalanya berada di depan bola mata kita. Dahsyat!
Tapi, di luar petualangan tiga dimensi itu—dengan kacamata yang bikin pusing—Tintin sebetulnya film yang seharusnya bisa dibikin lebih menarik, yang lebih membetot emosi seperti halnya saat 24 komik itu merangkul masa kecil kita. Tentu saja reuni kita dengan Tintin bukan pertemuan yang gagal. Ini sebuah reuni: pastilah ada rasa cinta lama yang bersemi kembali. Hanya, Spielberg menyimpan proyek ini terlalu lama hingga kita sudah telanjur terpincut oleh banyak hal lainnya (baca: film lain, cerita lain) selama 30 tahun berlalu. Seharusnya Spielberg dan Jackson bisa memperlakukan kisah ini hanya sebagai reuni belaka.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo