Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan itu tidak hanya membatukan kembali Malin Kundang, tapi juga istri Malin serta ibu dan ayah Malin. Semuanya kembali dibatukan. Perempuan itu bukan seorang ibu, bukan seorang kekasih. Ia bukan siapa-siapa. Mereka semua dibatukan, masing-masing dengan selembar sarung yang menutupi seluruh tubuh aktor.
Pembatuan dalam adegan ini bisa jadi jembatan baru antara personifikasi totemistik dan personifikasi ideologis dalam melihat legenda Malin Kundang. Adegan yang terbuka untuk dibaca sebagai "pembatuan ideologis" atau "pembatuan identitas tauhid". Pembacaan ke arah ini memang menjadi tidak cukup artikulatif ketika sejak awal sekian banyak sarung, yang akan menandai berbagai peran dalam pertunjukan ini, lebih dihadirkan sebagai sarung-sarung yang sedang dijual di kaki lima. Sarung memang tidak cukup maksimal digunakan sebagai ikon utama untuk pembacaan. Sekali-sekali dikibaskan, dilipat, juga sebagai antara untuk adegan percintaan.
Peristiwa itu berlangsung dalam pertunjukan Malin Kundang oleh Teater Imaji yang disutradarai Ibrahim Ilyas. Ini bagian dari Festival Teater 2011 di Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, sepanjang awal pekan lalu. Festival ini diikuti sembilan grup teater dari Sumatera Barat yang semuanya membawakan naskah Wisran Hadi, sehingga peristiwa ini bisa disebut "Festival Wisran Hadi".
Naskah Wisran khas, terutama konsistensinya menggunakan kata sebagai pusat pertunjukan. Mementaskan naskah Wisran sama seperti memasuki teater linguistik. Melalui semacam politik linguistik, Wisran melakukan semacam pembongkaran terhadap politik identitas Minang pada sebagian besar naskahnya.
Titik ekstrem dari pembongkaran politik identitas ini adalah munculnya tokoh Malindangan dalam lakon Wanita Terakhir. Puti Bungsu hidup dengan tiga lelaki, yakni Malin Kundang, Malin Deman, dan Malin Duano. Inses kemudian berlangsung sedemikian rupa untuk mempertahankan garis keturunan. Dari inses ini lahir Malindangan. Malindangan tumbuh sebagai tokoh yang berbalik menghancurkan semuanya. Keserakahannya tidak pernah terpuaskan. Tema yang dipentaskan Teater Noktah dengan sutradara Syuhendri ini mengatakan Malindangan sebagai generasi masa kini sebagai generasi yang hilang.
Hendri menempuh strategi pertunjukan dengan cara melakukan formasi teater yang memaksimalkan kecenderungan Wisran Hadi melakukan "penelikungan struktur" dalam naskahnya. Aktor-aktornya melakukan mobilisasi melalui payung dan skateboard yang dikoreografi sedemikian rupa. Kerja koreografi ini menjadi strategi tersendiri bagi Hendri, yang tidak menggunakan setting dalam pertunjukannya. Setting tumbuh secara organik melalui kerja koreografi seperti ini. Ada semacam randai, silat, dan metode butoh dalam koreografinya.
Kerja koreografi pada Teater Noktah menjadi catatan tersendiri, karena yang mereka koreografi adalah teater, bukan tari. Kerja koreografi juga berlangsung dalam pertunjukan Old Track Teater dengan sutradara Rizal Tanjung dalam naskah Perantau Pulau Puti. Koreografi dilakukan Ery Mefri, yang masih mengkoreografi tari. Aktor harus memecah konsentrasinya antara dialog, karakter, dan tari yang dilakukannya secara paralel.
Koreografi juga dilakukan Ali Sukri dalam pertunjukan Teater Hitam Putih yang disutradarai Kurniasih Zaitun, satu-satunya sutradara perempuan dalam festival ini, dengan naskah Sebatas Kita. Penyutradaraan Zaitun yang masif membuat kerja koreografi Ali Sukri ini berlangsung berimbang antara koreografi teater dan tari. Teater Hitam Putih menjadi satu-satunya kelompok yang memainkan naskah Wisran tanpa dialog, memadukan antara peralatan akustik dan digital untuk musik pertunjukan mereka yang digubah Ade Jauhari.
Kecuali Teater Hitam Putih, delapan kelompok teater lain akhirnya memang harus berkubang dalam politik identitas Minang. Politik identitas ini berputar antara seorang perempuan (Puti Bungsu) dan seorang lelaki (Malin Kundang). Yang satu mewakili tanah, garis keturunan, dan warisan. Satunya lagi mewakili petualangan, pembangkangan, penjelajahan, tidak memiliki hak apa-apa dalam keluarga, dan menjadi batu. Identitas dualistik ini juga berlangsung antara adat dan agama, dengan peran Parewa yang berada di luar sekaligus sebagai jembatan dan penyelamat dari dualisme ini. Dari pendataan Darman Munir, Wisran Hadi telah menghasilkan 84 naskah teater sepanjang hidupnya. Dan bisa dikatakan sebagian besar naskahnya merupakan pembongkaran politik identitas Minang.
Dari beberapa naskahnya, seperti Wanita Terakhir atau Malin Kundang, ada kesan kuat yang ingin dinyatakan Wisran bahwa arkeologi Minang adalah puisi. Minang lahir dari tangan seorang penyair. Tradisi puitis dari keminangan ini merupakan akar budaya lisan mereka yang khas, dan menyebar ke berbagai bentuk kesenian. Budaya lisan yang awalnya merupakan praktek untuk membentuk kesadaran kritis, pendidikan sosial-budaya, penyebaran informasi dengan informalitas kampung yang umumnya berlangsung di warung-warung atau di musala.
Tradisi puitis dan dialektika yang dualistik itu mengalami gempa panjang antara arkeologi Minang dan agresi nilai yang datang dari luar. Agama, kolonialisme, nasionalisme, dan modernisme membuat daya lentur dualisme Minang dalam beradaptasi dengan perubahan kian menghancurkan jejak-jejak arkeologinya sendiri. Ketika datuk mulai bekerja sama dengan pengusaha, pengusaha bekerja sama dengan birokrat untuk menguasai tanah adat, dan anak sang datuk dihamili sopir angkot, apa lagi yang tersisa pada Minang.
Dalam pertunjukan Matrilini yang dipentaskan Teater Sakata dengan sutradara Enrico Alamo dan Teater Kamus dengan sutradara Muslim Noer, yang tersisa dari Minang adalah kursi. Kursi yang bisa dibawa ke mana-mana untuk memulai lagi kehidupan baru. Politik identitas yang ditopang dengan tradisi puitis yang masif itu membuat seluruh strategi narasi Wisran dalam naskahnya penuh dengan metafora. Strategi yang justru cenderung kehilangan ruang sosial-politik dan mengaburkan basis sejarah, untuk membawa politik lokal dalam menghadapi dirinya sendiri ataupun pergaulan baru yang lebih luas di luarnya.
Tapi kini apa artinya teater dalam menghadapi politik lokal ketika politik identitas justru menjadi bagian yang menghambat perkembangan teater itu sendiri. Hampir seluruh pertunjukan membangun ruang yang identitasnya tidak definitif. Berbicara tentang pantai, pohon kelapa atau tanah, tanpa acuan apa pun yang mendukung keberadaan ruang pertunjukan. Pertunjukan berputar-putar dalam identitas Minang, dari kostum, musik, tari, hingga petatah-petitih.
Wisran melengkapi politik identitas ini dengan menghadirkan robot untuk isu dehumanisasi dalam Uji Coba, yang dipentaskan Teater Ranah dengan sutradara S. Metron N. Juga semacam "teater ceramah" dalam naskah Dr. Anda, yang dipentaskan Teater Gaung Ekspose dengan sutradara Armeynd Sufhasril, yang membahas politik linguistik Minang. Pertunjukan ini menggunakan slide, video, dan musik karya Andra Nova sebagai materi ceramah. Teater Kuflet dengan sutradara Sulaiman Juned membawa Kemerdekaan Wisran ke konteks jatuhnya Gerakan Aceh Merdeka.
Itun (diperankan Ali Sukri), di tengah pertunjukan Teater Hitam Putih, menelanjangi pakaian tradisi hingga tinggal celana dalam. Menjelang pertunjukan berakhir, Salevy, aktor Teater Hitam Putih, dengan akting yang ganas dan tanpa menjadi verbal, melepaskan satu demi satu helai-helai bunga mawar merah untuk membangun keharuan.
Identitas cenderung berubah menjadi kekerasan yang fasis ketika keharuan tidak berarti lagi. Itun membawa isu lain dalam pertunjukannya, bahwa teater tidak harus memperbudak tradisi dan, sebaliknya, teater bukanlah budak tradisi. Sebab, dirinya ada di dalam tradisi dan tradisi juga ada dalam dirinya.
Afrizal Malna, penyair
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo