Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bicaranya sudah mulai terbata-bata. Namun Bangsawan Karaeng Lira, 72 tahun, masih berapi-api kala menceritakan kiprahnya mengganyang anggota Partai Komunis Indonesia dan Barisan Tani Indonesia (BTI) di desanya, Bontolanrang, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, pada pengujung 1965.
Bangsawan menyimpan dendam karena pernah dikejar-kejar anggota PKI. Gara-garanya, saat mengikuti pelatihan soal Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang diadakan Bupati Takalar Makkatang Daeng Sibali, dia melontarkan pernyataan komunis yang tidak mengenal Tuhan tak bisa disatukan dengan agama.
Begitu pecah peristiwa G-30-S dan PKI dianggap berada di belakangnya, Bangsawan menjadi motor penumpasÂan anggota partai komunis dan onderbouw-nya di desanya. Kebetulan basis BTI Takalar adalah kampungnya. "Saya yang memimpin massa mengganyang rumah pimpinan BTI itu. Paginya, rumah itu hancur. Tentara dan polisi, yang datang belakangan, bilang, ’Luar biasa gerakan ini’," katanya.
Dalam serangan itu, beberapa anggota PKI dan BTI tewas. Sejumlah korban masih kerabatnya. "Saya ini orang keras," ujar Bangsawan, yang pada 1975 diangkat menjadi kepala desa. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Takalar pada 1992 setelah berhasil mengajak penduduk desa masuk Partai Golkar, terutama eks anggota PKI dan BTI.
Ada ribuan anggota Barisan Tani Indonesia di Bontolarang. Mereka bergabung karena dijanjikan akan diberi tanah. "Kalau secara ideologi, mereka tidak mengerti," katanya. Setelah ditangkap, mereka ditahan di komando rayon militer dan dipaksa melakukan berbagai pekerjaan, mulai membersihkan lapangan sampai membuat irigasi dan jalan.
Rahim, yang menjadi pengawas dalam kerja paksa ini, mengatakan para tahanan politik itu membuat irigasi sepanjang 3 kilometer dari pagi sampai pukul 10 malam. Ada seorang yang tewas karena kelaparan dan terserang penyakit. "Mereka tidak dikasih makan. Kadang-kadang saya diam-diam yang memberi makan," ujarnya. Makanan biasanya dikirim anggota keluarga masing-masing.
"Tidak ada siksaan fisik, tapi siksaan batin luar biasa," katanya. "Mereka tidur tanpa alas (tanah) dalam satu kamp." Para tapol ini juga dipaksa bekerja dengan alat seadanya. Bahkan, untuk merobohkan pohon, mereka mencabut akarnya dari tanah menggunakan tali ditarik beramai-ramai. Sejumlah jalan, irigasi, dan pasar di Galesong yang ada sekarang adalah hasil kerja paksa ini.
Pemimpin BTI Kecamatan Galesong, Kamaruddin Bella, mengaku belum bisa memaafkan mereka yang mengganyang keluarganya. Rumahnya dihancurkan oleh Bangsawan Lira. Ayah mertuanya meninggal setelah disuruh lompat dari atas rumah. "Termasuk anak saya juga dibunuh," kata Kamaruddin, 80 tahun, ketika ditemui di rumahnya di Galesong. Ia lolos dari sergapan, meski akhirnya tertangkap dan ditahan di Gowa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo