Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pulau itu terletak di tengah Sungai Musi dan dapat dicapai sekitar 15 menit dengan perahu motor dari Jembatan Ampera. Daratan yang luasnya sekitar sepertiga Kebun Raya Bogor itu disebut Pulau Kemaro (kemarau), karena pulau itu tak pernah kebanjiran meskipun Musi sedang pasang besar.
Di dekat dermaganya terdapat sebuah pagoda besar, Kelenteng Hok Tjing Rio, dan makam Siti Fatimah. Menurut legenda, pulau itu menjadi saksi bisu kisah cinta Tan Bun An, seorang saudagar Tionghoa, dengan Siti Fatimah, seorang putri raja, yang meninggal dengan tragis di sungai itu.
Pulau Kemaro kini jadi tempat wisata dan ziarah umat Buddha. Tapi, pada 1960-an dan 1970-an, pulau itu adalah kamp konsentrasi yang mengerikan bagi orang-orang PKI dan yang disangka komunis. Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendapat kesaksian bahwa sekitar 30 ribu orang telah dibunuh dan hilang di provinsi itu, termasuk di pulau tersebut. Para korban dibiarkan mati kelaparan di kamp atau dibuang ke sungai.
Menurut Suwandi, bekas guru di Bengkulu yang 12 tahun ditahan tanpa pengadilan di sana, pulau itu dulu dikelilingi pagar kawat berduri dan dijaga polisi militer. Dia ditangkap karena dituduh sebagai anggota PKI. Di dalam pagar itu berdiri beberapa barak dengan ruang-ruang seluas kamar mandi yang diisi banyak tahanan dari berbagai daerah di Sumatera, seperti Palembang, Jambi, dan Lampung.
Penyiksaan oleh militer pada masa pemberantasan PKI tak hanya terjadi di Kemaro, tapi juga sejak para tahanan disekap di Pomdam Sriwijaya. Mochtar Effendy, bekas perwira Kodam IV Sriwijaya, disekap di sana selama belasan tahun karena dituduh komunis. "Saya lihat sendiri banyak tahanan yang diseret, disiksa, sebelum diangkut menuju Sungai Musi," kata kakek 84 tahun ini kepada Tempo, 17 September lalu. Dia kini mengelola Yayasan Rumah Sakit Islam Siti Khadijah di Palembang.
"Katanya PKI itu tak bertuhan. Tapi, yang saya heran, mereka sendiri memperlakukan tahanan semaunya," ujar Mochtar, yang merekam pengalamannya selama ditahan dalam buku Perjuangan Mencari Ridha Tuhan: Catatan Tiga Zaman dari Balik Terali Penjara Rezim Tirani Soeharto.
Di buku itu dia menggambarkan bagaimana dirinya disiksa satuan tugas intel pada 1972, yang terdiri atas Capa Siahaan, Sersan Tindaon, dan seorang tentara lagi. "Akhirnya, dengan jawaban yang tidak mau mengikuti kehendaknya, Capa Siahaan marah. Dia dengan dua temannya mengeroyok aku dengan pukulan karate, dengan kayu, dengan karet, dengan kursi, setiap dia berbicara. Darah segar sudah memenuhi mukaku dan kepalaku," tulis Mochtar.
Beberapa korban yang selamat dari penyekapan di Pulau Kemaro menyatakan pembunuhan besar-besaran terjadi pada akhir September dan awal Oktober 1966. Dalam tiga malam jumlah tawanan di sana berkurang dari ratusan orang menjadi 17 orang. Mayat-mayat itu diangkut dengan kapal motor dan dibuang di tengah sungai.
Suwandi termasuk yang dapat bertahan hidup, tapi tawanan lain, "Ada yang dilaparkan. Ada juga yang disiksa sampai mati," ujar lelaki 71 tahun yang kini jadi tukang cukur di samping kantor Wali Kota Palembang itu, Rabu dua pekan lalu.
Kini kamp-kamp itu telah lenyap. Semua bangunan sudah diratakan dengan tanah dan ditumbuhi semak belukar. "Di dekat pohon besar itu dulu ada bangunan bekas penjara, tapi sudah lama rusak ketika kami masih kecil," ujar Zulkifli, lelaki separuh baya yang bermukim di sana, seraya menunjuk sebuah pohon yang paling besar di pulau itu. Zulkifli hidup dengan bekerja mencari barang rongsokan di dasar sungai. Selain dia, ada beberapa keluarga lain yang tinggal dan menggarap beberapa petak sawah di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo