Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Chambali:</font><br />Orang Itu Lancar mengucap Syahadat...

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama saya Chambali. Umur saya 70 tahun. Waktu muda, saya adalah Ketua Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Kecamatan Rengel, Tuban, Jawa Timur, pada 1964-1967. Saya ingat, saat meletus Gerakan 30 September 1965, Tuban ikut bergolak.

Tuban adalah salah satu daerah "Tapak Merah". Di kabupaten ini, banyak kecamatan yang basis PKI-nya kuat, seperti Kecamatan Plumpang, Palang, Soko, Semanding, Tuban Kota, dan Rengel. Kebetulan Syam Kamaruzaman, tokoh penting dan pejabat Politbiro PKI, berasal dari Tuban. Syam adalah tangan kanan Aidit.

Saya ditunjuk sebagai Ketua Banser Rengel oleh Ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Tuban Kiai Haji Murtadji. Menurut Kiai Murtadji, kondisi negara dalam keadaan genting. Diperlukan orang yang tegas dan berani membunuh orang PKI. Permintaan itu langsung saya terima. Kemarahan saya kepada orang-orang PKI sudah di ubun-ubun. Beberapa kali mereka hendak membunuh saya. Saya juga tidak suka cara mereka menistakan para ulama panutan kami.

Dari sekian banyak pemuda Rengel, hanya saya yang berani jadi eksekutor, menyembelih orang PKI. Saya merasa urusan dengan PKI ini bukan cuma perbedaan ideologi, melainkan sudah mirip perang agama. Membunuh atau dibunuh. Kalau mereka tidak dibunuh sekarang, besok mereka yang akan membunuh kami. Merusak agama kami.

Saya membunuh anggota PKI bersama-sama dengan anggota organisasi pemuda lainnya, seperti Pemuda Muhammadiyah dan pemuda Barisan Rakyat (Banra), onderbouw Partai Nasional Indonesia. Kami dipanggil setiap kali ada jadwal eksekusi. Biasanya malam hari seusai waktu salat isya. Sudah ada jadwal eksekusi sekaligus nama-nama calon korban dari kantor kecamatan yang diberi komando resor militer.

Malam pertama, saya tidak langsung menjadi eksekutor. Saya ingat kami diajak rombongan Musyawarah Pimpinan Kecamatan Rengel menuju sebuah perbukitan. Tepatnya perbukitan di Jurang Watu Rongko, sekitar tiga kilometer arah barat Kota Kecamatan Rengel. Lokasinya di hutan gelap karena memang jauh dari permukiman. Saat tiba di lokasi, terlihat sudah ada puluhan orang berjejer di tepi jurang dengan tangan terikat di belakang.

(Tempo mencoba mengecek keberadaan jurang itu. Jurang tersebut sedalam 70-100 meter. Tempat itu masih banyak dihuni binatang liar, seperti monyet, burung gagak, dan ayam hutan. Di dasar jurang terdapat gua dengan panjang sekitar 200 meter. Nama Watu Rongko (Batu Kerangka) mulai digunakan belakangan, saat penduduk yang mulai menempati daerah itu menemukan tulang belulang kerangka manusia. Hingga 1980-an, ratusan kerangka masih ditemukan berserakan di depan mulut gua dan belukar di dasar jurang. Tak ada yang menguburnya. Rangka-rangka manusia itu dibiarkan tergeletak tak beraturan. Semua penduduk di Rengel sudah paham bahwa jurang itu adalah tempat penyembelihan orang-orang PKI. Kepada Tempo, Askur, 53 tahun, warga yang mendirikan rumah di sekitar Jurang Watu Rongko, mengatakan hampir tiap pekan sekali ada orang datang untuk nyekar. Mereka melempar kembang ke jurang atau di lekukan-lekukan batu).

Kami berbaris. Beberapa menit kemudian, datang seseorang yang berbicara cukup lantang. Di sekitarnya, beberapa orang perwakilan dari kantor Camat, Koramil, dan Kantor Polsek Rengel. Ia mengatakan orang yang diikat ini adalah musuh negara sekaligus membahayakan agama.

Selanjutnya, seorang pemuda dari Kecamatan Soko, Tuban, maju sambil menghunus pedang mendekati tawanan yang berada di paling depan barisan. Pemuda itu mengajukan pertanyaan: Sampeyan ameh tak pateni. Sak durunge tak pateni, opo sampeyan enek pesen. Nek sampeyan wong Islam, moco syahadat disik (Anda hendak saya bunuh. Tapi, sebelum saya bunuh, apakah Anda punya pesan. Kalau Anda orang Islam, baca kalimat syahadat dulu).

Pertanyaan itu dijawab dengan gagah oleh anggota PKI tersebut: Monggo kulo dipejahi. Kulo mboten enten pesen. Kulo mboten sah moco syahadat, tiang PKI kok moco syahadat. PKI mboten tepang Gusti Allah (Silakan saya dibunuh. Saya tidak ada pesan. Saya tidak usah membaca syahadat. Orang PKI kok baca syahadat. Orang PKI tidak kenal Gusti Allah).

Lalu, dalam hitungan detik, pedang pemuda itu memotong leher korbannya. Darah deras mengalir. Tubuh tak bernyawa itu ditendang masuk ke jurang. Malam semakin larut, satu per satu orang PKI yang kami tangkap berakhir di Jurang Watu Rongko. Itu adalah pertama kalinya saya melihat penyembelihan orang. Perasaan saya bercampur aduk. Badan saya menggigil, perut saya mual sampai muntah-muntah. Saya beberapa hari mengurung diri di rumah.

Saya mulai aktif lagi setelah datang undangan pertemuan para pemuda, tokoh agama dari pelbagai organisasi kemasyarakatan, dan Muspika Rengel. Barangkali Kiai Murtadji mengetahui saya tengah bimbang. Di tengah-tengah pertemuan, tiba-tiba Kiai menghampiri saya, lantas memberikan wejangan. Beliau meminta saya tidak ragu-ragu dalam bertindak, terutama terhadap orang-orang yang dianggap musuh negara dan agama. Setelah itu, saya disodori gelas berisi air putih, yang kemudian saya minum.

Keesokan harinya, ada pemberitahuan dari Muspika Rengel dan Koramil setempat, akan ada eksekusi terhadap orang-orang PKI di Rengel. Seusai isya, saya dan puluhan pemuda lain kembali berkumpul di depan rumah tahanan PKI. Tak berselang lama, dari arah utara, muncul truk yang isinya belasan orang, dengan tangan terikat, yang belakangan diketahui anggota PKI. Truk itu menuju bukit, tepatnya di Jurang Watu Rongko, yang berlokasi di atas Kota Rengel.

Setelah truk itu lewat, ada seorang yang memberi komando kepada kami untuk menyusul ke Watu Rongko. Seperti peristiwa sebelumnya, belasan tahanan sudah berjejer dengan tangan terikat di pinggir jurang. Hati saya tersentak ketika seseorang memanggil nama saya dan memberikan pedang. Malam itu saya diminta menjadi eksekutor.

Tangan saya gemetar ketika pedang yang saya genggam menempel ke leher lelaki yang sudah pasrah di depan saya. Dan, serrr…. Niat saya suci…. Semoga Allah mengampuni saya. Sejak malam itu, entah berapa nyawa yang tewas di tangan saya.

Satu kejadian yang terus teringat sampai sekarang. Dari sekian orang yang dieksekusi malam itu, ada satu orang yang lolos dari maut. Saya tanya orang itu apakah kamu orang Islam. Dia menjawab: Ya, saya orang Islam. Saya pertegas lagi. Kalau kamu orang Islam, apakah bisa baca syahadat? Orang itu lancar mengucap syahadat.

Tubuh saya langsung gemetar. Pedang di genggaman saya terlepas dan masuk ke jurang. Orang-orang yang menyaksikan eksekusi terdiam. Yang lain meminta saya pergi dari lokasi eksekusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus