Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama pasukan itu Gagak Hitam. Bukan pasukan TNI, karena isinya adalah anggota Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan organisasi onderbouw keduanya di Banyuwangi, Jawa Timur. Tugas mereka adalah menumpas orang-orang komunis di ujung timur Pulau Jawa itu. Dinamakan Gagak Hitam karena pasukan ini memakai atribut serba hitam, dari celana, baju, hingga ikat kepala.
Pasukan ini dibentuk setelah orang NU marah karena 62 anggota Ansor dihabisi di Dusun Cemethuk, Kecamatan Cluring, Banyuwangi. Pemuda Ansor yang bersenjata celurit, pedang samurai, keris, dan bambu runcing itu sebenarnya datang untuk membantai orang PKI, tapi justru mereka yang dihadang di ujung desa dan disekap bersama orang-orang PNI. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam Monumen Pancasila Jaya atau yang dikenal dengan Lubang Buaya di Cemethuk.
Kami menemui salah satu anggota Gagak Hitam di Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri. Namanya Baidawi, umurnya sudah 80 tahun, tapi terlihat masih gagah. Semasa muda, ia cukup disegani. Dia pernah memimpin Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi)—salah satu organisasi afiliasi NU—di Desa Boyolangu. Ia juga ditakuti karena, menurut kabar yang beredar di masyarakat, banyak menghabisi nyawa orang PKI.
Namun, saat bertemu dengan Tempo pada akhir bulan lalu, Baidawi membantah. "Kalau ada yang bilang saya tukang bunuh orang PKI, tidak usah didengarkan. Itu salah. Saya hanya melihat," katanya. Baidawi mengatakan menjadi anggota Gagak Hitam karena menganggap komunisme membahayakan negara. "Tapi sekarang saya tak perlu mengingatnya lagi, asalkan PKI tidak bangkit lagi di Indonesia."
Penumpasan orang-orang komunis diumumkan secara terang-terangan oleh seorang pegawai kecamatan. "Sambil bawa pengeras suara, dia mengumumkan bahwa orang-orang PKI harus dihabisi," ujarnya.
Pasukan Gagak Hitam mendatangi markas ataupun rumah anggota PKI dan organisasi afiliasinya. Menggunakan parang, Gagak Hitam lalu menghabisi mereka dan membuang mayatnya ke sungai atau jurang. Rumah milik orang komunis dibakar. "Saat itu seperti kiamat," katanya.
Selain dilakukan oleh warga sipil, pembantaian dilakukan tentara. Suatu ketika tentara kewalahan dengan banyaknya orang yang harus dihabisi. Eksekusi sejumlah tahanan pun diserahkan kepada penduduk sejumlah desa, termasuk Boyolangu. Kata Baidawi, kampungnya pernah mendapat limpahan lima orang komunis, yang terdiri atas empat pria dan satu wanita.
Malam hari, kelimanya dieksekusi di lapangan yang kini menjadi pemakaman desa. Proses eksekusi dihadiri ratusan warga, yang semuanya membawa parang, termasuk Baidawi. Dengan tangan terikat, lima orang komunis itu dibantai beramai-ramai kemudian dikubur dalam satu lubang.
Mantan Sekretaris Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Banyuwangi Andang Chatif Yusuf mengatakan jumlah korban dari pihak komunis diperkirakan ribuan. Ia pernah dipenjarakan oleh tentara selama dua tahun. Sebelum dipenjara, dia dibawa ke kamp tahanan di sebuah lapangan di Kecamatan Kalibaru. Sepuluh hari di kamp tersebut, Andang menyaksikan ada ribuan orang yang nasibnya sama dengan dirinya. "Dari camat, lurah, carik, semua ada di kamp itu," kata Andang.
Di sana setiap orang kemudian dipisahkan menurut jenis hukumannya. Bila masuk kategori berat, akan langsung dieksekusi pada malam harinya. Mayatnya dibuang ke Jurang Tangis. Jurang yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Baluran di wilayah perbatasan Banyuwangi dan Situbondo itu menjadi salah satu kuburan massal orang komunis di Banyuwangi. Lokasi lainnya berada di jurang Gunung Kumitir, di perbatasan Banyuwangi dan Jember.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo