Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosoknya masih tampak tegap di usianya yang kini telah 70 tahun. Sorot matanya tajam. Bicaranya tegas. AM, sebut saja begitu, satu di antara pelaku lapangan dalam tragedi pembantaian orang-orang PKI di Badas dan Pare, dua kecamatan di perbatasan Jombang-Kediri, Jawa Timur, sepanjang Oktober-November 1965.
Dua kali Tempo menemui AM di tempat berbeda di Jombang pada 17 dan 18 September 2012, di rumahnya dan di sebuah tempat di Rejoso. Di sana, kepada Tempo, dia merekonstruksi bagaimana cara mengirim rombongan pelaku pembantaian ke rumah aktivis dan simpatisan PKI beserta organisasi di bawahnya. "Istilahnya drop-dropan. Saya sudah tidak ingat lagi berapa kali melakukan drop-dropan, juga berapa jumlah korbannya," ujarnya.
Meski umur saya baru 23 tahun, pada 1965 saya telah ditunjuk menjadi pengurus anak cabang Gerakan Pemuda Ansor (biasa disingkat GP Ansor, organisasi pemuda yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama) di Lamongan, Jawa Timur. Hingga suatu hari saya mendapat surat tugas menjadi pengajar di sebuah pesantren di Jombang. Selain di pondok tersebut, saya diminta mengajar di sebuah madrasah.
Nah, saat itulah peristiwa politik 30 September 1965 meletus di Jakarta. Karena alat komunikasi tidak semudah sekarang, berita itu baru sampai di telinga kami dua atau tiga hari setelah kejadian. Kabar itu memicu kemarahan masyarakat. Dari pengamatan saya, kemarahan masyarakat ini spontan dan tidak dikondisikan. Sebab, umumnya mereka sudah memendam kebencian sekian lama terhadap orang PKI. Akumulasi kemarahan yang awalnya tersumbat itu seperti memperoleh saluran baru.
Ansor pun merapatkan barisan. Puluhan anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), termasuk saya, digembleng di sebuah tanah lapang di Desa Mojoduwur, Kecamatan Mojowarno. Gemblengan ini dipimpin oleh dua kiai yang sangat disegani karena menguasai ilmu kanuragan tinggi dan punya aji kebal. Awalnya fisik kami yang digembleng. Setelah fisik, baru mental kami yang digembleng, termasuk "diisi" ilmu kanuragan. Pada hari terakhir, kami semua diberi rotan sebesar ibu jari, kira-kira panjangnya satu meter. Konon, yang memegang rotan itu akan ketularan kebal.
Malam, pukul 19.00-21.00, kami masih mengaji seperti biasa di pesantren. Menjelang tengah malam, 30 orang yang pernah ikut gemblengan diminta bersiap. Kami melepas pakaian santri dan berganti pakaian seragam serba hitam. Kami semua juga mengikat kepala dengan udheng, mirip pakaian tokoh Sakerah dalam cerita ludruk. Secara psikologis, seragam serba hitam menambah bobot keberanian kami. Kami juga melengkapi diri dengan golok atau celurit.
Kami dikasih tahu daftar orang yang malam itu akan dihabisi, entah siapa yang menyusun. Yang jelas, targetnya adalah para pengurus teras Comite Central (CC) PKI di tingkat desa, terutama ketua dan sekretarisnya. Maka dalam satu desa ada satu atau dua orang yang kami sasar. Setelah siap, kami bergerak menuju pertigaan jalan besar yang berjarak sekitar satu kilometer dari pesantren (jalan raya poros Jombang-Mojokerto). Di sana, kami sudah ditunggu truk bak terbuka.
Kami lalu naik untuk berangkat berombongan ke titik sasaran. Di atas truk, kami dilarang bicara. Lampu truk juga dipadamkan. Saya tidak tahu siapa sopirnya, juga pemilik truk. Kami tidak boleh banyak bicara. Jalanan yang kami lalui gelap. Tak mengherankan bila sampai tujuan di Badas dan Pare (jaraknya sekitar 20 kilometer) sudah masuk dinihari.
Tiba di tujuan, truk berhenti di sebuah tempat. Kami turun dan berpencar menuju sasaran. Saya mengetuk pintu orang yang akan dihabisi. Setelah cocok dengan target, orang itu kami ajak ke tempat sepi, kebun tebu atau tepi sungai. Yang penting sepi. Mereka umumnya sudah pasrah. Meski ada yang bertubuh tinggi besar, mereka tidak mencoba lari atau melawan. Sekali gertak, mental mereka sudah down.
Satu-dua target kami ada yang punya ilmu kebal. Misalnya, ketika lehernya disabet golok, tidak timbul luka. Namun saya tahu pengapesan (kelemahan) orang yang beginian. Saya sudah paham bagaimana caranya agar orang yang punya ilmu kebal itu menjadi mempan dibacok. Yang jelas, setelah korban roboh, jenazahnya kami tinggal begitu saja. Kami tidak pernah mengubur. Biar keluarganya yang mengambil. Saat itu tidak ada rasa kasihan, tidak ada rasa ngeri. Sebab, isi kepala saya sudah diliputi kebencian terhadap PKI.
Kebencian saya itu sudah ada sejak masih di Lamongan. Saat itu, pengaruh PKI di tengah masyarakat makin kuat. Dengan slogan "tanah milik rakyat" dan "tanah dibagi rata", PKI mengiming-imingi akan membagikan sebidang tanah buat tiap anggotanya. Propaganda ini terbukti ampuh, sehingga tidak sedikit kaum nahdliyin di sejumlah kecamatan di Lamongan berbondong-bondong masuk PKI. Kecamatan Sugio, misalnya, termasuk basis PKI, selain Sambeng, Tikung, dan Laren.
Suatu hari, pemimpin PKI, D.N. Aidit, datang ke Lamongan. Ia berpidato di alun-alun Lamongan pakai bahasa Jawa krama inggil. Ribuan orang hadir, termasuk saya. Pidato Aidit memang enak didengar, bahasanya halus dan tertata. Pokoknya membius. Inti pidato Aidit, mengajak anggota dan simpatisan PKI bersama-sama berjuang mewujudkan kesejahteraan, di antaranya melalui program land reform.
Pengurus kecamatan, yang berafiliasi dengan PKI, kemudian membuat kebijakan berisi larangan buat siapa pun memiliki tanah di luar domisilinya. Misalnya si A bertempat tinggal di Sugio, dia tidak boleh punya tanah di kecamatan lain. Kebijakan itu memicu aksi sepihak di banyak tempat. PKI merampasi tanah orang seenaknya. Bila ada yang nekat menghalang-halangi akan dibunuh. Beberapa pemilik tanah tewas ditebas senjata atau dikeroyok.
PKI semakin gencar melakukan provokasi. Mereka pernah nanggap ludruk di sebuah lapangan tak jauh dari masjid. Suaranya bising, mengganggu orang beribadah. Mereka mengumumkan bahwa cerita yang akan dibawakan adalah Gusti Allah Mantu. Tapi ini trik saja. Tujuannya agar masyarakat berbondong-bondong datang untuk dicekoki propaganda mereka. Saya, yang penasaran, sempat datang. Ternyata isi ceritanya biasa-biasa saja dan tidak ada kaitannya dengan judul.
Nah, kondisi-kondisi itulah yang membuat saya membenci PKI. Sekarang orang-orang yang membunuh PKI diserang dengan isu hak asasi manusia. Tapi mereka tidak menganalisis betapa kejinya PKI saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo